Kamis, 07 Mei 2015

JARIMAH PEMBUNUHAN



       I.            PENDAHULUAN
Pembunuhan merupakan tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara melanggar hukum, maupun tidak melawan hukum. Sekarang ini, banyak sekali kasus – kasus pembunuhan yang terjadi di masyarakat. Dimulai dari pembunuhan berencana hingga pembunuhan berantai. Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh bermacam – macam motif, misalnya politik, kecemburuan, dendam, membela diri, dan sebagainya. Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni menggunakan benda tajam ataupun menggunakan senjata api, bukan hanya itu saja, pembunuhan juga dapat dilakukan dengan menggunakan racun, maupun bahan peledak.
Pembunuhan atau tindakan membunuh merupakan suatu tindakan yang dialarang dalam islam dan hal tersebut merupakan suatu perbuatan dosa besar, Allah akan memberikan balasan yang layak dengan kesalahan tersebut, baik hukuman di dunia maupun di akhirat. Apalagi kalau pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja, biasanya efek pembunuhan menimbulkan rasa dendam antara keluarga terbunuh dengan si pembunuh. Islam melarang umatnya untuk membunuh seseorang manusia maupun seekor binatang sekalipun. Untuk itu islam mengatur hukuman – hukuman dalam pembunuhan pembunuhan.
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.     Apa pengertian pembunuhan?
B.     Apa saja macam-macam pembunuhan?
C.     Bagaimana hukuman untuk jarimah pembunuhan?
D.     Bagaimana cara pembuktian untuk jarimah pembunuhan?
 III.            PEMBAHASAN
A.     Pengertian Pembunuhan
Menurut hukum islam, definisi pembunuhan adalah perbuatan seseorang yang menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan jiwa anak Adam oleh perbuatan anak Adam yang lain.[1]Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang atau beberapa orang meninggal dunia.[2] Pembunuhan merupakan hal yang di benci oleh Allah SWT dan Nabi SAW karena dapat merusak sendi kehidupan yang ada, sebagaimana firman Allah yaitu:
1.      QS. Al-An’am ayat 151
... Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÊÎÊÈ  
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar, demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
2.      QS. An-nisa ayat 92
$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 ...
Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).

Dan larangan tersebut di pertegas lagi dalam bentuk ancaman terhadap orang yang melakukanya, sebagaimana yang di jelaskan dalam surat An-nisa ayat 93:
`tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJŠÏàtã ÇÒÌÈ  
Artinya: Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.

B.     Macam-Macam Pembunuhan
Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang atau beberapa orang dalam melakukan pembunuhan, maka dapat diklasifikasikan atau dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1.      Pembunuhan sengaja
Pembunuhan yang disengaja adalah pembunuhan yang sengaja dilakukan oleh seorang mukallaf terhadap seorang manusia yang dilindungi darahnya dengan menggunakan alat yang dipandang layak untuk membunuhnya. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa kejahatan pembunuhan yang disengaja tidak terbukti kecuali telah memenuhi rukun-rukun berikut ini:
a.       Pembunuh adalah orang yang normal akalnya. Adapun kriteria berakal dan balig, berdasarkan hadits Ali r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّا ئِمِ حَتَّى يَسْتيْقِظَ, وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
Artinya: “Ketentuan syariat tidak diberlakukan terhadap tiga golongan; orang gila hingga sadar, orang yang tertidur, hingga bangun, dan anak kacil hingga dia bermimpi (balig)” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).[3]
b.      Yang terbunuh adalah manusia dan darahnya dilindungi. Maksudnya darahnya tidak boleh ditumpahkan.
c.       Alat yang digunakan dalam pembunuhan pada umumnya dapat digunakan untuk membunuh.
2.      Pembunuhan semi sengaja
Pembunuhan semi sengaja adalah orang mukallaf yang membunuh seorang yang dilindungi darahnya dengan menggunakan sesuatu yang biasanya tidak dapat digunakan untuk membunuh. Seperti memukulnya dengan tongkat ringan, batu kecil, tamparan dengan tangannya, dan semacamnya. Jika pukulan itu dengan menggunakan tongkat ringan atau batu kecil, satu atau dua kali, lantas orang yang dipukul mati lantaran pukulan itu, maka dia  ini adalah pembunuhan semi sengaja.
3.      Pembunuhan tidak sengaja
Pembunuhan yang tidak sengaja adalah seorang mukallaf melakukan tindakan yang boleh dilakukan olehnya, seperti memanah binatang buruan, atau membidikkan senjata ke suatu arah yang dituju, namun ternyata mengenai orang lain yang dilindungi darahnya hingga menyebabkan orang itu tewas. Dan seperti menggali sumur lantas ada seorang yang terjatuh di dalam nya, atau memasang perangkap di tempat yang tidak di perkenankan, lantas ada orang yang terkena perangkap itu dan tergantung hingga tewas. Pembunuhan yang tidak disengaja ini mencakup pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh anak yang tidak mukallaf, seperti anak kecil dan orang gila.[4]

C.     Hukuman untuk jarimah pembunuhan
1.    Hukuman pembunuhan sengaja
Pembunuhan sengaja dalam syari’at islam diancam dengan beberapa macam hukuman, sebagian merupakan hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian lagi merupakan hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk pembunuhan sengaja adalah qishash dan kifarat, sedangkan penggantinya adalah diat dan ta’zir. Adapun hukuman tambahannya adalah penghapusan hak waris dan hak wasiat. Penjelasan hukuman-hukuman tersebut antara lain sebagai berikut :
a.    Hukuman Qishsash
1)   Pengertian Qishash
Qishash dalam arti bahasa adalah تَتَّبَعَ الْاَثَرَ  artinya menelusuri jejak. Pengertian tersebut digunakan untuk arti hukuman, karena orang yang berhak atas qishash mengikuti dan menelusuri jejak tindak pidana dari pelaku. Qishash juga diartikan الْمُمَاثَلَةُ , yaitu keseimbangan dan kesepadanan. Dari pengertian yang kedua inilah kemudian diambil pengertian menurut istilah yaitu مُجَازَاةُ الْجَانِيْ بِمِثْلِ فِعْلِهِ  yang artinya memberikan balasan kepada pelaku, sesuai dengan perbuatannya.
Karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah menghilangkan nyawa (membununuh), maka hukuman yang setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati.
2)      Dasar hukum qishash
Hukuman qishash disyari’atkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Dasar hukun dari Al Qur’an antara lain :
a)    Q.S Al Baqarah : 178
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÐÑÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.
b)      Q.S Al Maidah : 45
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ  
Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Disamping terdapat dalam Al Qur’an, hukuman qishash juga dijelaskan dalam sunnah Nabi saw, antara lain :
Hadis Ibnu Abbas
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ر.ض قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللَّهِ ص.م : .... وَمَنْ قَتَلَ عَمْدًا فَهُوَ َقَوَدٌ .... ( أحرجه أبو داود النسائى وابن ماجه باسناد قوى )
Dari Ibnu Abbas r.a Ia berkata : Telah bersabda Rasulallah saw :”… dan barang siapa dibunuh dengan sengaja maka ia berhak untuk menuntut qishash…. “ (HR.Abu Dawud An-Nasa’i dan Ibn Majjah dengan sanad yang kuat).
Hukuman qishash tidak dapat dilakukan apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi. Syarat-syarat tersebut antara lain :

Syarat-syarat pelaku (pembunuh), menurut Wahbah Zuhaili ada empat syarat :
1.    Pelaku harus orang mukallaf, yaitu baligh dan berakal.
2.    Pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja.
3.    Pelaku harus orang yang memiliki kebebasan ( tidak dipaksa ).
Adapun syarat-syarat untuk korban (yang dibunuh)
1.      Korban harus orang yang ma’shum ad-dam , artinya ia (korban) adalah orang yang dijamin keselamatnnya oleh negara islam.
2.      Korban bukan bagian dari pelaku. Artinya, antara keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak. Dengan demikian, seorang ayah atau ibu kakek atau nenek, tidak dapat di qishash karena membunuh anaknya atau cucunya. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama.
3.      Jumhur ulama selain Hanafiyah mensyaratkan, hendaknya korban seimbang dengan pelaku. Dasar keseimbangan dalam hal ini adalah Islam dan merdeka.
Syarat untuk perbuatan ( pembunuhan ) menurut Hanafiyah, sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa untuk bisa diterapakannya hukuman qishash bagi pelaku, disyaratkan perbuatan pembunuhan harus perbuatan langsung (mubasyaroh), bukan perbuatan tidak lansung (tasabbub). Apabila perbuatannya tidak langsung maka hukumannya bukan qishash melainkan diat. Akan tetapi, ulama-ulama lain selain hanafiyahtidak mensyaratkan hal ini. Mereka berpendapat bahwa pembunuhan tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman qishash, seperti halnya hukuman pembunuhan langsung.[5]
b.      Hukuman Kifarat
Hukuman kifarat merupakan hukuman yang diperselsihkan oleh para fuqoha. Meurut jumhur fuqoha yang tediri dari Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah dalam salah satu riwayatnya, hukuman kifarat tidak wajib diaksanakan dalam pembunuhan sengaja. Hal ini karena kifarat merpakan hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’, untuk pembunuhan karena kesalahan sehingga tidak dapat disamakan dengan pembunuhan sengaja. Menurut Syafi’iyah, hukuman kifarat wajib dilaksanakan dalam pembunuhan sengaja. Alasan tentang wajibnya kifarat dalam pembunuhan sengaja dalah bahwa maksud disyari’atkannya kifarat itu adalah menghapus dosa, sedangkan dosa dalam pembunuhan sengaja lebih besar dibandingkan dengan pembunuhan karena kesalahan. Dengan demikian, kifarat dalam pembunuhan sengaja itu lebih utama.[6]
2.      Hukuman pembunuhan menyerupai sengaja
Pembunuhan menyerupai sengaja dalam hukum islam diancam dengan beberapa hukuman, sebagian hukuman pokok dan pengganti, dan sebagian lagi hukuman tambahan. Hukuman pokok untuk tindak pidana pembunuhan menyerupai sengaja ada dua macam, yaitu diat dan kifarat. Sedangkan hukuman pengganti yaitu ta’zir.
a.       Hukuman Diat
Diat syibhul ‘amdi (pembunuhan menyerupai sengaja) sama dengan diat pembunuha sengaja, baik dalam jenis, kadar, maupun pemberatannya. Hanya saja keduanya berbeda dalam hal penanggung jawab dan waktu pembayarannya. Dalam pembunuhan sengaja, pembayaran diatnya dibebankan kepada pelaku dan harus dibayar tunai. Sedangkan diat untuk pembunuhan menyerupai sengaja dibebankan kepada ‘aqilah (keluarga), dan pembayarannya dapat diangsur dalam waktu tiga tahun.
Adapun kadar diat yang ditanggung oleh ‘aqilah (keluarga) tidak ada kesepakatan di kalangan fuqoha. Menurut Hanafiyah, ‘aqilah hanya menanggung seperduapuluh (5%) diat, yaitu lima ekor unta dalam tindak pidana atas selain jiwa. Akan tetapi untuk tindak pidana atas jiwa (pembunuhan), ‘aqilah menanggung semua diat. Menurut Malikiyahdan Hanabilah, ’aqilah hanya menanggung maksimal sepertiga diat. Syafi’iyah berendapat bahwa ‘aqilah menanggung semua diat, baik sedikit maupun banyak.



b.      Hukuman kifarat
Menurut jumhur ulama selain Malikiyah, hukuman kifarat diberlakukan dalam pembunuhan menyerupai sengaja. Hal ini karena statusnya disamakan dengan pembunuhan karena kesalahan. Sebagaimana halnya dalam pembunuhan sengaja, kifarat dalam pembunuhan menyerupai sengaja ini merupakan hukuman pokok yang kedua. Jenisnya, yaitu memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Apabila hamba tidak ditemukan ia diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut.
3.      Hukuman pembunuhan karena kesalahan
Pembunuhan karena kesalahan merupakan suatu pembunuhan dimana pelaku sama sekali tidak berniat melakukan pemukulan apalagi pembunuhan, tetapi pembunuhan tersebut terjadi karena kelalaian atau kurang hati-hatinya pelaku. Hukuman untuk pembunuhan karena kesalahan ini sama dengan hukuman untuk pembunuhan menyerupai sengaja, yaitu :
1)      Hukuman pokok : Diat dan Kifarat
2)      Hukuman tambahan : penghapusan hak waris dan wasiat.[7]
Secara singkat hukuman jarimah pembunuhan antara lain :
1.  Pelaku pembunuhan yang sengaja , pihak keluarga korban dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan: (1) qiashash yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan korbannya, (2) diat yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau 200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing , atu bentuk lain seperti uang senilai harganya. Diat tersebut diserahkan kepada pihak keluarga korban, (3) pihak keluarga memaafknnya apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat.
2.  Pelaku pembunuhan yang tidak disengaja, pihak keluarga diberi pilihan, yaitu: (1) pelaku membayar diat, (2) membayar kifarat (memerdekakan budak mukmin), (3) jika tidak mampu maka pelaku pembunuhan diberi hukuman moral, yaitu berpuasa selm dua bulan berturut-turut.[8]
D.    Cara pembuktian untuk jarimah pembunuhan
Para ulama berbeda pendapat mengenai mengenai cara pembuktian jarimah Qishash atau pembunuhan. Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sebagai berikut. Pertama, menurut jumhur ulama, untuk pembuktian jarimah Qishash dan diat dapat digunakan tiga cara (alat) pembuktian, yaitu:
1.      Pengakuan
2.      Persaksian
3.      Al-qasamah
Kedua, menurut sebagian fuqaha seperti ibn Al-Qayyim dari mazhab Hanbali, untuk pembuktian jarimah qishash dan diat digunakan empat cara (alat) pembuktian:
1.      Pengakuan
2.      Persaksian
3.      Al-qasamah
4.      Qarinah
Perbedaan pendapat antara para ulama tersebut hanya dalam alat bukti yang keempat yaitu qarinah. Dalam uraian dibawah ini, akan dijelaskan mengenai keempat alat   bukti tersebut:
1.      Pengakuan
Pengakuan menurut bahasa adalah penetapan. Sedangkan menurut syara’, pengakuan adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut. Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) yaitu:
a.       Surah An-Nisaa’ ayat 135
 $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà­ ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 ...
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu…(QS. An-Nisaa’: 35).
2.      Persaksian
Pengertian persaksian, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz syahadat di depan pengadilan. Penggunaan saksi sebagai alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan cara yang lazim dan umum. Karenanya persaksian merupakan cara pembuktian yang sangat penting dalam mengungkap suatu jarimah. Dasar hukum untuk persaksian sebagai alat bukti terdapat dalam Al Qur’an yaitu: Surah Al-Baqarah ayat 282, Surah Ath-Thalaaq ayat 2
3.      Qasamah
Qasamah dalam arti bahasa adalah bagus dan indah, sedang menurut arti istilah, qasamah adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan. Dalam istilah syara’, qasamah digunakan untuk arti sumpah dengan nama Allah SWT karena adanya sebab tertentu, dengan bilangan tertentu, untuk orang tertentu yaitu si terdakwa dan menurut cara tertentu. Qasamah merupakan salah satu cara pembuktian yang berlaku pada zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, Nabi mengakui dan menetapkannya (qasamah) sebagai salah satu alat bukti yang sah untuk tindak pidana pembunuhan. Hal ini dijelaskan dalam hadist Nabi.[9]
a.       Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Salamah, yang artinya: Dari Abi Salamah ibn Abd Ar-Rahman dan Sulaiman ibn Yasar dari seorang laki-laki sahabat Nabi SAW kelompok Anshar, bahwa sesungguhnya Nabi SAW menetapkan qasamah (sebagai alat bukti) sebagaimana yang berlaku di zaman jahiliah. (Hadis riwayat Ahmad, Muslim, dan Nasa’i).
Qasamah disyariatkan dalam rangka memelihara jiwa, sehingga dalam keadaan bagaimanapun pembunuhan itu harus tetap diselesaikan, dibuktikan, dan ditetapkan hukumannya. Dengan demikian, qasamah merupakan suatu jalan keluar untuk menyelesaikan suatu kasus pembunuhan, di mana tidak terdapat bukti berupa saksi atau pengakuan.


4.      Qarinah
Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang lain seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Pengertian qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut: Qarinah adalah setiap tanda ((petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu qarinah harus dipenuhi dua hal, yaitu:
a.         Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan pegangan.
b.        Terdapat hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas (zhahir) dan yang samar (khafi).
Dalam jarimah qishash, qarinah hanya digunakan dalam qasamah, dalam rangka ihtiath (kehati-hatian) guna menyelesaikan kasus pembunuhan, dengan berpegang kepada adanya korban di tempat tersangka menurut Hanafiyah, atau dengan berpegang kepada adanya lauts (petunjuk) menurut jumhur ulama. Diperselisihkannya qarinah sebagai alat bukti, sebabnya adalah dalam banyak hal qarinah ini bukan petunjuk yang pastimelainkan masih meragukan, karena banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dalam contoh kehamilan seorang perempuan yang tidak bersuami sebagai qarinah (pertanda) bahwa ia melakukan zina, belum bisa diteria sebagai petunjuk yang pasti karena masih ada beberapa kemungkinan misalnya ia (perempuan) diperkosa. Oleh karena itu, jumhur fuqaha membatasi penggunaan qarinah ini dalam kasus-kasus yang ada nasnya, seperti qasamah. [10]

                IV.            KESIMPULAN
Pembunuhan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang atau beberapa orang meninggal dunia. Adapun dasar hukum pembunuhan yaitu terdapat didalam Al-qur’an yaitu Alqur’an Surah Al Baqarah ayat 178, Al-Maidah: 45, An-Nisaa’: 93, dan lain – lain. Namun ada juga beberapa hadis Nabi yang dijadikan dasar hokum sebagai sanksi. Macam – macam pembunuhan yaitu pembunuhan disengaja, pembunuhan seperti disengaja, dan pembunuhan tidak disengaja. Hukuman Untuk jarimah pembunuhan yaitu
Sedangkan cara pembuktian jarimah pembunuhan yaitu dengan pengakuan, persaksian, qasamah, sebagian ada yang berpendapat yang keempat adalah qarinah. 

     V.            PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat makalah ini dengan segala keterbatasan kami. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, kami mohon maaf.  Untuk itu, kritik dan saran anda yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah kedepannya. Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun penulis. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih


[1] Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Kharisma Ilmu, 2010), hlm. 177.

[2] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 24.
[3]  Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing), hlm. 393.
[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4,  hlm. 397.
[5] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm 148-155
[6] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 164-165.
[7] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm 173-175
[8] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007),  cet I, hlm 35
[9] Ahmad Wardi Muslih,  Hukum Pinada Islam, hlm. 235.


[10] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 227-245.