Minggu, 23 Desember 2018

GAGASAN MENDIRIKAN PERGURUAN TINGGI ISLAM



I.                   PENDAHULUAN
Pendidikan Islam di Indonesia sudah mulai berkembang sebelum bangsa ini  mencapai kemerdekaan. Sebagai bukti konkritnya, Islam telah merintis Perguruan Tinggi Islam sebagai respon yang tepat menanggapi keadaan masyarakat Islam Indonesia pada saat itu. Hal ini dapat dijadikan sebuah solusi guna memajukan peradaban bangsa Indonesia yang sedang mengalami keterpurukan.
Adapun Perguruan Tinggi Islam ini dalam perjalanannya, mengalami berbagai perubahan dan perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Dimulai dari Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jaman Jepang, sebagai respon keinginan umat Islam untuk mempelajari agama, sampai kepada terbentuknya Universitas Islam Negeri yang ada sekarang ini, sebagai sarana untuk membentuk sumber daya manusia yang mampu berkompetisi, guna menyongsong milennium baru dengan persaingannya yang semakin ketat. Di dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai bagaimana gagasan mengenai beridirinya perguruan tinggi islam dan sejarah singkat Perguruan Tinggi Islam Negeri.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana gagasan mendirikan perguruan tinggi islam?
B.     Bagaimana sejarah singkat Perguruan Tinggi Islam di Indonesia?
III.             PEMBAHASAN
A.    Gagasan Mendirikan Perguruan Tinggi Islam
Masuknya gerakan pembaharuan islam di Indonesia ditandai dengan berdirinya Jami’at al – Khairiyat pada tahun 1905. Dari organisasi inilah kemudian disusul dengan berdirinya organisasi – organisasi islam lainnya di Jawa seperti Muhammadiyah (1917) yang berada di Yogyakarta, al – islah wa al – irsyad (1914)   di Jakarta, Persatuan Islam (1923) di Bandung, Pesatuan Oemat Islam (1972) di Majalengka, Syarikat dagang Islam islam (1904) di Surakarta, dan Nahdlatul Ulama (1926) di Surabaya. Maka dapat disimpulkan pembaharuan pendidikan islam mulai muncul dari organisasi Jami’at al – Khairiyat.
Maka dapat disimpulkan bahwa tahun 1909 merupakan awal pembaharuan pendidikan islam dan kemudian mengantarkan sejarah pendidikan islam ke dalam babak baru yaitu berdirinya sekolah – sekolah yang dikelola dengan metode yang pengajaran yang lebih modern. Dan setelah itu pula muncul sekolah – sekolah tingkat dasar (ibtidaiyah), menengah tingkat pertama (tsanawiyah), dan sekolah menengah tingkat atas (aljam’ah).
Dalam mu’tamar organisasi – organisasi islam, usai Perang Dunia I, mulai dikumandangkan suara bahwa umat islam Indonesia membutuhkan lembaga – lembaga yang memberikan pelajaran yang seimbang dengan ilmu agama dengan ilmu keahlian. Gagasan dan seruan untuk mendirikan sekolah tinggi islam didorong atas munculnya kesadaran bahwa umat islam Indonesia telah tertinggal jauh dalam bidang pendidikan.
Sistem pendidikan yang digunakan pada saat itu kurang seimbang, karena sistem yang digunakan pada saat itu lebih menekankan kepada pendalaman ibadah – ibadah khusus atau lebih terfokus pada nuansa ukhrawi tanpa memberikan ilmu praktis yang diperlukan dalam kehidupan kemasyarakatan. Dan sementara itu penjajah barat telah mengembangkan sistem pendidikan modern yang tentunya produk dan manfaatnya akan digunakan untuk kepentingan mereka. Apabila langkah-langkah dan gagasan tersebut dihubungkan dengan pergerakan politik bangsa Indonesia yang waktu itu telah mengalami babak “Kebangkitan Nasional”, maka gagasan untuk mendirikan Perguruan tinggi islam dimaksudkan untuk mempersiapkan dan mencetak sarjana dan intelektual muslim yang siap dan sanggup dalam menghadapi persoalan yang ada dan mampu menjadi seorang yang dapat memimpin Negara Indonesia merdeka seperti yang dicita – citakan. Beberapa intelektual muslim mempercayai bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling baik untuk mencetak generasi muda muslim yang tangguh dan capable (mampu)   dalam penguasaan ilmu pengetahuan.[1]
Pelaksanaan cita – cita dan gagasan mendirikan sekolah tinggi islam, seperti yang telah dikemukakan dalam mu’tamar – mu’tamar organisasi islam setelah Perang Dunia I itu, “tampak sudah mulai oleh syarikat islam (SI). Kemudian pada mu’tamar – mu’tamar  seperempat  abad  Muhammadiyah  di  Jakarta  tahun  1936, juga  dipusatkan  untuk mendirikan Sekolah Islam Tinggi dengan membuka Fakultas Dagang dan Industri.
Nahdlatul Ulama (NU) juga mempunyai cita – cita yang sama dan begitu juga organisasi – organisasi islam yang lain. Tetapi sebelum itu, di Majalengka Kyai Halim, dengan organisasi Persatuan Oemat Islam sejak tahun 1917 Kyai Halim telah giat mendirikan sekolah – sekolah seperti sekolah ibtidaiyah sampai al Jami’ah (perguruan tinggi) dengan berlokasi diatas gunung dan tanah belukar yang diberi nama “Santi Ashrama”.[2]
Ide – ide dan gagasan – gagasan mendirikan perguruan tinggi islam mulai bermunculan sejak tahun 1938. Dr. Sukiman Wirjosandjojo, di Jawa Tengah pernah menyelenggarakan musyawarah antara beberapa ulama dan kaum cendekiawan untuk membicarakan rencana pendirian perguruan tinggi islam. Kemudian Dr. sukiman melakukan follow-up dari musyawarah pada tahun 1938 itu dengan menyampaikan ide mendirikan lembaga pendidikan tinggi islam ke dalam forum Mu’tamar Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Maka dari hasil mu’tamar ini kemudian didirikanlah Perguruan Tinggi islam di Solo yang diberi nama dengan IMS (Islamic Midelbare school).Tetapi, perguruan tinggi tersebut tidak bertahan lama, karena hanya dapat bertahan samapai pada tahun 1941 dan kemudian berhenti dan ditutup karena pada saat itu sedang terjadi Perang Dunia II.
Jadi terlihat bahwa pada tahun 1901 – 1941 di Indonesia sebenarnya telah banyak berdiri lembaga – lembaga pendidikan islam, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Tetapi, dari catatan sejarah bahwa pendidikan tinggi islam yang pernah ada pada tahun 1941 lebih bersifat sementara dan belum mempunyai jiwa persatuan. Sekalipun pada saat itu institusi – institusi tersebut didirikan tidak dimaksudkan untuk sementara, tetapi ternyata secara perahan – lahan institusi – institusi tersebut dalam perkembangannya semakin melemah dan sampai akhinya terhenti. Dikatakan belum memiliki ruh atau jiwa persatuan karena Perguruan Tinggi Islam (PTI) yang ada dan berkembang sampai waktu itu umumnya didirikan oleh organisasi islam setempat yang kegiatannya terpisah dari organisasi islam lainnya, seperti PTI Muhammadiyah, PTI Santi Ashrama, dan lain sebagainya. Walaupun corak dan keterpisahan, namun tidak menimbulkan pertentangan antara satu dengan lainnya, tetapi jelas kekuatan pendukungnya tidak sekuat seandainya didirikan oleh berbagai organisasi islam seperti STI yang didukung oleh sebagai lembaga islam yang ada.
Sedangkan perguruan tinggi yang sudah bercorak persatuan dari umat islam adalah perguruan yang didirikan dari hasil mu’tamar MIAI di Solo, tidak dapat bertahan lama disebabkan oleh situasi politik yaitu dengan adanya Perang dunia II.
Gagasan mendirikan Perguruan Tinggi Islam semakin kuat dan tidak surut di kalangan organisasi – organisasi islam. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) merupakan perubahan nama dari MIAI.[3] Dari organisasi ini, melahirkan beberapa keputusan penting yaitu :
1.      Membentuk barisan mujahidin dengan nama Hizbullah, barisan ini mempunyai peranan penting dalam sejarah perjuangan Indonesia Merdeka.
2.      Keputusan yang menyangkut bidang pendidikan yaitu “ mendirikan Perguruan Tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI).
Jika dilihat dari penjajahan sejarah umat islam sejak timbulnya gerakan salaf dan kebangkitan nasional Indonesia. Maka, keputusan mendirikan Sekolah Tinggi Islam ( STI ) dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu:
Pertama, kemerdekaan Negara Indonesia kelak pasti meminta pengisian intelektual Islam, calon-calon pemimpin yang sanggup memimpin negara, menggantikan pemerintahan colonial penerus generasi yang akan datang.
Kedua, diperlukan satu perguruan tinggi yang dapat menghimpun keserasian antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
Ketiga, diperlukan satu perguruan tinggi yang dimilki oleh seluruh umat Islam yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam dan merupakan wadah persatuan seluruh umat Islam dalam usaha menanggulangi pengaruh kehidupan barat yang dibaa oleh penjajah. Keempat, pengaruh kebangkitan nasional dan kebangkitan dunia Islam pada umumnya yang melahirkan gerakan-gerakan melawan penjajahan dengan memakai sistem modern, yang dimulai dengan berdirinya Syarikat Dagang Islam ( 1904 ) Muhammadiyah ( 1912 ), Nahdlatul Ulama ( 1926 ), Jamiyatul Washiliyah ( 1930 ), Persatoean Oemat ( 1915 ), Musyawarah Thalibin ( 1932 ) dan lain-lain.
Dari pemikiran, ide-ide, dan gagasan-gagasan diatas, maka sebagai pengikut dari keputusan untuk mendirikan STI, maka pada bulan April 1945 Masyumi menyelenggarakan pertemuan di Jakarta dengan mengundang para ulama dari berbagai Perserikatan Islam serta para intelektual dan unsur pemerintahan yaitu Kementrian Agama Pemerintahan Dai Noppon Jepang. Kemudian yang hadir dan ikut mengambil keputusan konkrit untuk mendirikan STI pada pertemuan tersebut adalah : a.    Dari Pengurus Besar NU yaitu : KH.Abdul Wahab, KH. Bisri Syamsuri, KHA. Wachid Hasyim, KHA. Masykoer, dan K.Zainal Arifin.
b.  Dari Pengurus Besar Muhammadiyah yaitu : Ki Bagus Hadikusumo, KHA. Mas Mansyur, KHA. Hasyim, KH.Faried Ma’roef, KH. Abdul Mukti, KH.M. Junus Anis, dan Katosoedarmo.
c.  Dari Pengurus Besar Persatuan Umat Islam yaitu : KH. Abdul Halim dan Moh. Djunaidi Mansur.
d.  Dari Pengurus Besar Persatuan Umat Islam Indonesia yaitu : KH. Ahmad Sanusi dan KH. Zarkasji Somaatmadja.
e.  Dari Kalangan Intelektual dan para Ulama yaitu : Dr. Satiman Wirdjosandjojo, Dr. Soekoman Wirjosandjojo, Wondoamiseno, Abikusno Tjokrosujoso, Anwar Tjokrominoto, Mr. Moh. Roem, Baginda  H. Dahlan Abdullah, dan KH. Imam Ghazali.
f.  Dari Departemen Agama Dai Nippon Jepang yaitu : KHA. Kahar Muzakkir, KHR. Moh. Adnan, dan Ustadz Imam Zarkasji.

Maka, apabila dilihat dari unsur-unsur organisasi yang hadir, forum musyawarah saat ini sudah cukup representatif untuk mewakili putusan-putusan yang dapat mencerminkan kehendk seluruh umat Islam Indonesia tanpa membedakan organisasi atau golongan.
Kemudian dari hasil musyawarah tersebut, tokoh-tokoh islam yang dipelopori Masyumi, betul-betul berhasil mengambil langkah maju dengan mewujudkan rencana mendirikan STI yaitu dengan dibentuk satu penitian “ Perencanaan STI “ , terdiri dari: Ketua                 : Drs. Moh. Hatta.
Wakil Ketua          : Mr. Suwardi.
Sekertaris              : Dr. Ahmad Ramli
Anggota                : KH. Mas Mansyur, KH. Wahid Hasyim, KHR. Faturrahman Kafrawi, KH. Farid Ma’ruf, KH. Abdul Kahar Muzakkir.
Notulis                  : Kartosudarmo.
Panitia Perencanaan STI ini setelah mengadakan beberapa kali rapat telah menetapkan langkah-langkah untuk :
1)      Menyusun peraturan umum
2)       Menyusun peraturan rumah tangga
3)      Menetapkan susunan badan wakaf pendiri STI
4)      Menetapkan badan penyelenggaraan dan pengawas STI , dan menetapkan senat STI.
Peraturan umum yang dimaksud dalam point 1 tersebut mengandung pokok-pokok ketentuan tertentu, yaitu : pertama, tujuan didiriknnya STI ialah untuk adanya perguruan tinggi yang memberikan pelajaran dan pendidikan tinggi tentang ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu masyarakat agar menjadi pusat penyiaran agama dan memberikan pengaruh islam di Indonesia. kedua, STI didirikan oleh Badan Wakaf dari umat islam yang kelengkapan organisasinya terdiri dari : badan penyelenggaraan, badan pengawas, senat STI, peraturan-peratuan tentang rencana pelajaran, lamanya pelajaran, tingkat pelajaran, ujian promosi dan sebagainya, serta peraturan tentang peningkatan guru besar.[4]
Peraturan Rumah Tangga seperti yang dimaksud pada point 2 berisi ketentuan tentang hal-hal yang belum diatur di dalam peraturan umum. Sedangkan sususnan Badan Wakaf Pendiri STI terdiri dari minimal 20 orang yang beranggotakan unsur-unsur ulama, intelektual, dan pemimpin-pemimpin islam.



1.      Pengurus Badan Wakaf STI , terdiri dari :
Ketua : Said Wiratman Hasan. Wakil Ketua : Sutan Sabarudin. Sekertaris : Kartosudarmo. Anggota : KH. Hasyim Asy’ari, Ki Bagoes Hadikusumo, KH. Abdul Halim Iskandar, dan lain – lain.
2.      Dewan Pengurus STI, terdiri dari :
Ketua : Drs. Moh. Hatta. Wakil Ketua : Mr. Suwandi. Sekertaris: Moh. Natsir, dan Anggota-anggota: Prof. RAA. Husein Djajadiningrat. Dr. Hidyat. Dr. Sukiman Wirjosandjojo, Baginda H. Dahlan Abdullah, Abikoesno Tjokrosujoso, Ki. Bagoes Hadikoesoemo, dan H. Rahman Tamin.
3.      Susunan Senat STI, terdiri dari :
Rektor Magnificus: KHA. Kahar Muzakkir. Anggota: KH. Mas Mansyur, Prof. Dr. Poerbotjaroko, Prof. Dr. Slamet Imam Santoso, Mr. Sumanang. Mr. Abdul Krim, Mr. Aly Budiarjo, Mr. Moh. Yamin, Mr. Kasman Singodimejo, Prof. Mr. Sunardjo Kolopaking, Dr. A. Ramli, Drs. Adam Bachtiar, Ustad Zadili Hasan, KM. Zen Djambek, ditambah beberapa guru SMAN Jakarta sebagai asisten.
Keempat.
4.      Staf Sekertariat, terdiri dari :
Sekertaris: Moh. Natsir, Wakil Sekertaris: Rawoto Mangkusasmito, dan Bendahara: A. Zaenuddin.
Setelah panitia perencanaan persiapan mendirikan perguruan tinggi islam mempersiapakan segala sesuatu yang diperlukan, maka panitia memilih hari yang baik untuk mendirikannya. Maka mereka memilih “Hari Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW” sebagai hari baikknya, dengan harapan agar STI menjadi lembaga kesucian turunnya perintah sholat. Maka bertepatan dengan hari tersebut yakni pada tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan pada tanggal 8 Juli 1945 “Sekolah Tinggi Islam“ resmi didirikan atau dibuka.
Menurut Mahmud Yunus, tujuan didirikannya STI adalah “Untuk mengeluarkan alim ulama yang intelek yaitu mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan agama islam secara luas dan mendalam serta mempunyai pengetahuan umum yang perlu dalam masyarakat modern sekarang. Upacara peresmian STI diselenggarakan di Gedung Kantor Imigrasi Pusat, Gondangdia, Jakarta.[5]
B.     Sejarah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia
Perkembangan selanjutnya, dalam kurun waktu 40 hari, setelah STI dibuka secara resmi baru terjadi pada saat proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemudian beberapa bulan sesudah itu, Jakarta dikuasai oleh tentara NICA yang datang ke Indonesia dengan membawa berboncengan kepentingan Belanda untuk menjajah kembali Indonesia, menggantikan Jepang dan terjadilah kontak senjata antara Indonesia dengan NICA (tentara sekutu). Keadaan itu pada akhirnya memaksa Pemerintah Negara RI untuk mengambil langkah untuk hijrah ke Yogyakarta dan meninggalkan Jakarta. Dan akhirnyapun Yogyakarta dijadikan sebagai ibukota Negara Republik Indonesia.
Ketika STI baru berusia beberapa bulan, dengan terpaksa harus ikut hijrah ke Yogyakarta pada tahun 1946. Dengan alasan yaitu :
1.      Jakarta berada dalam suasana perang yang tentu saja tidak menjamin kelancaran proses pendidikan atau proses perkuliahan.
2.      Hijrahnya pemerintah Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta sangat mempengaruhi kelangsungan STI karena banyak dosen – dosen dan pengurus STI juga ikut pindah ke Yogyakarta.
Setelah STI pindah ke Yogyakarta dan dibuka secara resmi pada tanggal 10 april 1946 di Dalem Pengulon Yogyakarta yang dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta (juga sebagai ketua dewan pengurus STI) serta pejabat – pejabat tinggi negara lainnya baik sipil maupun militer. Upacara pembukaan tersebut diisi dengan penyampaian dua pidato, yaitu pidato Pembukaan STI yang berjudul “Sifat Sekolah Tinggi” oleh Drs. Moh. Hatta dan pidato kuliah umum tentang “Ilmu Tauhid” yang disampaikan oleh KH. Hadjid.
Susunan kepengurusan STI setelah pindah ke Yogyakarta mengalami perubahan pada kelengkapan “Senat STI” sedangkan Dewan Kurator dan lain – lainnya masih tetap seperti sebelum pindah ke Yogyakarta. Perubahan susunan senat STI ditempuh berhubung anggota – anggota lama. Karena situasi politik, menjadi berpencar – pencar ke berbagai daerah. Hasil perubahan itu adalah sebagai berikut ;
Ketua                          : KHA. Kahar Muzakkir
Sekertaris                    : HM. Rasjidi, beliau kemudian digantikan oleh Ustadz Husein Jahja          
Anggota                      : Mr. Alisastroamidjojo, Drs.A.Sigit, Prof. Mr. Sunarjo Kolopaking, R. Suhadji, dan lain – lain.
Demikian kondisi STI yang terus berjalan di Yogyakarta pada tahun 1946 dan tahun 1947 berjalan agak kurang lancar karena waktu itu bangsa Indonesia sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan, apalagi hampir seluruh pengurus STI waktu itu adalah tokoh – tokoh perjuangan nasional. Maka tidak heran warga civitas akademika STI ikut memanggul senjata bergerilya melawan penjajah yang hendak kembali. Karena ada gangguan sehingga kegiatan perkuliahan berjalan tidak lancar. Namun pada akhirnya pada tahun 1946/1947 STI masih sempat menyelenggarakan dua kali ujian untuk tingkat pendahulu. Pihak pemerintah dalam keadaan seperti itu masih memberikan perhatian yang cukup baik bagi STI.
Terbukti pada awal tahun 1947 Kementrian Agama RI memberikan bantuan sebesar Rp 60.000,00 mengenai perencanaan pembelajaran yang pada waktu itu masih sama seperti pembelajaran yang ada di Jakarta pada waktu itu.
Proklamasi Kemerdekaan RI telah membuka jalan yang luas bagi umat islam untuk melaksanakan apa yang telah lama diidam – idamkan dalam bidang pendidikan atas dasar ajaran islam. Maka dengan kemerdekaan telah menarik umat islam yang merupakan golongan penduduk terbanyak di Indonesia untuk mendirikan perguruan tinggi  modern yang berdasarkan islam. Oleh karena itu, keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi islam tersebut karena beberapa faktor yang melandasinya, yaitu :
1.       Dalam ajaran islam tidak ada pemisahan antara paham kenegaraan dengan agama.
2.      Adanya kewajiban bagi umat islam untuk melaksanakan hukum – hukum Allah.
3.      Belum adanya perguruan tinggi yang berlandaskan islam yang mampu menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai lapangan.
4.      Pada zaman penjajahan, pendidikan hanya diselengggarakan untuk mendukung kepentingan penjajah.
5.      Umat islam kekurangan tenaga – tenaga ahli dalam berbagai lapangan.
6.      Dirasakan perlunya memberi kesempatan (penyaluran) kepada sekolah – sekolah agama (madrasah) dan pelajar – pelajar dai pesantren untuk dapat meneruskan  pelajaran ke perguruan tinggi yang memberikan ilmu – ilmu keahlian.
Atas dasar pemikiran seperti itu, maka para fungsionaris STI mengadakan perbincangan-perbincangan dengan tokoh – tokoh islam di berbagai daerah di pulau jawa guna menjajaki kemungkinan pembentukan lembaga pendidikan tinggi islam yang lebih representative. Hasil dialog, tukar pendapat, dan perbincangan dengan para pemimpin islam memperoleh “kesamaan kehendak  untuk lebih meningkatkan efektivitas fungsi dari STI yang merupakan pergurun tinggi isalam satu satunya di waktu itu “. Wujud peningkatan efektivitas dan fungsi dari STI menjadikannya sebagai sebuah universitas. Tindak lanjut dari kehendak itu ialah dibentuknya panitia perbaikan.
Sekolah Tinggi Islam pada bulan Nopember 1947 yang terdiri dari : KHR. Fatchurrahman Kafrawi, KH. Farid Ma’roef, K. malikus Suparto, Mr. R. Sunardjo, Drs. A sigit, KHA. Khahar Muzakir, Ustad sulaiman, Ustad husein Jahja, Kartosudarmo. Kemudian panitia perbaikan tersebut pada bulan Febuari 1948, mengeluarkan keputusan – keputusan untuk meningkatkan fungsi STI yakni :
1.      Mendirikan perguruan tinggi dengan nama Universitas islam Indonesia (UII) sebagai lanjutan dan paembaharuan dari STI.
2.      Universitas Islam Indonesia (UII) adalah satu badan wakaf yang dipimpin oleh suatu badan yang disebut “Dewan Pengurus”.
3.      Universitas Islm Indonesia (UII) berkedudukan di Yogyakarta.
4.      Universitas Islam Indonesia (UII) mempunyai empat fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas ekonomi, Fakultas Pendidikan.
5.      Dewan pengurus menyiapakan peraturan umum dan peraturan rumah tangga Universitas Islam Indonesia (UII).
6.      Dewan pengurus menyusun rencana pelajaran, lamanya pelajaran, tingkatan – tingkatan, dan pemberian gelar
7.      Dewan pengurus memilih dan mengangkat guru – guru besar untuk tiap fakultas.
Kemudian panitia perbaikan STI yang telah menetapkan tujuh butir keputusan tersebut menetapkan pula susunan Dewan Pengurus untuk pertama kali, yakni Ketua : KHR. Fatchurrhman Kafrawi. Wakil ketua : KH. Faried Ma’roef, Sekertaris : K. Malikus Suparto. Anggota – anggota : Mr. R. sunardjo, Prof. Drs. Sigit, Prof.KHA. Kahar Muzakkir, Ustad sulaiman, Husein Jahja, dan Kaertosudarman. Kemudian setela terbentuknya “ Dewan Pengurus” tersebut dapat mengambil langkah - langkah untuk segera mewujudkan UII sesuai dengan sifat, bentuk, dan isi yang diinginkan. Maka, hal – hal yang dilakukan sebagai persiapan untuk merubah STI secara resmi ialah :
1.      Menyusun berbagai peraturan dasar yang diperlukan
2.      Berusaha menjadikan wakaf UII sebagai badan hukum
3.      Menyempurnakan segala urusan keuangan
4.      Mengusahan gedung – gedung dan peralatannya
5.      Melengkapi tenaga- tenaga ahli dalam bidang akademik
Untuk langkah pertama ditetapkan “Dewan Pengurus” adalah sebagai berikut ;
1.      Susunan Senat UII terdiri dari : Prof. KHA. Kahar Muzakkir. Sekertaris : Ustadz Sulaiman. Anggota – anggota : Prof. Dr. Abutari, Prof.Dr.Mr. Kusuma Atmaja, Prof. Dr. Poerbotjaroko, Prof. Mr. Notosusanto, Prof. Drs. Sigit, Prof.Mr. Kasman Singodemedjo, Ir. Poerbdiningrat, Dr. Abu Hanifah, Abdullah Noeh. Dan lain – lain.
2.      Pimpinan fakultas – fakultas terdiri dari : Rektor Maniificus menerangkan Dekan Fakultas Agama : Prof. KHA. Kahar Muzakir. Dekan Fakultas Hukum : Prof. Dr. Mr. Kusumah Atmaja. Dekan Fakultas Pendidikan :Prof. Drs. A. sigit. Dan Dekan Fakultas Ekonomi : Prof. Dr. Abutari.
              Untuk memulai secara resmi mengubah STI menjadi UII pada bulan Maret 1948 diadakan upacara pembukaan pendahuluan yakni pembukaan kelas pendahuluan. Pembukaan ini dilakukan di Pendopo Ndalem BPH. Poerbojo di Ngasem Yogyakarta. Guru – guru pada tingkat pendahuluan diketuai oleh Prof. KHA. Kahar Muzakkir dengan para anggota terdiri dari Ir.S. Poebadiningrat, Dr. surono, Prof. RH. Kasman singodimedjo, Hadi Miadji, dan lain – lain. Maka setelah tingkat pendahuluan resmi dibuka, berarti segala sesuatu yang diperlukan telah dipersiapkan untuk segera meresmikan STI menjadi UII. Maka UII yang ada dan berpusat di Yogyakarta sekarang adalah UII yang diresmikan pada tanggal 27 Rajab 1367 H atau 10 April 1946.
Jadi, secara resmi STI yang diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), tepatnya pada tanggal 10 April 1946 telah mempunyai beberapa fakultas, yakni fakultas agama, fakultas hukum, fakultas ekonomi, dan fakultas pendidikan. Kemudian tidak lama setelah UII berdiri, lembaga ini ditutup karena gedung – gedung dikuasai oleh pasukan Sekutu, dan dibuka kembali pada tanggal 10 April 1946 di Yogyakarta. Mula – mula ada dua jenis kursus yang dibuka, yaitu ilmu agama dan ilmu masyarakat. Pada bulan November 1947, lembaga ini telah mempunyai beberapa  fakultas yaitu Syari’ah, Hukum, Pendidikan, dan Ekonomi, kemudian ditambah fakultas teknik. Pada tanggal 22 Januari 1950 sejumlah pemimpin islam mendirikan sebuah universitas islam di Solo yang disatukan dengan Universitas Islam Indonesia (UII) yang sejak itu mempunyai cabang di dua kota tersebut. [6]Selain itu, mulai banyak muncul perguruan tinggi dan universitas islam lainnya.
Perguruan Tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas – fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian Kementrian Agama pada tahun 1950. Pada Tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Dan pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru degan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dibawah pengawasan Kementrian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademis Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas dalam pemerintahan (misalnya dalam Kementrian Agama) dan untuk pegajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukannmenjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dibawah Kementrian Agama.
           IAIN ini bermula dengan dua fakultas di Yogyakarta dan dua di Jakarta, dan mulai berkembang sehingga masing – masing mempunyai empat fakultas yaitu Fakultas Ushuluddin yang menekankan pada segi ilmu agama yang bersifat spekulatif, seperti filsafat, tasawuf, perbandiaangan agama. Fakultas Syari’ah yaitu menekankan pada aspek – aspek praktis dari agama, yurisprudensi, tafsir, pengetahuan hadis, dan sebagainya. Sedangkan Fakultas Tarbiyah ( pendidikan ) yaitu latihan untuk guru agama, Adab atau ilmu kemanusiaan untuk spesialisasi sejarah islam serta bahasa arab secara khusus. Pada masa selanjutnya lahir satu fakultas baru yaitu fakultas Dakwah.
IAIN terus berkembang pesat. Pada tahun 1992 ada 14 buah IAIN di seluruh Indonesia dengan fakultas lebih dari seratus. Juga bermula dari Jakarta dan Yogyakarta. Pada tahun 1977 sebaanyak 40 fakultas cabang IAIN dilepas menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang berdiri sendiri, diluar 14 IAIN yang ada, berdasarkan Keputusan Presiden No.11 tahun 1977 dengan berkembangnya fakultas dan jurusan pada IAIN diluar studi keislaman, status“ institute” pun berubah menjadi “universitas” sehingga ada beberapa IAIN yang kini telah berubah namanya menjadi UIN. Diantaranya yaitu UIN Alauddin, UIN Syarif Hiyatullah, UIN Sunan Kalijaga, UIN Sunan Ampel, UIN Ar- Raniri, UIN Sunan Gunung Jati, UIN Maulana Malik Ibrahim, dan UIN Sultan Syarif Kasim.
 Pada awal tahun 1980-an dibuka progam Pascasarjana IAIN, dan beberapa tahun kemudian IAIN Alauddin Unjung Pandang dan IAIN Syi’ah Kuala, Aceh, juga membuka progam yang sama. Sampai tahun 1992 Progam Pascasarjana IAIN Jkaarta sudah mengeluarkan puluhan orang Doctor.
Depatemen Agama juga menangani persoalan pendidikan agama pada sekolah – sekolah “umum” negeri. Berkenaan dengan itu, disebutkan bahwa pada tahun 1948 partai Masyumi mendesak agar pengajaran agama diwajibkan dalam sekolah – sekolah negeri tersebut. Hal itu kemudian tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1950 tentang pendidikan. Pasal 20 sebagai berikut :
1.      Pengajaran agama diberikan pada semua sekolah negeri. Kepada orang tua yang berkebertan dapat memutuskan apakah anak – anka mereka mengikutinya atau tidak
2.      Cara memberikan pengajaran agama yang diadakan dalam sekolah – sekolah negeri akan dijelaskan dalam Peraturan Kementrian Pendidikan bersama Kementrian Agama.
Dalam suatu peraturan lanjutan tanggal 16 Juli 1951, pengajaran agama ini ditetapkan dua jam dalam seminggu, yang dimulai dari kelas empat SD dan berlanjut sampai ke Sekolah Menengah.
Akan tetapi, jika dalam suatu kelas terdapat kurang dari 10 anak yang mempunyai agama yang sama, maka tidak akan diberikan agama tersebut. Dalam sidang MPRS bulan Juni-Juli 1966, syarat tentang “keberatan orang tua” dicoret, sehingga pengajaran agama merupakan keharusan bagi seluruh siswa, dengan menyatakan secara sederhana bahwa “Pengajaran agama merupakan mata paelajaran di sekolah, bagi murid sekolah dasar sampai universitas negeri” Kemudian tahun pada 1950 fakultas agama diserahkan kepada Kementrian Agama RI, dan dijadikan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) dengan peraturan pemerintah No.34 tahun 1950. Dan kemudian berkembanglah perguruan tinggi islam sampai sekarang ini.
IV.             KESIMPULAN
Gagasan mendirikan Perguruan Tinggi Islam telah ada sejak zaman dulu, ditandai dengan berdirinya Jami’at al – Khairiyat. Pada masa penjajahan Jepang, Sekolah Tinggi Islam pertama kali berdiri di Jakarta, dan kemudian pindah ke Yogyakarta seiring dengan berpindahnya Ibu Kota Negara ke Yogyakarta di kala itu. Sekolah tinggi ini kemudian diubah menjadi University Islam Indonesia (UII) dengan beberapa fakultas, yaitu : Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakutas Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan.




Berdirinya Universitas Islam di solo dan penyerahan Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia kepada pemerintah merupakan embrio lahirnya IAIN yang selanjutnya beberapa diantaranya mengalami transformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat bagi penulis maupun pembaca, kami telah berusaha semaksimal mungkin membuat makalah ini dengan segala keterbatasan kami, untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan makalah yang selanjutnya. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih






[1] Muslih MZ, Gagasan Mewujudkan Universitas Islam, (Semarang : IAIN Waisongo, 2011), hlm. 1
[2] Supardi,  dkk, Setengah  Abad  UII  Sejarah  Perkembangan  Universitas  Islam
Indonesia, (Yogyakarta:UII  Press, 1994), hlm.18.

[3] Dahlan  Thaib  dan  Moh.  Mahfud  MD, Sejarah  Pertumbuhan  dan
Perkembangan Universitas Islam Indonesia, (Yogyakarta : Liberty Offsit, 1984), Hlm. 19
[4] Dahlan  Thaib  dan  Moh.  Mahfud  MD, Sejarah  Pertumbuhan  dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia,hlm.13.

[5] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,Cet.Kedua, (Jakarta: Mutiara, 1979), hlm.288.
[6]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2003), hlm. 313

Tidak ada komentar: