Minggu, 14 Desember 2014

teori belajar

I.                   PENDAHULUAN
Individu selalu berkembang, dan sebagian perkembangan tersebut diperoleh dari belajar. Belajar dapat diartikan sebagai kegiatan orang sehari hari. Belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup. Kerena kompleksnya masalah mengenai belajar, untuk itu muncul teori - teori belajar yang berusaha untuk menjelaskan bagaimana proses belajar itu terjadi. Teori belajar merupakan suatu upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga memudahkan untuk memahami proses yang kompleks dari belajar. Dan fungsi dari teori belajar itu sendiri adalah mengungkapkan seluk beluk atau peristiwa yang ada. Teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip – prinsip umum atau kolaborasi antara prinsip – prinsip yang saling berhubungan. Terdapat berbagai macam teori belajar, dan masing – masing teori tersebut memiliki konsep atau prinsip – prinsip sendiri mengenai belajar yang mempengaruhi bentuk atau model penerapannya dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, masing – masing teori juga memilki kelemahan dan kelebihan. Dan dengan adanya teori – teori belajar ini, akan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam proses pembelajaran. Disini akan dijelaskan beberapa macam teori – teori belajar.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dengan teori belajar?
B.     Apa saja macam – macam teori – teori belajar?
III.             PEMBAHASAN
A.    Teori Belajar
Menurut para psikolog teori belajar adalah alat bantu yang sistematis dalam proses belajar.[1] Teori belajar dimunculkan oleh para psikolog pendidikan setelah mereka mengalami kesulitan untuk menjelaskan proses belajar secara menyeluruh. Teori – teori belajar ini menurut para psikolog bersifat eksperimental , artinya teori – teori yang mereka kemukakan merupakan konklusi dari pengalaman mereka ketika berinteraksi dengan kegiatan belajar, baik sebagai pelajar ataupun sebagai pengajar.[2]Teori merupakan salah satu sumber pengetahuan. Mc Keachie mengemukakan bahwa teori adalah seperangkat asas yang tersusun tentang kejadian – kejadian tertentu dalam dunia nyata.[3] Satu ciri yang penting ialah bahwa teori itu membebaskan penemuan penelitian secara individual dari kenyataan kesementaraan waktu dan tempat untuk digantikan dengan suatu dunia yang lebih luas.
Mereka membuat proposisi – proposisi dari penelitian yang mereka geluti. Sebagai catatan, proposisi yang mereka buat merujuk pada mazhab masing – masing yang melandasi pola pikirnya. Jadi, secara umum teori adalah pendapat. Dan biasanya pendapat terkait dengan latar belakang orang yang berpendapat. Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia itu belajar sehingga membantu kita untuk memahami proses yang kompleks dari belajar.
B.     Macam – Macam Teori Belajar
1.   Teori Belajar Behavioristik
Paradigma behavioristik menekankan proses belajar sebagai peubahan yang relative permanen pada perilaku yang yang dapat diamati dan timbul sebagai hasil pengalaman. Dengan demikian, perubahan perilaku yang disebabkan oleh sakit, disters emosional, atau kematangan, tidak dapat disebut sebagai belajar.[4] Ada banyak teri belajar yang termasuk dalam paradigm behavioristik. Tiga diantaranya yang terkenal adalah teori connectionism, teori classical conditioning, dan teori operant condioning. Teori – teori tersebut yaitu:
a.    Teori Koneksionisme (Connectionism)
Teori ini dipelopori oleh Edward L. Thorndike (1879 – 1949) yang berasal dari Amerika Serikat. Dan pertama kalinya membahas tentang kecerdasan hewan (Animal Intelligent) Pada tahun 1989 sebagai berikut:
“The psychology of animal learning not to mention that of child learning has been and still is primaliry a matter of agreeing or disagreeing with Yhorndike, or trying in minor ways to improve upon him. Gestalt psychologist, conditioned-reflex psychologist, sign-gestal psychologist-all of us here in America seem to have taken Thorndike, overltly,as our starting point”
Prinsip teori ini adalah belajar asosiasi anatara kesan panca indra (sense impression) dengan impuls untuk bertindak (impulse to action). Asosiasi itulah yang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan – kebiasaan. Oleh karena itu, teori ini disebut dengan connectionism atau band psychology.
Thorndike dalam mengembangkan teorinya mengadakan eksperimen dengan menggunakan kucing untuk mengetahui fenomena belajar.[5] Setelah hasil eksperimennya itu berhasil, diteruskannya dengan subjek lain yaitu aning, ikan, dan kera. Awalnya dipilih kucing yang masih muda dibiarkan lapar, kemudian dimasukkan ke dalam kotak (puzzle box) berbentuk pintu kurungan yang dibuat sedemikian rupa sehingga jika kucing menyentuh tombol tertentu pintu kotak akan terbuak dan kucing dapat keluar dan mencapai daging yang ditempatkan di luar kotak sebagai penarik dari kucing yang lapar itu. Pada usaha pertama, kucing belum terbiasa memecahkan problemnya sampai kemudian menyentuh tombol dan terbuka. Waktu yang dibutuhkan pada usaha yang pertama agak lama. Percobaan yang sama dilakukan secara berulang – ulang.
         Dari terlatihnya proses belajar dari kesalahan, maka waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin singkat.[6] Hal ini ditafsirkan Thorndike sebenarnya ia tidak mengerti cara membebaskan diri dari kotak itu, tetapi belajar mencamkan dan mempertahankan respon yang benar dan menghilangkan respon yang salah. Eksperimen diatas dihadapkan kepada situasi yang belum dikenal dan membiarkan subjek melakukan berbagai aktivitas untuk merespon situasi dan mencoba untuk beraksi sehingga dapat menemukan keberhasilan dalam membuat koreksi sesuatu dengan stimulusnya. Teori ini mempunyai ciri – ciri sebagai berikut:

1)      Adanya motif yang mendorong aktivitas
2)      Adanya berbagai respon terhadap situasi
3)      Adanya eliminasi respon – respon yang gagal atau salah
4)      Adanya kemajuan reaksi – reaksi dalam mencapai tujuan
Menurut Thorndike, dasar atau proses belajar antara manusia atau hewan adalah sama. Baik belajar pada manusia maupun hewan, mengacu pada tiga hukum pokok yaitu:
1)      Law of Readiness (hukum kesiapan) ialah reaksi terhadap stimulus yang didukung oleh kesiapan untuk bertindak dan bereaksi
2)      Law exercise (hukum latihan) ialah hubungan stimulus respon apabila sering digunakan akan makin kuat melalui repetition (pengulangan)
a)      Law of use: hubungan stimulus respon bertambah kuat jika ada latihan
b)      Law of disuse: hubungan stimulus respon bertambah lemah jiak latihan dihentikan
3)      Law of Effect (hukum efek) ialah jika sebuah respon menghasilkan efek yang menyenangkan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat, begitu pula sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dihasilkan respon, semakin lemah pula hubungan stimulus antara respond an stimulus.[7]
Hasil dari semua perbandingan dari berbagai cara itu sama saja, yaitu teori koneksisme. Koneksi (hubungan) yang membawa hadiah selalu bertambah kuat, sedangkan koneksi yang membawa hukuman hanya sedikit saja bertambah lemah. Teori Thorndike ini memberikan pengaruh yang besar sekali dalam masalah belajar.
b.      Teori Kondisioning (Conditioning)
Teori ini dipelopori oleh Ivan Petrovitch Pavlov (1849 – 1936) yang berasal dari Rusia. Dan John B. Watson (1878 – 1958) berasal dari Amerika Serikat. Ivan Pavlov, seorang ilmuan Rusia yang berhasil mendapat hadiah Nobel 1909. Pada tahun 1920, Pavlov melakukan percobaan terhadap anjing yang diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Dari hasil percobaannya, sinyal (pertanda) memainkan peran yang sangat penting dalam adaptasi hewan terhadap sekitarnya.
Makanan disebut perangsang tak bersyarat (Unconditioned Stimulus), disingkat US. sedangkan keluarnya air luir karena makanan disebut reflex tak bersyarat (Unconditioned Reflex), disingkar UR. SEkresi psikis dengan mengeluarkan air liur itu menjadi reflex bersyarat (Conditioned Reflex), disingkat CR. Pertanda atau sinyal itu disebutnya dengan perangsang bersyarat ( Conditioned Stimulus), disingkat CS.[8]
  Secara dasar, teori ini merupakan sebuah prosedur penciptaan reflex baru dengann cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflex tersebut.[9] Terdapat tiga proses yang mendasari teori ini yaitu: pertama, penyamarataan (generalization) sebab respon dikondisikan dengan kehadiran stimulus yang sama melalui air liur. Kedua, perbedaan (discrimination) untuk merespon apabila ada perangsang makanan ke mulutnya. Ketiga, pemadaman (extinction) terjadi ketika stimulus disajikan berulang – ulang tanpa adanya stimulus berapa makanan.
Kesimpulan dari percobaan Pavlov adalah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS), cepat atau lambat, akan menimbulkan respon atau perubahan yang kita kehendaki. Pavlov yakin belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulustimuli dan responsesrepons. Pandangan yang besambung dengan pandangan E.L. Thorndike hasil eksperimennya sama dengan hasil eksperimen Pavlov. Ada yang mengatakan bahwa Thorndike ini merupakan pengagum dari Pavlov.
Angkatan baru penerus Pavlov dan Thorndike adalah Skinner. Ia berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung dalam eksperimen Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda. Pertama, law of respondent conditioning. Kedua, law of respondent extinction. Secara harfiah, menurut Muhibbin Syah, law of respondent conditioning adalah hukum pembiasaan yang dituntut, sedangkan law of respondent extinction adalah hukum pemusnahan yang dituntut. Menurut Hintzman law of respondent conditioning adalah jika dua macam stimulus dihadirkan secara stimultan, reflex ketiga yang terbentuk dari respons atas penguatan reflex dan stimulus lainnya akan meningkat. Dua stimulus tersebut adalah conditioned stimulus dan unconditioned stimulus. Adapun reflex ketiga adalah hubungan antara conditioned stimulus dan conditioned respons.. sebaliknya law of respondent extinction ialah jika reflex yang sudah diperkuat melalui respons conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce, kekuatannya akan menurun.[10] Teori conditioning ini memberikan kontribusi yang besar dalam belajar.[11]
c.       Teori Operant Condisioning
Teori operant conditioning dikemukakan oleh B. F. Skinner tahun 1930. Berbeda dengan tokoh behaviorisme sebelumnya yang lebih menekankan pada respondent respons (reflexive respons) yang timbul karena stimulus tetentu. Skinner lebih menekankan pada operant respons (instrumental response) yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh stimulus tertentu.[12] Ia melakukan eksperimennya yaitu dengan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Eksperimen ini mempunyai kemiripan dengan teori trial dan error learning oleh Thorndike. Tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan dengan kepuasan, sedangkan menurut Skinner, fenomena tersebut melibatkan reinforcement/ penguatan. Kedua teori ini secara langsung ataupun tak langsung mengakuai arti penting adanya law of effect.
Dalam eksperimennya, tikus – tikus dalam kotak tersebut menggunakan suatu tanda untuk memperkuat respon (discriminative stimulus) berupa tombol lampu dan pemindah makanan. Reinforcement stimulus tersebut merupakan makanan. Teori semacam ini mengacu kepada dua hukum yang berbeda, yakni law operant conditioning dan law operant extinction. Law operant conditioning jiak timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebutakan meningkat. Sebaliknya, jika law operant extinction, jika timbulnya laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau padam. Hukum  hukum ini pada dasrnya sama dengan hokum yang melekat pada teori classical conditioning. Karena mempunyai kesamaan, orang sering merasa kebingungan membedakan keduanya. Untuk itu perbedaan kedua teori tersebut dapat dilihat pada table dibawah ini:

Classical Conditioning
Operant Conditioning
Behavior
Involuntary (Person does not have control emotional)
Voloutary (Person has control of Behavior)
Order
Behavior follow stimulus
Behavior precedes stimulus (consequences)
How Learning occurs
Neutral Stimuli become associated with unconditioned stimuli
Qonsequences of behavior influence
Key Researcher
Pavlov
Skinner

Perbedaan antara classical conditioning dengan operant conditioning dapat ditinjau dari segi:
1)      Tingkah laku: classical conditioning tanpa sukarela (seseorang tidak mempunyai control atas perilaku). Operant conditioning adalah sukarela (seseorang mempunyai control atas perilaku)
2)      Perintah: classical conditioning tingkah laku mengikuti kehendak. Operant conditioning tingkah laku mendahului kehendak
3)      Bagaimana terjadinya belajar: classical conditioning dorongan atau rangsangan yang bukan dari kebiasaan. Sedangkan operant conditioning akibat dari tingkah laku yang mempengaruhi tindakan.
4)      Peneliti Kunci: classical conditioning adalah Pavlov. Sedangkan operant conditioning adalah Skinner.
2.      Teori belajar kognitif
Menurut teori kognitif, belajar adalah pengorganisasian aspek – aspek kog nitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman.[13] Dalam model ini, tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan dan perubahan tingkah laku sangat dipengaruhi oelh proses berfikir internal yang terjadi selama proses belajar. Tokoh dari teori ini adalah Kurt Lewin. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan – kekuatan, baik yang dari dalam diri individu maupun dari luar individu.[14] Aliran ini berupaya mendeskripsikan apa yang telah terjadi dalam diri seseorang ketiaka ia belajar. Teori ini lebih menekankan pada peristiwa – peristiwa internal. Dalam perspektif kognitif belajar adalah perubahan dalam struktur mental seseorang yang memberikan kapasitas untuk menunjukkan perubahan perilaku.[15] Peristiwa belajar yang dialami manusia bukan semata masalah respon terhadap stimulus (rangsangan), melainkan adanya pengukuran dan pengarahan diri yang dikontrol oleh otak. Dalam aliran kognitif, penataan kondisi bukan sebagai penyembah terjadinya belajar, melainkan sekedar memudahkan belajar. Keaktifan individu dalam belajar menjadi unsur yang sangat penting dan menentukan kesuksesan belajar.[16]
Psikologi kognitif lebih menekankan pendidikan sebagai proses internal manusia. Menurut ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampat tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mentalnya, seperti motivasi, keyakinan, dan sebagainya. Pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik. Akan tetapi, ini tidak berarti psikologi kognitif menolak secara radikal terhadap aliran behaviorisme. Para ahli psikologi kognitif menyatakan bahwa pandangan aliran behaviorisme tidak tepat dikatakan sebagai sebuah teori psikologi. Sebab mereka tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi psikis seperti berfikir, membuat pertimbangan, dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan rasa.
Psikologi kognitif menyebutkan bahwa belajar adalah peristiwa mental, bukan perilaku fisik meskipun hal – hal yang bersifat behavioral kadang – kadang tampak kasat mata dalam setiap peristiwa belajar manusia. Seseorang yang sedang belajar membaca, menulis tentu menggunakan perangkat jasmaniah (mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggerakkan pena. Akan tetapi mengucapkann kata dan menggerakkan pena yang dilakukannya bukan hanya sekedar respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya.[17]
3.      Teori Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Teori Gestalt, berkembang di Jerman dengan pendirinya yang utama yaitu Max Wertheimer. Tokoh – tokoh lainnya adalah Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, Kurt Lewin.[18]Gestalt berasumsi bila suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem, kedudukan kognisi tidak seimbang sampai problem itu terpecahkan.[19] Kognisi yang tidak seimbang mendorong organisme untuk mencari keseimbangan sitem mental. Teori ini juga dikenal sebagai teori field theory atau insight full learning. Menurut teori ini, manusia bukan sekedar makhluk reaksi yang berbuat atau bereaksi ketika ada perangsang yang mempengaruhinya. Akan tetapi, manusia dalah individu yang merupakan bulatan fisik dan psikis.[20] Manusia tidak secara langsung bereaksi terhadap suatu perangsang. Begitu pula halnya, reaksinya tidak dilakukan secara membabi buta atau trial error. Pandangan ini kontras sekali dengan pendapat penganut teori conditioning dan connectionism. Reaksi manusia terhadap dunia luar bergantung pada bagaimana menerima stimuli dan motif yang ada padanya.
Menurut Gestalt, manusia adalah makhluk yang bebas. Ia bebas memilih cara untuk bereaksi dan menentukan stimuli yang ditolaknya. Dengan demikian, belajar menurut psikologi Gestalt bukan sekedar proses asosiasi antar stimulus dan respons yang makin lama makin kuat karena adanya latihan. Akan tetapi belajar terjadi jika ada pengertian (insight). Pengertian (insigt) ini muncul apabila setelah beberapa saat, seseorang berusaha mencoba untuk memahami suatu masalah yang muncul kepadanya. Manusia belajar memahami dunia sekitarnya dengan jalan menyusun kembali pengalaman – pengalamannya yang banyak dan berserakan hingga menjadi suatu struktur yang terpahami. Menurut Gestalt ada terdapat dua faktor yang sangat penting dalam belajar. Pertama, pemahaman atau pengertian. Kedua, pribadi atau organism. Belajar tidak sekedar dilakukan secara reaktif mekanistis. Akan tetapi, ia dilakukan dengan sadar, bermotif, dan bertujuan. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Salah satu aplikasi dari teori gestalt dalam proses pembelajaran adalah:
a.       Pengalaman tilikan (insight)
b.      Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning)
c.       Prinsip ruang hidup (life space)
d.      Transfer dalam belajar
e.       Perilaku bertujuan (pusposive behavior)[21]   
4.      Teori Belajar Humanistik
Menurut teori humanistik proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia, yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, dan realisasi peserta didik yang belajar secara optimal.[22] Ciri khas dari teori humanistik adalah berusaha untuk memahamai perilaku seseorang dari sudut si pelaku bukan si pengamat. Tujuan utama para pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing – masing individu untuk mengenal diri mereka sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi – potensi yang ada pada diri mereka.[23]Proses belajar dikatakan berhasil apabila peserta didik telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Oleh karena itu peserta didik dalam proses belajrnya harus mampu untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal.
Secara teknis belum ada pedoman tentang langkah – langkah pembelajaran dalam merancang pembelajaran. Namun Suciati dan Irawan berpendapt mengenai langkah – langkah pembelajaran yaitu:
a.       Menentukan tujuan – tujuan pembelajaran
b.      Menentukan materi pembelajaran
c.       Mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik
d.      Mengidentifikasi topik – topik yang memungkinkan peserta didik mempelajari secara aktif
e.       Merancang fasilitas pembelajaran seperti  lingkungan dan media pembelajaran
f.       Membimbing peserta didik belajar secara aktif
g.      Membimbing peserta didik untuk memahami hakikat makana dari pengalaman belajarnya
h.      Membimbing peserta didik untuk membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya
i.        Membimbing peserta didik untuk mengaplikasikan konsep – konsep baru ke situasi nyata
j.        Mengevaluasi proses dan hasil belajar peserta didik
5.      Teori Belajar Sinerbik
               Menurut teori sinerbik, belajar adalah mengolah informasi. Proses belajar dianggap penting, namun yang lebih penting lagi adalah sstem informasi yang akan diproses dan dipelajari oleh peserta didik.[24] Oleh karena itu proses belajar sangat ditentukan oleh system informasi.
Aplikasi teori sinerbik yaitu:
a.       Menentukan tujuan – tujan belajar
b.      Menentukan materi pembelajaran
c.       Mengkaji sistem informasi yang terkandung di dalam materi pembelajaran
d.      Menentukan pendekatan pembelajaran yang terkandung dalam materi pembelajaran
e.       Menyusun materi pembelajaran dalam urutan yang sesuai dengan system informasinya
f.       Mengkaji materi dan membimbing peserta didiknbelajar dengan pola yang sesuai dengan urutan materi pembelajaran 


6.      Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura. Asal mula teori ini disebut sebagai observasitional learning yaitu belajar dengan cara mengamati perilaku orang lain. Dasar pemikirannya adalah belajar dengan cara mengamati individu. Dan sebagian perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh orng lain yang dijadikan sebagai model. Menurut teori belajar sosial yang terpenting adalah kemampuan seseorang untuk mengabstrasikan informasi dari perilaku orang lain, mengambil keptusan mengenai mana yang ditiru dan kemudian melakukan perilaku – perilaku yang dipilih. [25]
Belajar model ini merupakan suatu proses yang kompleks oleh karena itu, dalam meniru model belajar ini ada empat macam proses kognitif yang harus dipenuhi. Yaitu:
a.       Proses retensi, yaitu seorang engamat menyimpan tingkah laku model yang telah diamati di dalam ingatannya karena tingkah laku tersebut harus bisa diingat kembali
b.      Proses penelitian, model tidak dapat ditiru bila tidak diadakan pengamatan, sehingga dapat dipersepsi secara tepat
c.       Proses reproduksi motoris, pengamat mencoba untuk mengungkapakan ulang tingkah laku model yang diamati
d.      Proses Motivasi, tingkah laku dicontoh sebagai tindakan – tindakan terpuji yang mempunyai motivasi untuk menirukan.
IV.             SIMPULAN
Secara umum teori adalah pendapat. Dan biasanya pendapat terkait dengan latar belakang orang yang berpendapat Teori belajar ini menurut para psikolog bersifat eksperimental , artinya teori – teori yang mereka kemukakan merupakan konklusi dari pengalaman mereka ketika berinteraksi dengan kegiatan belajar, baik sebagai pelajar ataupun sebagai pengajar. Adapun teori – teori belajar ada banyak, diantaranya yaitu:
1.      Teori belajar Behavioristik, teori ini menekankan pada  proses belajar sebagai peubahan yang relative permanen pada perilaku yang yang dapat diamati, teori ini yang paling terkenal yaitu:
a.       Teori connectism
b.      Classical conditioning
c.       Operant conditioning
2.      Teori kognitif, menurut teori kognitif, belajar adalah pengorganisasian aspek – aspek kog nitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman
3.      Teori Gestalt, menurut teori ini, manusia bukan sekedar makhluk reaksi yang berbuat atau bereaksi ketika ada perangsang yang mempengaruhinya. Akan tetapi, manusia dalah individu yang merupakan bulatan fisik dan psikis
4.      Teori humanistik, menurut teori humanistik proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia, yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, dan realisasi peserta didik yang belajar secara optimal
5.      Teori belajar Sinerbik, menurut teori sinerbik, belajar adalah mengolah informasi. Proses belajar dianggap penting, namun yang lebih penting lagi adalah sstem informasi yang akan diproses dan dipelajari oleh peserta didik
6.      Teori sosial, menurut teori belajar sosial yang terpenting adalah kemampuan seseorang untuk mengabstrasikan informasi dari perilaku orang lain, mengambil keptusan mengenai mana yang ditiru dan kemudian melakukan perilaku – perilaku yang dipilih
V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya sampaikan. Saya telah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat makalah ini dengan segala keterbatasan saya. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, saya mohon maaf.  Untuk itu, kritik dan saran anda yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan makalah kedepannya. Saya berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun penulis. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.



[1] Mahmud, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 72.
[2] Mahmud,  Psikologi Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 73.
[3] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 4. 
[4]  Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 65.
[5] Muhammad Fathurrohman, dan Sulistyorini, Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 225.
[6]  Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Ar Ruz Media, 2009), hlm. 166 – 167.
[7]  Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, hlm. 67.
[8] Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan,  hlm. 168.
[9] Mahmud,  Psikologi Pendidikan,  hlm. 73.


[10]  Mahmud,  Psikologi Pendidikan, hlm. 75.
[11] Douglas C. Hintzman, The Psychology of Learning, (New Jersey: Prentice Hall Inc, 1978)
[12]  Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, hlm. 69.
[13] Indah Komsiyah, Belajar dan Pembelajaran. (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 37.

[14]  Muhammad Fathurrohman, dan Sulistyorini, Belajar dan Pembelajaran, hlm. 231.
[15]  Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm.76. 
[16]  Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, hlm. 171.
[17]  Mahmud,  Psikologi Pendidikan, hlm. 83.
[18] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 170.
[19] Wiji Suwarno, Dasar – Dasar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruz Media, 2009), hlm. 65.
[20]  Mahmud,  Psikologi Pendidikan, hlm. 88.

[21]  Mahmud,  Psikologi Pendidikan, hlm. 90 - 91.
[22] Indah Komsiyah, Belajar dan Pembelajaran, hlm. 40.
[23]  Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, hlm. 174.
[24]  Indah Komsiyah, Belajar dan Pembelajaran, hlm. 41.
[25]  Muhammad Fathurrohman, dan Sulistyorini, Belajar dan Pembelajaran, hlm. 233.

Tidak ada komentar: