I.
PENDAHULUAN
Pendidikan Islam di Indonesia sudah
mulai berkembang sebelum bangsa ini
mencapai kemerdekaan. Sebagai bukti konkritnya, Islam telah merintis
Perguruan Tinggi Islam sebagai respon yang tepat menanggapi keadaan masyarakat
Islam Indonesia pada saat itu. Hal ini dapat dijadikan sebuah solusi guna
memajukan peradaban bangsa Indonesia yang sedang mengalami keterpurukan.
Adapun Perguruan Tinggi Islam ini dalam perjalanannya,
mengalami berbagai perubahan dan perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman.
Dimulai dari Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jaman Jepang, sebagai respon
keinginan umat Islam untuk mempelajari agama, sampai kepada terbentuknya
Universitas Islam Negeri yang ada sekarang ini, sebagai sarana untuk membentuk
sumber daya manusia yang mampu berkompetisi, guna menyongsong milennium baru
dengan persaingannya yang semakin ketat. Di dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai
bagaimana gagasan mengenai beridirinya perguruan tinggi islam dan sejarah
singkat Perguruan Tinggi Islam Negeri.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana
gagasan mendirikan perguruan tinggi islam?
B.
Bagaimana
sejarah singkat Perguruan Tinggi Islam di Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
A.
Gagasan Mendirikan Perguruan Tinggi Islam
Masuknya gerakan pembaharuan islam di Indonesia ditandai dengan
berdirinya Jami’at al – Khairiyat pada tahun 1905. Dari organisasi inilah
kemudian disusul dengan berdirinya organisasi – organisasi islam lainnya di
Jawa seperti Muhammadiyah (1917) yang berada di Yogyakarta, al – islah wa al –
irsyad (1914) di Jakarta, Persatuan Islam (1923) di Bandung,
Pesatuan Oemat Islam (1972) di Majalengka, Syarikat dagang Islam islam (1904) di
Surakarta, dan Nahdlatul Ulama (1926) di Surabaya. Maka dapat disimpulkan pembaharuan
pendidikan islam mulai muncul dari organisasi Jami’at al – Khairiyat.
Maka dapat disimpulkan bahwa tahun 1909 merupakan awal pembaharuan
pendidikan islam dan kemudian mengantarkan sejarah pendidikan islam ke dalam
babak baru yaitu berdirinya sekolah – sekolah yang dikelola dengan metode yang
pengajaran yang lebih modern. Dan setelah itu pula muncul sekolah – sekolah
tingkat dasar (ibtidaiyah), menengah tingkat pertama (tsanawiyah), dan sekolah
menengah tingkat atas (aljam’ah).
Dalam mu’tamar organisasi – organisasi islam, usai Perang Dunia I,
mulai dikumandangkan suara bahwa umat islam Indonesia membutuhkan lembaga –
lembaga yang memberikan pelajaran yang seimbang dengan ilmu agama dengan ilmu
keahlian. Gagasan dan seruan untuk mendirikan sekolah tinggi islam didorong
atas munculnya kesadaran bahwa umat islam Indonesia telah tertinggal jauh dalam
bidang pendidikan.
Sistem pendidikan yang digunakan pada saat itu kurang seimbang,
karena sistem yang digunakan pada saat itu lebih menekankan kepada pendalaman
ibadah – ibadah khusus atau lebih terfokus pada nuansa ukhrawi tanpa memberikan
ilmu praktis yang diperlukan dalam kehidupan kemasyarakatan. Dan sementara itu
penjajah barat telah mengembangkan sistem pendidikan modern yang tentunya
produk dan manfaatnya akan digunakan untuk kepentingan mereka. Apabila
langkah-langkah dan gagasan tersebut dihubungkan dengan pergerakan politik
bangsa Indonesia yang waktu itu telah mengalami babak “Kebangkitan Nasional”,
maka gagasan untuk mendirikan Perguruan tinggi islam dimaksudkan untuk
mempersiapkan dan mencetak sarjana dan intelektual muslim yang siap dan sanggup
dalam menghadapi persoalan yang ada dan mampu menjadi seorang yang dapat
memimpin Negara Indonesia merdeka seperti yang dicita – citakan. Beberapa intelektual
muslim mempercayai bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling baik untuk
mencetak generasi muda muslim yang tangguh dan capable (mampu) dalam
penguasaan ilmu pengetahuan.[1]
Pelaksanaan cita – cita dan gagasan mendirikan sekolah tinggi
islam, seperti yang telah dikemukakan dalam mu’tamar – mu’tamar organisasi
islam setelah Perang Dunia I itu, “tampak sudah mulai oleh syarikat islam (SI).
Kemudian pada mu’tamar – mu’tamar seperempat
abad Muhammadiyah di
Jakarta tahun 1936, juga
dipusatkan untuk mendirikan
Sekolah Islam Tinggi dengan membuka Fakultas Dagang dan Industri.
Nahdlatul Ulama (NU) juga mempunyai cita – cita yang sama dan
begitu juga organisasi – organisasi islam yang lain. Tetapi sebelum itu, di
Majalengka Kyai Halim, dengan organisasi Persatuan Oemat Islam sejak tahun 1917
Kyai Halim telah giat mendirikan sekolah – sekolah seperti sekolah ibtidaiyah
sampai al Jami’ah (perguruan tinggi) dengan berlokasi diatas gunung dan tanah
belukar yang diberi nama “Santi Ashrama”.[2]
Ide – ide dan gagasan – gagasan mendirikan perguruan tinggi islam
mulai bermunculan sejak tahun 1938. Dr. Sukiman Wirjosandjojo, di Jawa Tengah
pernah menyelenggarakan musyawarah antara beberapa ulama dan kaum cendekiawan
untuk membicarakan rencana pendirian perguruan tinggi islam. Kemudian Dr.
sukiman melakukan follow-up dari musyawarah pada tahun 1938 itu dengan
menyampaikan ide mendirikan lembaga pendidikan tinggi islam ke dalam forum
Mu’tamar Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Maka dari hasil mu’tamar ini kemudian
didirikanlah Perguruan Tinggi islam di Solo yang diberi nama dengan IMS
(Islamic Midelbare school).Tetapi, perguruan tinggi tersebut tidak bertahan
lama, karena hanya dapat bertahan samapai pada tahun 1941 dan kemudian berhenti
dan ditutup karena pada saat itu sedang terjadi
Perang Dunia II.
Jadi terlihat bahwa pada tahun 1901 – 1941 di Indonesia sebenarnya
telah banyak berdiri lembaga – lembaga pendidikan islam, mulai dari tingkat
dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Tetapi, dari catatan sejarah bahwa
pendidikan tinggi islam yang pernah ada pada tahun 1941 lebih bersifat sementara
dan belum mempunyai jiwa persatuan. Sekalipun pada saat itu institusi –
institusi tersebut didirikan tidak dimaksudkan untuk sementara, tetapi ternyata
secara perahan – lahan institusi – institusi tersebut dalam perkembangannya
semakin melemah dan sampai akhinya terhenti. Dikatakan belum memiliki ruh atau
jiwa persatuan karena Perguruan Tinggi Islam (PTI) yang ada dan berkembang
sampai waktu itu umumnya didirikan oleh organisasi islam setempat yang
kegiatannya terpisah dari organisasi islam lainnya, seperti PTI Muhammadiyah,
PTI Santi Ashrama, dan lain sebagainya. Walaupun corak dan keterpisahan, namun tidak
menimbulkan pertentangan antara satu dengan lainnya, tetapi jelas kekuatan
pendukungnya tidak sekuat seandainya didirikan oleh berbagai organisasi islam
seperti STI yang didukung oleh sebagai lembaga islam yang ada.
Sedangkan perguruan tinggi yang sudah bercorak persatuan dari umat
islam adalah perguruan yang didirikan dari hasil mu’tamar MIAI di Solo, tidak dapat
bertahan lama disebabkan oleh situasi politik yaitu dengan adanya Perang dunia
II.
Gagasan
mendirikan Perguruan Tinggi Islam semakin kuat dan tidak surut di kalangan
organisasi – organisasi islam. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
merupakan perubahan nama dari MIAI.[3]
Dari organisasi ini, melahirkan beberapa keputusan penting yaitu :
1. Membentuk barisan mujahidin dengan nama Hizbullah, barisan ini
mempunyai peranan penting dalam sejarah perjuangan Indonesia Merdeka.
2. Keputusan yang menyangkut bidang pendidikan yaitu “ mendirikan
Perguruan Tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI).
Jika dilihat dari penjajahan sejarah umat islam sejak timbulnya
gerakan salaf dan kebangkitan nasional Indonesia. Maka, keputusan mendirikan Sekolah Tinggi Islam
( STI ) dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu:
Pertama, kemerdekaan
Negara Indonesia kelak pasti meminta pengisian intelektual Islam, calon-calon
pemimpin yang sanggup memimpin negara, menggantikan pemerintahan colonial penerus
generasi yang akan datang.
Kedua, diperlukan satu perguruan tinggi yang dapat menghimpun keserasian
antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
Ketiga, diperlukan satu perguruan tinggi yang dimilki oleh seluruh umat
Islam yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam dan merupakan wadah persatuan
seluruh umat Islam dalam usaha menanggulangi pengaruh kehidupan barat yang
dibaa oleh penjajah. Keempat, pengaruh
kebangkitan nasional dan kebangkitan dunia Islam pada umumnya yang melahirkan
gerakan-gerakan melawan penjajahan dengan memakai sistem modern, yang dimulai
dengan berdirinya Syarikat Dagang Islam ( 1904 ) Muhammadiyah ( 1912 ),
Nahdlatul Ulama ( 1926 ), Jamiyatul Washiliyah ( 1930 ), Persatoean Oemat (
1915 ), Musyawarah Thalibin ( 1932 ) dan lain-lain.
Dari pemikiran, ide-ide, dan gagasan-gagasan diatas, maka sebagai
pengikut dari keputusan untuk mendirikan STI, maka pada bulan April 1945 Masyumi
menyelenggarakan pertemuan di Jakarta dengan mengundang para ulama dari
berbagai Perserikatan Islam serta para intelektual dan unsur pemerintahan yaitu
Kementrian Agama Pemerintahan Dai Noppon Jepang. Kemudian yang hadir dan ikut
mengambil keputusan konkrit untuk mendirikan STI pada pertemuan tersebut adalah
: a. Dari Pengurus Besar NU yaitu : KH.Abdul
Wahab, KH. Bisri Syamsuri, KHA. Wachid Hasyim, KHA. Masykoer, dan K.Zainal
Arifin.
b. Dari Pengurus Besar Muhammadiyah yaitu : Ki
Bagus Hadikusumo, KHA. Mas Mansyur, KHA. Hasyim, KH.Faried Ma’roef, KH. Abdul
Mukti, KH.M. Junus Anis, dan Katosoedarmo.
c. Dari Pengurus Besar Persatuan Umat Islam
yaitu : KH. Abdul Halim dan Moh. Djunaidi Mansur.
d. Dari Pengurus Besar Persatuan Umat Islam
Indonesia yaitu : KH. Ahmad Sanusi dan KH. Zarkasji Somaatmadja.
e. Dari Kalangan Intelektual dan para Ulama
yaitu : Dr. Satiman Wirdjosandjojo, Dr. Soekoman Wirjosandjojo, Wondoamiseno,
Abikusno Tjokrosujoso, Anwar Tjokrominoto, Mr. Moh. Roem, Baginda H. Dahlan Abdullah, dan KH. Imam Ghazali.
f.
Dari Departemen Agama Dai Nippon Jepang yaitu : KHA. Kahar Muzakkir,
KHR. Moh. Adnan, dan Ustadz Imam Zarkasji.
Maka, apabila
dilihat dari unsur-unsur organisasi yang hadir, forum musyawarah saat ini sudah
cukup representatif untuk mewakili putusan-putusan yang dapat mencerminkan
kehendk seluruh umat Islam Indonesia tanpa membedakan organisasi atau golongan.
Kemudian
dari hasil musyawarah tersebut, tokoh-tokoh islam yang dipelopori Masyumi, betul-betul
berhasil mengambil langkah maju dengan mewujudkan rencana mendirikan STI yaitu
dengan dibentuk satu penitian “ Perencanaan STI “ , terdiri dari: Ketua : Drs. Moh. Hatta.
Wakil
Ketua : Mr. Suwardi.
Sekertaris : Dr. Ahmad Ramli
Anggota : KH. Mas Mansyur, KH. Wahid
Hasyim, KHR. Faturrahman Kafrawi, KH. Farid Ma’ruf, KH. Abdul Kahar Muzakkir.
Notulis : Kartosudarmo.
Panitia Perencanaan STI ini setelah mengadakan beberapa kali rapat
telah menetapkan langkah-langkah untuk :
1)
Menyusun
peraturan umum
2)
Menyusun peraturan rumah tangga
3)
Menetapkan
susunan badan wakaf pendiri STI
4)
Menetapkan
badan penyelenggaraan dan pengawas STI , dan menetapkan senat STI.
Peraturan umum yang dimaksud dalam point 1 tersebut mengandung
pokok-pokok ketentuan tertentu, yaitu : pertama, tujuan didiriknnya STI
ialah untuk adanya perguruan tinggi yang memberikan pelajaran dan pendidikan
tinggi tentang ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu masyarakat agar menjadi
pusat penyiaran agama dan memberikan pengaruh islam di Indonesia. kedua, STI
didirikan oleh Badan Wakaf dari umat islam yang kelengkapan organisasinya
terdiri dari : badan penyelenggaraan, badan pengawas, senat STI, peraturan-peratuan
tentang rencana pelajaran, lamanya pelajaran, tingkat pelajaran, ujian promosi
dan sebagainya, serta peraturan tentang peningkatan guru besar.[4]
Peraturan Rumah Tangga seperti yang dimaksud pada point 2 berisi
ketentuan tentang hal-hal yang belum diatur di dalam peraturan umum. Sedangkan
sususnan Badan Wakaf Pendiri STI terdiri dari minimal 20 orang yang
beranggotakan unsur-unsur ulama, intelektual, dan pemimpin-pemimpin islam.
1.
Pengurus
Badan Wakaf STI , terdiri dari
:
Ketua
: Said Wiratman Hasan. Wakil Ketua : Sutan Sabarudin. Sekertaris :
Kartosudarmo. Anggota : KH. Hasyim Asy’ari, Ki Bagoes Hadikusumo, KH. Abdul
Halim Iskandar, dan lain – lain.
2.
Dewan
Pengurus STI, terdiri dari
:
Ketua
: Drs. Moh. Hatta. Wakil Ketua : Mr. Suwandi. Sekertaris: Moh. Natsir, dan
Anggota-anggota: Prof. RAA. Husein Djajadiningrat. Dr. Hidyat. Dr. Sukiman
Wirjosandjojo, Baginda H. Dahlan Abdullah, Abikoesno Tjokrosujoso, Ki. Bagoes
Hadikoesoemo, dan H. Rahman Tamin.
3.
Susunan
Senat STI, terdiri dari :
Rektor
Magnificus: KHA. Kahar Muzakkir. Anggota: KH. Mas Mansyur, Prof. Dr.
Poerbotjaroko, Prof. Dr. Slamet Imam Santoso, Mr. Sumanang. Mr. Abdul Krim, Mr.
Aly Budiarjo, Mr. Moh. Yamin, Mr. Kasman Singodimejo, Prof. Mr. Sunardjo
Kolopaking, Dr. A. Ramli, Drs. Adam Bachtiar, Ustad Zadili Hasan, KM. Zen
Djambek, ditambah beberapa guru SMAN Jakarta sebagai asisten.
Keempat.
4.
Staf
Sekertariat, terdiri dari
:
Sekertaris:
Moh. Natsir, Wakil Sekertaris: Rawoto Mangkusasmito, dan Bendahara: A.
Zaenuddin.
Setelah panitia perencanaan persiapan mendirikan perguruan tinggi
islam mempersiapakan segala sesuatu yang diperlukan, maka panitia memilih hari
yang baik untuk mendirikannya. Maka mereka memilih “Hari Peringatan Isra’
Mi’raj Nabi Muhammad SAW” sebagai hari baikknya, dengan harapan agar STI
menjadi lembaga kesucian turunnya perintah sholat. Maka bertepatan dengan hari
tersebut yakni pada tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan pada tanggal 8 Juli 1945
“Sekolah Tinggi Islam“ resmi didirikan atau dibuka.
Menurut Mahmud Yunus, tujuan didirikannya STI adalah “Untuk
mengeluarkan alim ulama yang intelek yaitu mereka yang mempelajari ilmu
pengetahuan agama islam secara luas dan mendalam serta mempunyai pengetahuan
umum yang perlu dalam masyarakat modern sekarang. Upacara peresmian STI
diselenggarakan di Gedung Kantor Imigrasi Pusat, Gondangdia, Jakarta.[5]
B.
Sejarah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia
Perkembangan selanjutnya, dalam kurun waktu 40 hari, setelah STI
dibuka secara resmi baru terjadi pada saat proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal
17 Agustus 1945. Kemudian beberapa bulan sesudah itu, Jakarta dikuasai oleh
tentara NICA yang datang ke Indonesia dengan
membawa berboncengan kepentingan Belanda untuk menjajah kembali Indonesia,
menggantikan Jepang dan terjadilah kontak senjata antara Indonesia dengan NICA
(tentara sekutu). Keadaan itu pada akhirnya memaksa Pemerintah Negara RI untuk
mengambil langkah untuk hijrah ke Yogyakarta dan meninggalkan Jakarta. Dan
akhirnyapun Yogyakarta dijadikan sebagai ibukota Negara Republik Indonesia.
Ketika
STI baru berusia beberapa bulan, dengan terpaksa harus ikut hijrah ke
Yogyakarta pada tahun 1946. Dengan alasan yaitu :
1.
Jakarta
berada dalam suasana perang yang tentu saja tidak menjamin kelancaran proses
pendidikan atau proses perkuliahan.
2.
Hijrahnya
pemerintah Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta sangat mempengaruhi
kelangsungan STI karena banyak dosen – dosen dan pengurus STI juga ikut pindah
ke Yogyakarta.
Setelah STI pindah ke Yogyakarta dan dibuka secara resmi pada
tanggal 10 april 1946 di Dalem Pengulon Yogyakarta yang dihadiri oleh
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta (juga sebagai ketua dewan
pengurus STI) serta pejabat – pejabat tinggi negara lainnya baik sipil maupun
militer. Upacara pembukaan tersebut diisi dengan penyampaian dua pidato, yaitu
pidato Pembukaan STI yang berjudul “Sifat Sekolah Tinggi” oleh Drs. Moh. Hatta
dan pidato kuliah umum tentang “Ilmu Tauhid” yang disampaikan oleh KH. Hadjid.
Susunan kepengurusan STI setelah pindah ke Yogyakarta mengalami
perubahan pada kelengkapan “Senat STI” sedangkan Dewan Kurator dan lain –
lainnya masih tetap seperti sebelum pindah ke Yogyakarta. Perubahan susunan
senat STI ditempuh berhubung anggota – anggota lama. Karena situasi politik,
menjadi berpencar – pencar ke berbagai daerah. Hasil perubahan itu adalah
sebagai berikut ;
Ketua : KHA. Kahar Muzakkir
Sekertaris :
HM. Rasjidi, beliau kemudian digantikan oleh Ustadz Husein Jahja
Anggota :
Mr. Alisastroamidjojo, Drs.A.Sigit, Prof. Mr. Sunarjo Kolopaking, R. Suhadji, dan
lain – lain.
Demikian kondisi STI yang terus berjalan di Yogyakarta pada tahun
1946 dan tahun 1947 berjalan agak kurang lancar karena waktu itu bangsa
Indonesia sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan, apalagi hampir
seluruh pengurus STI waktu itu adalah tokoh – tokoh perjuangan nasional. Maka
tidak heran warga civitas akademika STI ikut memanggul senjata bergerilya
melawan penjajah yang hendak kembali. Karena ada gangguan sehingga kegiatan
perkuliahan berjalan tidak lancar. Namun pada akhirnya pada tahun 1946/1947 STI
masih sempat menyelenggarakan dua kali ujian untuk tingkat pendahulu. Pihak
pemerintah dalam keadaan seperti itu masih memberikan perhatian yang cukup baik
bagi STI.
Terbukti pada awal tahun 1947 Kementrian Agama RI memberikan
bantuan sebesar Rp 60.000,00 mengenai perencanaan pembelajaran yang pada waktu
itu masih sama seperti pembelajaran yang ada di Jakarta pada waktu itu.
Proklamasi
Kemerdekaan RI telah membuka jalan yang luas bagi umat islam untuk melaksanakan
apa yang telah lama diidam – idamkan dalam bidang pendidikan atas dasar ajaran
islam. Maka dengan kemerdekaan telah menarik umat islam yang merupakan golongan
penduduk terbanyak di Indonesia untuk mendirikan perguruan tinggi modern yang berdasarkan islam. Oleh karena
itu, keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi islam tersebut karena beberapa
faktor yang melandasinya, yaitu :
1.
Dalam ajaran islam tidak ada pemisahan antara
paham kenegaraan dengan agama.
2.
Adanya
kewajiban bagi umat islam untuk melaksanakan hukum – hukum Allah.
3.
Belum
adanya perguruan tinggi yang berlandaskan islam yang mampu menyiapkan tenaga
ahli dalam berbagai lapangan.
4.
Pada
zaman penjajahan, pendidikan hanya diselengggarakan untuk mendukung kepentingan
penjajah.
5.
Umat
islam kekurangan tenaga – tenaga ahli dalam berbagai lapangan.
6.
Dirasakan
perlunya memberi kesempatan (penyaluran) kepada sekolah – sekolah agama
(madrasah) dan pelajar – pelajar dai pesantren untuk dapat meneruskan pelajaran ke
perguruan tinggi yang memberikan ilmu – ilmu keahlian.
Atas dasar pemikiran seperti itu, maka para fungsionaris STI
mengadakan perbincangan-perbincangan dengan tokoh – tokoh islam di berbagai
daerah di pulau jawa guna menjajaki kemungkinan pembentukan lembaga pendidikan tinggi
islam yang lebih representative. Hasil dialog, tukar pendapat, dan perbincangan
dengan para pemimpin islam memperoleh “kesamaan kehendak untuk lebih meningkatkan efektivitas fungsi
dari STI yang merupakan pergurun tinggi isalam satu satunya di waktu itu “.
Wujud peningkatan efektivitas dan fungsi dari STI menjadikannya sebagai sebuah
universitas. Tindak lanjut dari kehendak itu ialah dibentuknya panitia
perbaikan.
Sekolah Tinggi Islam pada bulan Nopember 1947 yang terdiri dari :
KHR. Fatchurrahman Kafrawi, KH. Farid Ma’roef, K. malikus Suparto, Mr. R.
Sunardjo, Drs. A sigit, KHA. Khahar Muzakir, Ustad sulaiman, Ustad husein
Jahja, Kartosudarmo. Kemudian panitia perbaikan tersebut pada bulan Febuari
1948, mengeluarkan keputusan – keputusan untuk meningkatkan fungsi STI yakni :
1.
Mendirikan
perguruan tinggi dengan nama Universitas islam Indonesia (UII) sebagai lanjutan
dan paembaharuan dari STI.
2.
Universitas
Islam Indonesia (UII) adalah satu badan wakaf yang dipimpin oleh suatu badan
yang disebut “Dewan Pengurus”.
3.
Universitas
Islm Indonesia (UII) berkedudukan di Yogyakarta.
4.
Universitas
Islam Indonesia (UII) mempunyai empat fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas
Hukum, Fakultas ekonomi, Fakultas Pendidikan.
5.
Dewan
pengurus menyiapakan peraturan umum dan peraturan rumah tangga Universitas
Islam Indonesia (UII).
6.
Dewan
pengurus menyusun rencana pelajaran, lamanya pelajaran, tingkatan – tingkatan,
dan pemberian gelar
7.
Dewan
pengurus memilih dan mengangkat guru – guru besar untuk tiap fakultas.
Kemudian panitia perbaikan STI yang telah menetapkan tujuh butir
keputusan tersebut menetapkan pula susunan Dewan Pengurus untuk pertama kali,
yakni Ketua : KHR. Fatchurrhman Kafrawi. Wakil ketua : KH. Faried Ma’roef, Sekertaris
: K. Malikus Suparto. Anggota – anggota : Mr. R. sunardjo, Prof. Drs. Sigit,
Prof.KHA. Kahar Muzakkir, Ustad sulaiman, Husein Jahja, dan Kaertosudarman.
Kemudian setela terbentuknya “ Dewan Pengurus” tersebut dapat mengambil langkah
- langkah untuk segera mewujudkan UII sesuai dengan sifat, bentuk, dan isi yang
diinginkan. Maka, hal – hal yang dilakukan sebagai persiapan untuk merubah STI
secara resmi ialah :
1.
Menyusun
berbagai peraturan dasar yang diperlukan
2.
Berusaha
menjadikan wakaf UII sebagai badan hukum
3.
Menyempurnakan
segala urusan keuangan
4.
Mengusahan
gedung – gedung dan peralatannya
5.
Melengkapi
tenaga- tenaga ahli dalam bidang akademik
Untuk langkah pertama ditetapkan “Dewan Pengurus” adalah sebagai
berikut ;
1.
Susunan
Senat UII terdiri dari : Prof. KHA. Kahar Muzakkir. Sekertaris : Ustadz Sulaiman.
Anggota – anggota : Prof. Dr. Abutari, Prof.Dr.Mr. Kusuma Atmaja, Prof. Dr.
Poerbotjaroko, Prof. Mr. Notosusanto, Prof. Drs. Sigit, Prof.Mr. Kasman
Singodemedjo, Ir. Poerbdiningrat, Dr. Abu Hanifah, Abdullah Noeh. Dan lain –
lain.
2.
Pimpinan
fakultas – fakultas terdiri dari : Rektor Maniificus menerangkan Dekan Fakultas
Agama : Prof. KHA. Kahar Muzakir. Dekan Fakultas Hukum : Prof. Dr. Mr. Kusumah
Atmaja. Dekan Fakultas Pendidikan :Prof. Drs. A. sigit. Dan Dekan Fakultas
Ekonomi : Prof. Dr. Abutari.
Untuk memulai secara resmi
mengubah STI menjadi UII pada bulan Maret 1948 diadakan upacara pembukaan
pendahuluan yakni pembukaan kelas pendahuluan. Pembukaan ini dilakukan di
Pendopo Ndalem BPH. Poerbojo di Ngasem Yogyakarta. Guru – guru pada tingkat
pendahuluan diketuai oleh Prof. KHA. Kahar Muzakkir dengan para anggota terdiri
dari Ir.S. Poebadiningrat, Dr. surono, Prof. RH. Kasman singodimedjo, Hadi
Miadji, dan lain – lain. Maka setelah tingkat pendahuluan resmi dibuka, berarti
segala sesuatu yang diperlukan telah dipersiapkan untuk segera meresmikan STI
menjadi UII. Maka UII yang ada dan berpusat di Yogyakarta sekarang adalah UII
yang diresmikan pada tanggal 27 Rajab 1367 H atau 10 April 1946.
Jadi, secara resmi STI yang diubah
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), tepatnya pada tanggal 10 April 1946
telah mempunyai beberapa fakultas, yakni fakultas agama, fakultas hukum,
fakultas ekonomi, dan fakultas pendidikan. Kemudian tidak lama setelah UII
berdiri, lembaga ini ditutup karena gedung – gedung dikuasai oleh pasukan
Sekutu, dan dibuka kembali pada tanggal 10 April 1946 di Yogyakarta. Mula –
mula ada dua jenis kursus yang dibuka, yaitu ilmu agama dan ilmu masyarakat.
Pada bulan November 1947, lembaga ini telah mempunyai beberapa fakultas yaitu Syari’ah, Hukum, Pendidikan,
dan Ekonomi, kemudian ditambah fakultas teknik. Pada tanggal 22 Januari 1950
sejumlah pemimpin islam mendirikan sebuah universitas islam di Solo yang
disatukan dengan Universitas Islam Indonesia (UII) yang sejak itu mempunyai
cabang di dua kota tersebut. [6]Selain
itu, mulai banyak muncul perguruan tinggi dan universitas islam lainnya.
Perguruan Tinggi Islam yang khusus
terdiri dari fakultas – fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian Kementrian
Agama pada tahun 1950. Pada Tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama UII
dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Dan pada tanggal 26 September 1951
secara resmi dibuka perguruan tinggi baru degan nama Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN) dibawah pengawasan Kementrian Agama. Pada tahun 1957, di
Jakarta didirikan Akademis Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini dimaksudkan
sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas dalam pemerintahan
(misalnya dalam Kementrian Agama) dan untuk pegajaran agama di sekolah. Pada
tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukannmenjadi Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), juga dibawah Kementrian Agama.
IAIN ini bermula
dengan dua fakultas di Yogyakarta dan dua di Jakarta, dan mulai berkembang
sehingga masing – masing mempunyai empat fakultas yaitu Fakultas Ushuluddin
yang menekankan pada segi ilmu agama yang bersifat spekulatif, seperti
filsafat, tasawuf, perbandiaangan agama. Fakultas Syari’ah yaitu menekankan
pada aspek – aspek praktis dari agama, yurisprudensi, tafsir, pengetahuan
hadis, dan sebagainya. Sedangkan Fakultas Tarbiyah ( pendidikan ) yaitu latihan
untuk guru agama, Adab atau ilmu kemanusiaan untuk spesialisasi sejarah islam
serta bahasa arab secara khusus. Pada masa selanjutnya lahir satu fakultas baru
yaitu fakultas Dakwah.
IAIN terus berkembang pesat. Pada
tahun 1992 ada 14 buah IAIN di seluruh Indonesia dengan fakultas lebih dari
seratus. Juga bermula dari Jakarta dan Yogyakarta. Pada tahun 1977 sebaanyak 40
fakultas cabang IAIN dilepas menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
yang berdiri sendiri, diluar 14 IAIN yang ada, berdasarkan Keputusan Presiden
No.11 tahun 1977 dengan berkembangnya fakultas dan jurusan pada IAIN diluar
studi keislaman, status“ institute” pun berubah menjadi “universitas” sehingga
ada beberapa IAIN yang kini telah berubah namanya menjadi UIN. Diantaranya
yaitu UIN Alauddin, UIN Syarif Hiyatullah, UIN Sunan Kalijaga, UIN Sunan Ampel,
UIN Ar- Raniri, UIN Sunan Gunung Jati, UIN Maulana Malik Ibrahim, dan UIN
Sultan Syarif Kasim.
Pada awal tahun 1980-an dibuka progam Pascasarjana
IAIN, dan beberapa tahun kemudian IAIN Alauddin Unjung Pandang dan IAIN Syi’ah
Kuala, Aceh, juga membuka progam yang sama. Sampai tahun 1992 Progam
Pascasarjana IAIN Jkaarta sudah mengeluarkan puluhan orang Doctor.
Depatemen Agama juga menangani persoalan pendidikan agama pada
sekolah – sekolah “umum” negeri. Berkenaan dengan itu, disebutkan bahwa pada
tahun 1948 partai Masyumi mendesak agar pengajaran agama diwajibkan dalam
sekolah – sekolah negeri tersebut. Hal itu kemudian tertuang dalam Peraturan
Pemerintah No.4 Tahun 1950 tentang pendidikan. Pasal 20 sebagai berikut :
1.
Pengajaran
agama diberikan pada semua sekolah negeri. Kepada orang tua yang berkebertan
dapat memutuskan apakah anak – anka mereka mengikutinya atau tidak
2.
Cara
memberikan pengajaran agama yang diadakan dalam sekolah – sekolah negeri akan
dijelaskan dalam Peraturan Kementrian Pendidikan bersama Kementrian Agama.
Dalam suatu peraturan lanjutan tanggal 16 Juli 1951, pengajaran
agama ini ditetapkan dua jam dalam seminggu, yang dimulai dari kelas empat SD
dan berlanjut sampai ke Sekolah Menengah.
Akan
tetapi, jika dalam suatu kelas terdapat kurang dari 10 anak yang mempunyai
agama yang sama, maka tidak akan diberikan agama tersebut. Dalam sidang MPRS
bulan Juni-Juli 1966, syarat tentang “keberatan orang tua” dicoret, sehingga
pengajaran agama merupakan keharusan bagi seluruh siswa, dengan menyatakan
secara sederhana bahwa “Pengajaran agama merupakan mata paelajaran di sekolah,
bagi murid sekolah dasar sampai universitas negeri” Kemudian tahun pada 1950
fakultas agama diserahkan kepada Kementrian Agama RI, dan dijadikan Perguruan
Tinggi Islam Negeri (PTAIN) dengan peraturan pemerintah No.34 tahun 1950. Dan
kemudian berkembanglah perguruan tinggi islam sampai sekarang ini.
IV.
KESIMPULAN
Gagasan mendirikan Perguruan Tinggi Islam telah ada sejak zaman
dulu, ditandai dengan berdirinya Jami’at al – Khairiyat. Pada masa penjajahan
Jepang, Sekolah Tinggi Islam pertama kali berdiri di Jakarta, dan kemudian
pindah ke Yogyakarta seiring dengan berpindahnya Ibu Kota Negara ke Yogyakarta
di kala itu. Sekolah tinggi ini kemudian diubah
menjadi University Islam Indonesia (UII) dengan beberapa fakultas, yaitu :
Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakutas Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan.
Berdirinya Universitas Islam di solo dan penyerahan Fakultas Agama
Universitas Islam Indonesia kepada pemerintah merupakan embrio lahirnya IAIN
yang selanjutnya beberapa diantaranya mengalami transformasi menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN).
V.
PENUTUP
Demikian makalah
yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat bagi penulis maupun pembaca, kami
telah berusaha semaksimal mungkin membuat makalah ini dengan segala
keterbatasan kami, untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan demi perbaikan makalah yang selanjutnya. Atas perhatiannya kami
ucapkan terimakasih
[1]
Muslih MZ, Gagasan
Mewujudkan Universitas Islam, (Semarang : IAIN Waisongo, 2011), hlm. 1
[2]
Supardi, dkk, Setengah Abad
UII Sejarah Perkembangan
Universitas Islam
Indonesia,
(Yogyakarta:UII Press, 1994), hlm.18.
[3] Dahlan Thaib
dan Moh. Mahfud
MD, Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Universitas Islam
Indonesia, (Yogyakarta : Liberty Offsit, 1984), Hlm. 19
[4]
Dahlan Thaib
dan Moh. Mahfud
MD, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia,hlm.13.
[5]
Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia,Cet.Kedua, (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm.288.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta : PT Grafindo Persada, 2003), hlm. 313
Tidak ada komentar:
Posting Komentar