I.
PENDAHULUAN
Individu selalu berkembang, dan sebagian perkembangan tersebut
diperoleh dari belajar. Belajar dapat diartikan sebagai kegiatan orang sehari
hari. Belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua
orang dan berlangsung seumur hidup. Kerena kompleksnya masalah mengenai
belajar, untuk itu muncul teori - teori belajar yang berusaha untuk menjelaskan
bagaimana proses belajar itu terjadi. Teori belajar merupakan suatu upaya untuk
mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga memudahkan untuk memahami
proses yang kompleks dari belajar. Dan fungsi dari teori belajar itu sendiri
adalah mengungkapkan seluk beluk atau peristiwa yang ada. Teori belajar dapat
dipahami sebagai prinsip – prinsip umum atau kolaborasi antara prinsip –
prinsip yang saling berhubungan. Terdapat berbagai macam teori belajar, dan
masing – masing teori tersebut memiliki konsep atau prinsip – prinsip sendiri
mengenai belajar yang mempengaruhi bentuk atau model penerapannya dalam
kegiatan pembelajaran. Selain itu, masing – masing teori juga memilki kelemahan
dan kelebihan. Dan dengan adanya teori – teori belajar ini, akan memberikan
kontribusi yang sangat besar dalam proses pembelajaran. Disini akan dijelaskan
beberapa macam teori – teori belajar.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
yang dimaksud dengan teori belajar?
B.
Apa
saja macam – macam teori – teori belajar?
III.
PEMBAHASAN
A.
Teori Belajar
Menurut para psikolog teori belajar adalah alat bantu yang
sistematis dalam proses belajar.[1] Teori
belajar dimunculkan oleh para psikolog pendidikan setelah mereka mengalami
kesulitan untuk menjelaskan proses belajar secara menyeluruh. Teori – teori
belajar ini menurut para psikolog bersifat eksperimental , artinya teori –
teori yang mereka kemukakan merupakan konklusi dari pengalaman mereka ketika
berinteraksi dengan kegiatan belajar, baik sebagai pelajar ataupun sebagai
pengajar.[2]Teori
merupakan salah satu sumber pengetahuan. Mc Keachie mengemukakan bahwa teori
adalah seperangkat asas yang tersusun tentang kejadian – kejadian tertentu dalam
dunia nyata.[3]
Satu ciri yang penting ialah bahwa teori itu membebaskan penemuan penelitian
secara individual dari kenyataan kesementaraan waktu dan tempat untuk
digantikan dengan suatu dunia yang lebih luas.
Mereka membuat proposisi – proposisi dari penelitian yang mereka
geluti. Sebagai catatan, proposisi yang mereka buat merujuk pada mazhab masing
– masing yang melandasi pola pikirnya. Jadi, secara umum teori adalah pendapat.
Dan biasanya pendapat terkait dengan latar belakang orang yang berpendapat.
Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia itu
belajar sehingga membantu kita untuk memahami proses yang kompleks dari
belajar.
B.
Macam – Macam Teori Belajar
1.
Teori
Belajar Behavioristik
Paradigma behavioristik menekankan proses belajar sebagai peubahan
yang relative permanen pada perilaku yang yang dapat diamati dan timbul sebagai
hasil pengalaman. Dengan demikian, perubahan perilaku yang disebabkan oleh
sakit, disters emosional, atau kematangan, tidak dapat disebut sebagai belajar.[4] Ada
banyak teri belajar yang termasuk dalam paradigm behavioristik. Tiga
diantaranya yang terkenal adalah teori connectionism, teori classical
conditioning, dan teori operant condioning. Teori – teori tersebut yaitu:
a.
Teori
Koneksionisme (Connectionism)
Teori ini dipelopori oleh Edward L.
Thorndike (1879 – 1949) yang berasal dari Amerika Serikat. Dan pertama kalinya
membahas tentang kecerdasan hewan (Animal Intelligent) Pada tahun 1989 sebagai
berikut:
“The psychology of animal learning
not to mention that of child learning has been and still is primaliry a matter
of agreeing or disagreeing with Yhorndike, or trying in minor ways to improve
upon him. Gestalt psychologist, conditioned-reflex psychologist, sign-gestal
psychologist-all of us here in America seem to have taken Thorndike,
overltly,as our starting point”
Prinsip teori ini adalah belajar
asosiasi anatara kesan panca indra (sense impression) dengan impuls
untuk bertindak (impulse to action). Asosiasi itulah yang menjadi lebih
kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan – kebiasaan.
Oleh karena itu, teori ini disebut dengan connectionism atau band
psychology.
Thorndike dalam mengembangkan teorinya mengadakan eksperimen dengan
menggunakan kucing untuk mengetahui fenomena belajar.[5] Setelah
hasil eksperimennya itu berhasil, diteruskannya dengan subjek lain yaitu aning,
ikan, dan kera. Awalnya dipilih kucing yang masih muda dibiarkan lapar,
kemudian dimasukkan ke dalam kotak (puzzle box) berbentuk pintu kurungan yang
dibuat sedemikian rupa sehingga jika kucing menyentuh tombol tertentu pintu
kotak akan terbuak dan kucing dapat keluar dan mencapai daging yang ditempatkan
di luar kotak sebagai penarik dari kucing yang lapar itu. Pada usaha pertama,
kucing belum terbiasa memecahkan problemnya sampai kemudian menyentuh tombol
dan terbuka. Waktu yang dibutuhkan pada usaha yang pertama agak lama. Percobaan
yang sama dilakukan secara berulang – ulang.
Dari terlatihnya proses belajar dari
kesalahan, maka waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin
singkat.[6]
Hal ini ditafsirkan Thorndike sebenarnya ia tidak mengerti cara membebaskan
diri dari kotak itu, tetapi belajar mencamkan dan mempertahankan respon yang
benar dan menghilangkan respon yang salah. Eksperimen diatas dihadapkan kepada
situasi yang belum dikenal dan membiarkan subjek melakukan berbagai aktivitas
untuk merespon situasi dan mencoba untuk beraksi sehingga dapat menemukan
keberhasilan dalam membuat koreksi sesuatu dengan stimulusnya. Teori ini
mempunyai ciri – ciri sebagai berikut:
1)
Adanya
motif yang mendorong aktivitas
2)
Adanya
berbagai respon terhadap situasi
3)
Adanya
eliminasi respon – respon yang gagal atau salah
4)
Adanya
kemajuan reaksi – reaksi dalam mencapai tujuan
Menurut Thorndike, dasar atau proses belajar antara manusia atau
hewan adalah sama. Baik belajar pada manusia maupun hewan, mengacu pada tiga
hukum pokok yaitu:
1)
Law
of Readiness (hukum
kesiapan) ialah reaksi terhadap stimulus yang didukung oleh kesiapan untuk
bertindak dan bereaksi
2)
Law
exercise (hukum latihan) ialah hubungan
stimulus respon apabila sering digunakan akan makin kuat melalui repetition
(pengulangan)
a)
Law
of use: hubungan stimulus respon bertambah
kuat jika ada latihan
b)
Law
of disuse: hubungan stimulus respon bertambah
lemah jiak latihan dihentikan
3)
Law
of Effect (hukum efek) ialah jika sebuah
respon menghasilkan efek yang menyenangkan, hubungan antara stimulus dan respon
akan semakin kuat, begitu pula sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang
dihasilkan respon, semakin lemah pula hubungan stimulus antara respond an
stimulus.[7]
Hasil dari semua perbandingan dari berbagai cara itu sama saja,
yaitu teori koneksisme. Koneksi (hubungan) yang membawa hadiah selalu bertambah
kuat, sedangkan koneksi yang membawa hukuman hanya sedikit saja bertambah
lemah. Teori Thorndike ini memberikan pengaruh yang besar sekali dalam masalah
belajar.
b.
Teori
Kondisioning (Conditioning)
Teori ini dipelopori oleh Ivan Petrovitch Pavlov (1849 – 1936) yang
berasal dari Rusia. Dan John B. Watson (1878 – 1958) berasal dari Amerika
Serikat. Ivan Pavlov, seorang ilmuan Rusia yang berhasil mendapat hadiah Nobel
1909. Pada tahun 1920, Pavlov melakukan percobaan terhadap anjing yang diberi
stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Dari hasil
percobaannya, sinyal (pertanda) memainkan peran yang sangat penting dalam
adaptasi hewan terhadap sekitarnya.
Makanan disebut perangsang tak bersyarat (Unconditioned Stimulus),
disingkat US. sedangkan keluarnya air luir karena makanan disebut reflex tak
bersyarat (Unconditioned Reflex), disingkar UR. SEkresi psikis dengan
mengeluarkan air liur itu menjadi reflex bersyarat (Conditioned Reflex),
disingkat CR. Pertanda atau sinyal itu disebutnya dengan perangsang bersyarat (
Conditioned Stimulus), disingkat CS.[8]
Secara dasar, teori ini merupakan sebuah
prosedur penciptaan reflex baru dengann cara mendatangkan stimulus sebelum
terjadinya reflex tersebut.[9]
Terdapat tiga proses yang mendasari teori ini yaitu: pertama, penyamarataan
(generalization) sebab respon dikondisikan dengan kehadiran stimulus
yang sama melalui air liur. Kedua, perbedaan (discrimination)
untuk merespon apabila ada perangsang makanan ke mulutnya. Ketiga,
pemadaman (extinction) terjadi ketika stimulus disajikan berulang –
ulang tanpa adanya stimulus berapa makanan.
Kesimpulan dari percobaan Pavlov adalah apabila stimulus yang
diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi
(CS), cepat atau lambat, akan menimbulkan respon atau perubahan yang kita
kehendaki. Pavlov yakin belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya
hubungan antara stimulustimuli dan responsesrepons. Pandangan yang besambung
dengan pandangan E.L. Thorndike hasil eksperimennya sama dengan hasil
eksperimen Pavlov. Ada yang mengatakan bahwa Thorndike ini merupakan pengagum
dari Pavlov.
Angkatan baru penerus Pavlov dan Thorndike adalah Skinner. Ia
berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung dalam eksperimen Pavlov itu
tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda. Pertama, law of respondent
conditioning. Kedua, law of respondent extinction. Secara harfiah,
menurut Muhibbin Syah, law of respondent conditioning adalah hukum
pembiasaan yang dituntut, sedangkan law of respondent extinction adalah hukum
pemusnahan yang dituntut. Menurut Hintzman law of respondent conditioning adalah
jika dua macam stimulus dihadirkan secara stimultan, reflex ketiga yang
terbentuk dari respons atas penguatan reflex dan stimulus lainnya akan
meningkat. Dua stimulus tersebut adalah conditioned stimulus dan unconditioned
stimulus. Adapun reflex ketiga adalah hubungan antara conditioned
stimulus dan conditioned respons.. sebaliknya law of respondent
extinction ialah jika reflex yang sudah diperkuat melalui respons
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce,
kekuatannya akan menurun.[10]
Teori conditioning ini memberikan kontribusi yang besar dalam belajar.[11]
c.
Teori
Operant Condisioning
Teori operant conditioning dikemukakan oleh B. F. Skinner
tahun 1930. Berbeda dengan tokoh behaviorisme sebelumnya yang lebih menekankan
pada respondent respons (reflexive respons) yang timbul karena stimulus
tetentu. Skinner lebih menekankan pada operant respons (instrumental
response) yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh stimulus tertentu.[12] Ia
melakukan eksperimennya yaitu dengan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah
peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Eksperimen ini mempunyai
kemiripan dengan teori trial dan error learning oleh Thorndike.
Tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan dengan kepuasan,
sedangkan menurut Skinner, fenomena tersebut melibatkan reinforcement/
penguatan. Kedua teori ini secara langsung ataupun tak langsung mengakuai arti
penting adanya law of effect.
Dalam eksperimennya, tikus – tikus dalam kotak tersebut menggunakan
suatu tanda untuk memperkuat respon (discriminative stimulus) berupa tombol
lampu dan pemindah makanan. Reinforcement stimulus tersebut merupakan
makanan. Teori semacam ini mengacu kepada dua hukum yang berbeda, yakni law
operant conditioning dan law operant extinction. Law operant conditioning
jiak timbulnya tingkah laku operant diiringi dengan stimulus penguat, maka
kekuatan tingkah laku tersebutakan meningkat. Sebaliknya, jika law operant
extinction, jika timbulnya laku operant yang telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah
laku tersebut akan menurun atau padam. Hukum
hukum ini pada dasrnya sama dengan hokum yang melekat pada teori classical
conditioning. Karena mempunyai kesamaan, orang sering merasa kebingungan
membedakan keduanya. Untuk itu perbedaan kedua teori tersebut dapat dilihat
pada table dibawah ini:
|
Classical Conditioning
|
Operant Conditioning
|
Behavior
|
Involuntary (Person does not have control emotional)
|
Voloutary (Person has control of Behavior)
|
Order
|
Behavior follow stimulus
|
Behavior precedes stimulus (consequences)
|
How
Learning occurs
|
Neutral Stimuli become associated with unconditioned stimuli
|
Qonsequences of behavior influence
|
Key
Researcher
|
Pavlov
|
Skinner
|
Perbedaan antara classical conditioning dengan operant
conditioning dapat ditinjau dari segi:
1)
Tingkah
laku: classical conditioning tanpa sukarela (seseorang tidak mempunyai
control atas perilaku). Operant conditioning adalah sukarela (seseorang
mempunyai control atas perilaku)
2)
Perintah:
classical conditioning tingkah laku mengikuti kehendak. Operant
conditioning tingkah laku mendahului kehendak
3)
Bagaimana
terjadinya belajar: classical conditioning dorongan atau rangsangan yang
bukan dari kebiasaan. Sedangkan operant conditioning akibat dari tingkah
laku yang mempengaruhi tindakan.
4)
Peneliti
Kunci: classical conditioning adalah Pavlov. Sedangkan operant
conditioning adalah Skinner.
2.
Teori
belajar kognitif
Menurut teori kognitif, belajar adalah pengorganisasian aspek –
aspek kog nitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman.[13]
Dalam model ini, tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan
pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan dan perubahan
tingkah laku sangat dipengaruhi oelh proses berfikir internal yang terjadi
selama proses belajar. Tokoh dari teori ini adalah Kurt Lewin. Lewin
berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan –
kekuatan, baik yang dari dalam diri individu maupun dari luar individu.[14] Aliran
ini berupaya mendeskripsikan apa yang telah terjadi dalam diri seseorang
ketiaka ia belajar. Teori ini lebih menekankan pada peristiwa – peristiwa
internal. Dalam perspektif kognitif belajar adalah perubahan dalam struktur
mental seseorang yang memberikan kapasitas untuk menunjukkan perubahan
perilaku.[15]
Peristiwa belajar yang dialami manusia bukan semata masalah respon terhadap
stimulus (rangsangan), melainkan adanya pengukuran dan pengarahan diri yang
dikontrol oleh otak. Dalam aliran kognitif, penataan kondisi bukan sebagai
penyembah terjadinya belajar, melainkan sekedar memudahkan belajar. Keaktifan
individu dalam belajar menjadi unsur yang sangat penting dan menentukan kesuksesan
belajar.[16]
Psikologi kognitif lebih menekankan pendidikan sebagai proses
internal manusia. Menurut ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampat tidak
dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mentalnya, seperti
motivasi, keyakinan, dan sebagainya. Pendekatan kognitif sering dipertentangkan
dengan pendekatan behavioristik. Akan tetapi, ini tidak berarti psikologi
kognitif menolak secara radikal terhadap aliran behaviorisme. Para ahli
psikologi kognitif menyatakan bahwa pandangan aliran behaviorisme tidak tepat
dikatakan sebagai sebuah teori psikologi. Sebab mereka tidak memperhatikan
proses kejiwaan yang berdimensi psikis seperti berfikir, membuat pertimbangan,
dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu
urusan rasa.
Psikologi kognitif menyebutkan bahwa belajar adalah peristiwa
mental, bukan perilaku fisik meskipun hal – hal yang bersifat behavioral kadang
– kadang tampak kasat mata dalam setiap peristiwa belajar manusia. Seseorang
yang sedang belajar membaca, menulis tentu menggunakan perangkat jasmaniah (mulut
dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggerakkan pena. Akan tetapi mengucapkann
kata dan menggerakkan pena yang dilakukannya bukan hanya sekedar respons atas
stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang
diatur oleh otaknya.[17]
3.
Teori
Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti
sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Teori Gestalt, berkembang di Jerman dengan
pendirinya yang utama yaitu Max Wertheimer. Tokoh – tokoh lainnya adalah
Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, Kurt Lewin.[18]Gestalt
berasumsi bila suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem, kedudukan
kognisi tidak seimbang sampai problem itu terpecahkan.[19]
Kognisi yang tidak seimbang mendorong organisme untuk mencari keseimbangan
sitem mental. Teori ini juga dikenal sebagai teori field theory atau insight
full learning. Menurut teori ini, manusia bukan sekedar makhluk reaksi yang
berbuat atau bereaksi ketika ada perangsang yang mempengaruhinya. Akan tetapi,
manusia dalah individu yang merupakan bulatan fisik dan psikis.[20] Manusia
tidak secara langsung bereaksi terhadap suatu perangsang. Begitu pula halnya,
reaksinya tidak dilakukan secara membabi buta atau trial error.
Pandangan ini kontras sekali dengan pendapat penganut teori conditioning
dan connectionism. Reaksi manusia terhadap dunia luar bergantung pada
bagaimana menerima stimuli dan motif yang ada padanya.
Menurut Gestalt, manusia adalah makhluk yang bebas. Ia bebas
memilih cara untuk bereaksi dan menentukan stimuli yang ditolaknya. Dengan
demikian, belajar menurut psikologi Gestalt bukan sekedar proses asosiasi antar
stimulus dan respons yang makin lama makin kuat karena adanya latihan. Akan
tetapi belajar terjadi jika ada pengertian (insight). Pengertian (insigt)
ini muncul apabila setelah beberapa saat, seseorang berusaha mencoba untuk
memahami suatu masalah yang muncul kepadanya. Manusia belajar memahami dunia
sekitarnya dengan jalan menyusun kembali pengalaman – pengalamannya yang banyak
dan berserakan hingga menjadi suatu struktur yang terpahami. Menurut Gestalt
ada terdapat dua faktor yang sangat penting dalam belajar. Pertama,
pemahaman atau pengertian. Kedua, pribadi atau organism. Belajar tidak
sekedar dilakukan secara reaktif mekanistis. Akan tetapi, ia dilakukan dengan
sadar, bermotif, dan bertujuan. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa objek atau
peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang
terorganisasikan. Salah satu aplikasi dari teori gestalt dalam proses
pembelajaran adalah:
a.
Pengalaman
tilikan (insight)
b.
Pembelajaran
yang bermakna (meaningful learning)
c.
Prinsip
ruang hidup (life space)
d.
Transfer
dalam belajar
e.
Perilaku
bertujuan (pusposive behavior)[21]
4.
Teori
Belajar Humanistik
Menurut teori humanistik proses belajar harus dimulai dan ditujukan
untuk kepentingan memanusiakan manusia, yaitu mencapai aktualisasi diri,
pemahaman diri, dan realisasi peserta didik yang belajar secara optimal.[22]
Ciri khas dari teori humanistik adalah berusaha untuk memahamai perilaku
seseorang dari sudut si pelaku bukan si pengamat. Tujuan utama para pendidik
ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing –
masing individu untuk mengenal diri mereka sebagai manusia yang unik dan
membantunya dalam mewujudkan potensi – potensi yang ada pada diri mereka.[23]Proses
belajar dikatakan berhasil apabila peserta didik telah memahami lingkungannya
dan dirinya sendiri. Oleh karena itu peserta didik dalam proses belajrnya harus
mampu untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal.
Secara teknis belum ada pedoman tentang langkah – langkah
pembelajaran dalam merancang pembelajaran. Namun Suciati dan Irawan berpendapt
mengenai langkah – langkah pembelajaran yaitu:
a.
Menentukan
tujuan – tujuan pembelajaran
b.
Menentukan
materi pembelajaran
c.
Mengidentifikasi
kemampuan awal peserta didik
d.
Mengidentifikasi
topik – topik yang memungkinkan peserta didik mempelajari secara aktif
e.
Merancang
fasilitas pembelajaran seperti
lingkungan dan media pembelajaran
f.
Membimbing
peserta didik belajar secara aktif
g.
Membimbing
peserta didik untuk memahami hakikat makana dari pengalaman belajarnya
h.
Membimbing
peserta didik untuk membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya
i.
Membimbing
peserta didik untuk mengaplikasikan konsep – konsep baru ke situasi nyata
j.
Mengevaluasi
proses dan hasil belajar peserta didik
5.
Teori
Belajar Sinerbik
Menurut teori
sinerbik, belajar adalah mengolah informasi. Proses belajar dianggap penting,
namun yang lebih penting lagi adalah sstem informasi yang akan diproses dan
dipelajari oleh peserta didik.[24]
Oleh karena itu proses belajar sangat ditentukan oleh system informasi.
Aplikasi teori sinerbik yaitu:
a.
Menentukan
tujuan – tujan belajar
b.
Menentukan
materi pembelajaran
c.
Mengkaji
sistem informasi yang terkandung di dalam materi pembelajaran
d.
Menentukan
pendekatan pembelajaran yang terkandung dalam materi pembelajaran
e.
Menyusun
materi pembelajaran dalam urutan yang sesuai dengan system informasinya
f.
Mengkaji
materi dan membimbing peserta didiknbelajar dengan pola yang sesuai dengan
urutan materi pembelajaran
6.
Teori
Belajar Sosial
Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura. Asal
mula teori ini disebut sebagai observasitional learning yaitu belajar dengan
cara mengamati perilaku orang lain. Dasar pemikirannya adalah belajar dengan cara
mengamati individu. Dan sebagian perilaku individu diperoleh sebagai hasil
belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh orng lain
yang dijadikan sebagai model. Menurut teori belajar sosial yang terpenting adalah
kemampuan seseorang untuk mengabstrasikan informasi dari perilaku orang lain,
mengambil keptusan mengenai mana yang ditiru dan kemudian melakukan perilaku –
perilaku yang dipilih. [25]
Belajar model ini merupakan suatu proses yang kompleks oleh karena
itu, dalam meniru model belajar ini ada empat macam proses kognitif yang harus
dipenuhi. Yaitu:
a.
Proses
retensi, yaitu seorang engamat menyimpan tingkah laku model yang telah diamati
di dalam ingatannya karena tingkah laku tersebut harus bisa diingat kembali
b.
Proses
penelitian, model tidak dapat ditiru bila tidak diadakan pengamatan, sehingga
dapat dipersepsi secara tepat
c.
Proses
reproduksi motoris, pengamat mencoba untuk mengungkapakan ulang tingkah laku
model yang diamati
d.
Proses
Motivasi, tingkah laku dicontoh sebagai tindakan – tindakan terpuji yang mempunyai
motivasi untuk menirukan.
IV.
SIMPULAN
Secara umum teori adalah pendapat. Dan biasanya pendapat terkait
dengan latar belakang orang yang berpendapat Teori belajar ini menurut para
psikolog bersifat eksperimental , artinya teori – teori yang mereka kemukakan
merupakan konklusi dari pengalaman mereka ketika berinteraksi dengan kegiatan
belajar, baik sebagai pelajar ataupun sebagai pengajar. Adapun teori – teori
belajar ada banyak, diantaranya yaitu:
1. Teori belajar Behavioristik, teori ini menekankan pada proses belajar sebagai peubahan yang relative
permanen pada perilaku yang yang dapat diamati, teori ini yang paling terkenal
yaitu:
a. Teori connectism
b. Classical conditioning
c. Operant conditioning
2. Teori kognitif, menurut teori kognitif, belajar adalah
pengorganisasian aspek – aspek kog nitif dan persepsi untuk memperoleh
pemahaman
3. Teori Gestalt, menurut teori ini, manusia bukan sekedar makhluk
reaksi yang berbuat atau bereaksi ketika ada perangsang yang mempengaruhinya.
Akan tetapi, manusia dalah individu yang merupakan bulatan fisik dan psikis
4. Teori humanistik, menurut teori humanistik proses belajar harus
dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia, yaitu mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, dan realisasi peserta didik yang belajar
secara optimal
5. Teori belajar Sinerbik, menurut teori sinerbik, belajar adalah
mengolah informasi. Proses belajar dianggap penting, namun yang lebih penting
lagi adalah sstem informasi yang akan diproses dan dipelajari oleh peserta
didik
6. Teori sosial, menurut teori belajar sosial yang terpenting adalah
kemampuan seseorang untuk mengabstrasikan informasi dari perilaku orang lain,
mengambil keptusan mengenai mana yang ditiru dan kemudian melakukan perilaku –
perilaku yang dipilih
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat saya sampaikan. Saya telah berusaha semaksimal mungkin untuk
membuat makalah ini dengan segala keterbatasan saya. Apabila terdapat kesalahan
dalam penulisan makalah ini, saya mohon maaf.
Untuk itu, kritik dan saran anda yang membangun sangat saya harapkan
untuk perbaikan makalah kedepannya. Saya berharap semoga makalah ini bermanfaat
bagi pembaca maupun penulis. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
[1]
Mahmud, Psikologi
Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 72.
[3]
Hamzah B. Uno, Orientasi
Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 4.
[4] Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014), hlm. 65.
[5]
Muhammad
Fathurrohman, dan Sulistyorini, Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 225.
[6] Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi
Perkembangan, (Yogyakarta: Ar Ruz Media, 2009), hlm. 166 – 167.
[7] Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, hlm. 67.
[8] Baharuddin,
Pendidikan dan Psikologi Perkembangan,
hlm. 168.
[10] Mahmud, Psikologi
Pendidikan, hlm. 75.
[11] Douglas C.
Hintzman, The Psychology of Learning, (New Jersey: Prentice Hall Inc,
1978)
[12] Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, hlm. 69.
[13]
Indah Komsiyah,
Belajar dan Pembelajaran. (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 37.
[15]
Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014), hlm.76.
[16] Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, hlm. 171.
[17] Mahmud, Psikologi
Pendidikan, hlm. 83.
[18]
Nana Syaodih
Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 170.
[19]
Wiji Suwarno, Dasar – Dasar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Ar
Ruz Media, 2009), hlm. 65.
[20] Mahmud, Psikologi Pendidikan, hlm. 88.
[21] Mahmud, Psikologi Pendidikan, hlm. 90 - 91.
[22]
Indah Komsiyah,
Belajar dan Pembelajaran, hlm. 40.
[23] Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, hlm. 174.
[24] Indah Komsiyah, Belajar dan Pembelajaran, hlm. 41.
[25] Muhammad Fathurrohman, dan Sulistyorini, Belajar dan
Pembelajaran, hlm. 233.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar