Rabu, 05 Maret 2014



I.                   PENDAHULUAN
Di Indonesia banyak sekali organisasi – organisasi islam yang berkembang, salah satunya adalah persyarikatan ulama. Persyarikatan ulama merupakan sebuah organisasi yang lahir di Majalengka yang didirikan oleh Haji Abdul Halim. Organisasi ini lahir dari tokoh-tokoh yang mempunyai kualitas keilmuan yang tidak diragukan lagi. Dengan banyaknya organisasi yang berkembang di Indonesia menjadikan masyarakat bingung dan cenderung melihat dengan sebelah mata antara satu organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Dengan adanya masalah tersebut kami mencoba untuk menulis makalah yang akan membahas tentang salah satu organisasi yang ada saat ini, yaitu persyarikatan ulama.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Siapa tokoh pendiri Peryarikatan Ulama?
B.     Bagaimana perkembangan pendidikan islam pada persyarikatan ulama?
C.     Apa saja lembaga yang didirikan di Indonesia ?

III.             PEMBAHASAN
A.    Tokoh dalam Persyarikatan Ulama
Persyarikatan Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif K. H Abdul Halim. Beliau dilahirkan pada tahun 1887 di Cibelarang Majalengka.[1] Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama ( Ayahnya seorang penghulu di Jatiwangi ), sedangkan ibunyamempunyai hubungan yang erat secar kekeluargaan dengan orang – orang dari kalngan pemerintah. K.H Abdul Halim memperoleh agama pada masa kanak – kanak sampai umur 22 tahun di berbagai pesantren di daerah Majalengka. Kemudian ia pergi beliau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan palajarannya. Selam tiga tahun berad di Mekah, beliau mengenal tulisan – tulisan Abduh dan Jamal Al – Din al – Afghani, yang merpakan pokok pembicaraan bersama kawan – kawannya yang berasal dari daerah Sumatra. Di Mekah inilah ia mengenal pertama kali Kyai Haji Mas Mansur yang kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah. Tetapi K. H. Abdul Halim tidak merasa bahwa beliau banyak dipengaruhi oleh Abduh ataupun Al – Afgani. Dan memang sampai ia meninggal tahun 1962 tetap berpegang pada mahdzab Syafi’i.[2] Beliau merupakan salah satu mantan perdana mentri Indonesia. K. H. Abdul Halim merupakan salah satu pahlawan Indonesia yang dapat mempertahankan Kedaulatan Negara Republik Indonesia pada masa penjajahan Balanda.
Dalam mempertahankan kemerdakaan negara kesatuan republik Indonesia, K.H Abdul Halim bermarkas di Gunung Ceremai untuk bisa bergerilya untuk melawan Belanda pada Agresi Belanda I dan Agresi Belanda II. Beliau adalah sosok seorang pemimpin dalam penghadangan militer Belanda di wilayah Karesienan Cirebon. Beliau  merupakan salah satu anggota dalam rapat BPUPKI (Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia ). K.H Abdul Halim meninggal pada tanggal 17 mei 1962 di usia yang ke 74 tahun. K.H Abdul Halim diberikan gelar sebagai pahlawan Nasional pada saat peringatan hari pahlawan pada tanggal 10 November 2008.
Keputusan pemberian gelar pahlawan yang diberikan kepada K.H Abdul Halim disampaikan oleh salah satu menteri komunikasi dan informasi era kabinet indonesia bersatu jilid satu, yaitu Muhammad Nuh tanggal 2 November 2008 di Jakarta Berdasarkan SK Presiden tanggal 6 November 2008. K.H. Abdul Halim juga pernah belajar di Makkah menurut pengajaran mahzhab Syafi’I dari Ahmad Khotib. Sewaktu beliau belajar di Makkah dan Jeddah, beliau tertarik pada sebuah sistem pendidikan yang bersifat balaqah. Sepulang dari Makkah, beliau segera memulai kegiatannya dengan pembaharuan sistem Makkah.
B.     Perkembangan Pendidikan Islam pada Persyarikatan Ulama
Selama K. H. Abdul Halim berada di Mekah yang paling berkesan adalah dua lembaga pendidikan yaitu Bab – al – salam dekat Mekah dan yang lainnya di Jedah. Menurut ceritanya kedua lembaga ini telah menghapuskan sistem halaqah dan sebagai gantinya mengorganisir kelas – kelas serta menyusun kurikulum dengan mempergunakan bangku dan meja. Lembaga ini merupakan contoh baginya kelak untuk merubah sistem pendidikan tradisional di daerah asalnya sekembalinya beliau ke tanah air.Pada tahun – tahun kemudian kegiatannya lebih dirangsang oleh pandangan rendah yang familinya yang masuk golongan priyayi terhadap keluarganya, termasuk ayahnya sendiri. Beliau ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa seorang yang bukan priyayi dapat pula melayani masyarakat dengan baik.
Enam bulan setelah beliau pulang dari Mekah, dalam merealisasikan cita – citanya untuk pertama kalinya K.H. Abdul Halim mendirikan majlis Ilmu pada tahun 1911 sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambo. Pada majlis ini, beliau memberikan pengetahuan agama kepada para santrinya. Dengan bantuan mertunya, yaitu K.H. Muhammad Ilyas, serta mendapat dukungan dari masyarakat. Beliau terus mengembangkan idenya hingga beliau dapat membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri. [3]
Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 beliau juga   mendirikan suatu  perkumpulan atau organisasi yang bernama “Hayatul Qulub”. Melalui lembaga ini beliau mengembangkan ide pembaruan pendidikan, Selain itu beliau juga  aktif dalam bidang sosial ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat , santri, pedagang, dan petani. Perkumpulan ini mempunyai tujuan ganda yaitu sebagai usaha pendidikan agama dan sebagai koperasi simpan pinjam. Hayatul Qulub yang aktivitasnya disamping berupaya meningkatkan kualitas pendidikan juga mendorong kegiatan ekonomi rakyat terutama dalam menghadapi persaingan pengusaha asing yang menguasai pasar dan melawan penindasan Belanda terhadap rakyat yang memeras tenaga mereka. Hayatul Qulub yang memelopori berdirinya perusahaan percetakan, pembangunan, pabrik tenun serta pengembangan usaha-usaha pertanian .
Anggota – anggotanya mulanya enam puluh orang, umumnya terdiri dari pedagang dan petani. Mereka membayar iuran masuk sepuluh sen dan iuran mingguan lima sen, untuk dana mendirikan sebuah perusahaan tenun, Organisasi ini juga bermaksud untuk membantu anggota – anggotanya yang bergerak dalam bidang perdagangan dalam persaingan dengan pedagang – pedagang Cina.
Dalam bidang bidang pendidikan K. H. Abdul Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama seminggu sekaliuntuk orang – orang dewasayang diikuti empat puluh orang. Umumnya pelajaran – pelajaran yang beliau berikan adalah peljaran fikih dan hadist. Ketika itu beliau tidak semta – mata hanya mengajar saja namun juga bergerak di bidang perdagangan untuk memenuhi nafkah hidupnya. K. H. Abdul Halim juga mengadakan Langkah-langkah perbaikan meliputi delapan bidang perbaikan yang disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong).
Namun, Hayatul Qulub tidaklah berlangsung lama. Persaingan dengan pedagang Cina yang kadang – kadang menyebabkan perkelahian ( perang mulut dan perang fisik ), dianggap oleh pemerintah sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahun 1915 organisasi tersebut dilarang setelah berjalan selama tiga sampai empat tahun. Tetapi kegiatan – kegiatannya terus berjalan meskipun tidak diberi nama secara resmi, termasuk kegiatan dibidag ekonomi. Sedangkan kegiatan pendidikan dilanjutkan sebuah organisasi baru yang disebut majlisul ilmi.
Pada tahun 1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutam tokoh – tokoh seperti penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bersifat modern. Demikianlah dengan sekolah Jam’iyat I’nat al - Muata’aalimindidirikan dengan mendapat sambutan yang amat baik dari guru – guru lain di daerah tersebut. Tetapi sistem kelas dan sistem edukasi yang diintrodusir oleh K. H. Abdul Halaim dalam lembaga lima tahunnya untuk tidak disukai. Walaupun demikian K. H. Abdul Halim dengan bantuan yang diperolehnya dari penghulu dan juga oleh karena mundurnya pesantren didaerahnya dapat nmengubah ketidaksenangan ini. Usahanya mulai disambut baik. Untuk memeperbaiki mutu sekolahnya K. H. Abdul Halim berhubungan juga dengan Jami’iyat khair dan al – Irsyad di Jakarta. Beliau juga mewajibkan para murid – muridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar.pada kelas – kelas lanjutan.[4]
Organisasi tersebut yang kemudian diganti dengan Persyerikatan Ulamasecara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 ke seluruh Indonesia. Dalam kenyataanya persyarekatan Ulama merupakan sebuah organisasi daerah Majalengka. Ia semata – mata tidak membatasi diri pada bidang pendidikan, ia juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fathimiyah, bagian wanita dari organisasi tersebut ( nama yang diambil dari nama anak Nabi Muhammad SAW ) yang didirikan pada tahun 1930.
Beberapa perusahaan juga berada dibawah pengawasan organisasi tersebut. Dua setengah hektar tanah dibeli pada tahun 1927 untuk pertanian, sebuah percetakan dan sebuah perusahaan tenun didirikan,masing – masing tahun 1930 dan tahun 1939. Untuk segala keperluan di bidang perusahaan ini semua guru – guru Persyarikatan Ulama di Majalengka diwajibkan membeli saham. Perhatian di bidang ekonomi juga dicerminkan dalam kurikulum lembaga pendidikan yang didirikan oleh Persyarikatan Ulama yang bersama Santi Asrama. Lembaga ini didirikan 1932 disamping madrasah-madrasah biasa yang telah didirikan banyak tempat didaerah tersebut.
Pada tahun 1932, dalam suatu konggres Persyarikatan Ulama di Majalengka, K. H. Abdul Halim mengusulkan sebuah lembaga agar didirikan, yang akan melengkapi pelajar – pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan pengetahuan umum, namun juga dengan kelengkapan – kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan, pertanian. Bergantung dari bakat masing – masing.
K. H. Abdul Halim rupanya telah sampai kepada pemikiran ini setelah melihat bahwa kebanyakan lulusan dari lulusan sekolah yang didirikan oleh pemerintah menggantungkan diri kepada lapangan kerja yang disediakan dalam lingkungan pemerintah atau dalam bidang usaha, tanpa dapat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun juga melihat bahwa lulusan madrasah biasa taupun pesantren hanya menjadi guru agama atau kembali kepada lingkungan pekerjaan orang tuanya sendiri ( bertani atau berdagang ). Padahal ia tidak memperoleh latihan khusus untuk itu, juga tidak di dalam madrasah ataupun lingkungan keluarganya. Oleh sebab itu,K. H. Abdul Halim berpendapat seorang lulusan yang baik adalah yang berkemampuan untuk memasuki suatu bidang kehidupan tertentu, dengan persiapan – persiapan latihan yang diperlukan.[5]
Pendiri perserikatan ulama ini juga mengusulkan agar latihan tersebut  perlu juga menitik- beratkan pada  pembentukan  watak. Untuk keperluan ini sebuah tempat tenang di lluar kota mrupakan tempat yang ideal . kota katanya telah di racuni atau sering di racuni dengan kebiasaan yang kurang mengindahkan moral. Sedangkan tempat – tempat di luar kota yang sunyi dan tenang dapat merupakan tempat yang memberikan inspirasi-inspirasi yang baik.
Kongres tadi menerima usul  KHA Halim.suatu keluarga yang kaya dari ciomas menyediakan setumpuk tanahnya ,di pasir ayu kira-kira sepuluh kilometer dari majalengka, untuk keperluan pelaksanaan cita-cita tersebut. Lembaga ini,di namkan santri asrama yang di bagi 3 bagian : itngkat permulaan ,dasar dan lanjutan. Di samping kurikulum biasa sebagaimana terdapat pada sekolah-sekolah lain dari esyeri.  Kata yaitu dalam agam dan pelajaran umum,pelajar–pelajar dari santri asrama di latih pertanian ,pekerjaan tangan (besi dan kayu), menenun dan mengolah berbagai bahan,seperti membuat sabun.  Mereka harus tinggal di suatu asrama di bawah disiplin yang ketat,terutama tentang pembagian waktu dan tentang sikap pergaulan hidup mereka. Pada bagian kedua dari tahun 1930-an kira- ikra 60 sampai 70 anak–anak muda di latih di santri asrama  tersebut sebagai pelajar-pelajar yang di asramakan ,sedangkan kira-kira 200 anak-anak lain yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya turut pula belajar.
Sebagaimana organisasi-organisasi lain,persyarikatan ulama sejak mula berdiri,menyelenggarakan juga tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah dan brosur sebagai media penyebar cita-citanya .di samping masalah-masalah organisasi pertemuan-pertemuan dan tabligh serta publikasi tersebut mengutamakan sekali aspek –aspek islam
Beliau juga mengadakan Langkah-langkah perbaikan meliputi delapan bidang perbaikan yang disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong).
Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk  mengembangkan bidang pendidikan. Untuk itu,  ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917.
Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia. Selain itu, Abdul Halim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren kerja bersama bernama Santi Asromo pada bulan April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Di samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir penjajahan.
Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham ahlussunnah waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan adhoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Raiz Akbar.Dan usaha – usaha yang dirintis oleh Nadlatul Ulama adalah :
Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
1.    Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
2.    Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
3.    Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
4.    Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Pada tahun 1924 Perikatan Oelama semakin berkembang dan hampir menjangkau ke seluruh wilayah Jawa dan Madura. Di tahun 1939 organisasi sosial-pendidikan ini telah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Salah satu kegiatan yang paling menonjol adalah program pertolongan kepada para pelajar dengan membentuk I’anatul Muta’allimin. Antara tahun 1917-1920 telah dibangun 40 Madrasah, sebagian besar di Jawa, dengan metode pengajaran modern, yang pada saat itu mendapat tentangan dari berbagai pihak. Pada Kongres ke IX, KH.Abdul Halim melahirkan ide untuk membangun sebuah pondok Pesantren, dimana santri tidak saja belajar agama tetapi juga dilatih berbagai kerajinan dan keterampilan. Ide ini mendapat sambutan positif yang pada akhirnya berdiri pondok pesantren yang dikenal dengan sebutan Santi Asromo. Persyerikatan ulama ini tetap merupakan organisasi dari majelengka. Organisasi ini juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fatimiyah bagian wanita dari organisasi tersebut, yang diambil dari anak nabi Muhamad SAW yang didirikan pada tahun 1930. Pada tahun 1932 dalam suatu kongres persyerikatan ulama di Majalengka,K.H.Abdul  Halim mengusulkan agar mendirikan  sebuah lembaga yang dilengkapi dengan berbagai cabang ilmu keagamaan dan pengetahuan umum lainnya.
C.      Lembaga – lambaga yang didirikan di Indonesia
Dilihat dari bentuk dan sifat pendidikanya, lembaga-lembaga pendidikan islam tersebut ada yang bersifat formal dan non formal.

1.       Masjid dan surau
Sebuah hadis yang diriwayatkanoleh Imam Bukhari dan Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah bersabda,
وجعلت لى الارض مسجدا وطهورا
“Telah dijadikan bumi ini masjid dan suci baginya”
Dalam kamus Arab – Indonesia, kata masjid berasal dari kata “sajada” yang berarti membungkuk dan hikmat. Sedangkan menurut Sidi Ghazalba masjid adalah tempat untuk bersujud. Sujud adalah pengakuan ibadah lahir maupun batin.Pada masa awal islam, proses pembelajaran dilaksanakan secara informal, yaitu berlangsung dirumah al – Arqambin Abi al – Arqam atau biasa dipanggil dengan sebutan Dar al – Arqam di Mekah, tepatnya diatas bukit Shafa.Rasulullah menggunakan Dar al Arqam tersebut sebagai tempat pertemuan dan pengajaran dengan para sahabat. Kaum muslim yang hadir pada masa awal Islam masih sangat kecil, tetapi makin bertambah hingga menjadi 38 orang yang terdiri dari golongan bangsawan Quraisy, pedagang dan hamba sahaya. Setelah Rasulullah hijrah ke kota Madinah, maka proses pendidikan lebih difokuskan di masjid. Pertama yang dilakukan Rasulullah setiba di Madinah adalah membangun masjid. Fungsi masjid tersebut selain tempat ibadah, juga sebagai tempat penyebaran dakwah, ilmu Islam, penyelesaian masalah individu dan masyarakat, menerima duta-duta asing, pertemuan pemimpin-pemimpin Islam, bersidang, dan madrasah bagi orang-orang yang ingin menuntut ilmu khususnya tentang ajaran Islam.Rasulullah benar-benar mengoptimalkan fungsional masjid dalam membangun masyarakat Madinah menuju peradaban yang tidak didapati semisalnya hingga kini. Fungsi masjid tersebut selain tempat ibadah, juga sebagai tempat penyebaran dakwah, ilmu Islam, penyelesaian masalah individu dan masyarakat, menerima duta-duta asing, pertemuan pemimpin-pemimpin Islam, bersidang, dan madrasah bagi orang-orang yang ingin menuntut ilmu khususnya tentang ajaran Islam. Rasulullah benar-benar mengoptimalkan fungsional masjid dalam membangun masyarakat Madinah menuju peradaban yang tidak didapati semisalnya hingga kini.
Dari pengertian di atas, masjid bukan saja dijadikan sebagai tempat ibadah berupa shalat semata, lebih dari itu masjid berfungsi untuk mengabdikan diri kepada Allah. Masjid sebagai tempat pengabdian kepada Allah termasuk di dalamnya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Karena sangat urgennya fungsi masjid ketika Rasulullah berhijrah dari kota Mekkah ke Madinah ketika sampai di Quba’ pada tahun 622 M beliau membangun masjid. Untuk merealisasikan program tersebut Rasulullah dan para sahabat bekerja bakti membangunnya. Akhirnya berdirilah sebuah bangunan masjid di Quba’, dan inilah masjid Islam pertama dalam Islam. Saat dibangun masjid ini berlantaikan tanah, dan beratap pelepah kurma. Dari masjid yang kecil inilah selanjutnya Rasulullah membangun peradaban Islam yang besar. Perkembangan pesat kota Madinah sendiri bermula dari pembangunan Masjid.Selama Rasulullah di Madinah seringkali beliau mengunjungi masjid Quba’ ini, begitu juga dengan para sahabat. Kunjungan Rasulullah dan para sahabat ke tempat tersebut bukan semata untuk mendirikan shalat di sana, tetapi lebih dari itu semua adalah untuk menjalankan proses pendidikan dan pengajaran kepada penduduk muslim di desa tersebut.Di dalam masjid ini, Rasulullah mengajar dan memberi khutbah dalam bentuk halaqah, di mana para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan tanya-jawab berkaitan urusan agama dan kehidupan sehari-hari. Ketika Rasulullah telah tiba di kota Madinah setelah beberapa hari tinggal di desa, maka program pertama dalam pembangunan adalah mendirikan masjid. Rasulullah sendiri turut bekerja dengan giatnya beserta dengan para sahabat. Ia juga ikut mengankat batu dan pohon kurma.
Dengan semangat gotong-royong yang luar biasa dalam waktu singkat berdirilah masjid yang dinamakan dengan masjid Nabawi. Kedua masjid tersebut dibangun atas dasar taqwa, Allah berfirman:“Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” Di Madinah ketika itu selain masjid Nabawi juga tercatat sembilan masjid yang lain, dan dapat dimungkinkan juga kesembilan masjid itu difungsikan sebagai madrasah, dalam artian tempat belajar. Di antara masjid yang dijadikan pusat penyebaran ilmu dan pengetahuan ialah Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Kufah, Masjid Basrah dan masih banyak lagi. Sistem pendidikan yang diterapkan adalah sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah, yaitu berupa halaqah-halaqah. Sistem ini selain menyentuh dimensi intelektual peserta didik juga menyentuh dimensi emosional dan spiritual mereka. Metode diskusi dan dialog kebanyakan dipakai dalam berbagai halaqah.
Dalam halaqah ini, murid yang lebih tinggi pengetahuannya duduk di dekat guru. Murid yang level pengetahuannya lebih rendah dengan sendirinya akan duduk lebih jauh, serta berjuang dengan keras agar dapat mengubah posisinya  dalam halaqah-nya, sebab dengan sendirinya posisi dalam halaqah menjadi sangat singnifikan. Meskipun tidak ada batasan resmi, sebuah halaqah biasanya terdiri dari sekitar 20 orang siswa. Dikte (imla’) biasanya memainkan peranan pentingnya, tergantung kepada kajian dan topik bahasan. Uraian materi disesuaikan dengan kemampuan peserta halaqah. Menjelang akhir sesi, diadakan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana penyerapan materi beserta pemahamannya terhadap peserta didik. Terkadang pengajar menyempatkan diri untuk memeriksa catatan peserta didik, mengoreksi dan menambah seperlunya. Seorang peserta didik juga bisa masuk dari satu halaqah ke halaqah lainnya sesuai orientasi dan materi belajar yang ia ingin capai. Rasulullah pun melakukan evalusi pengajaran, dengan cara mengevaluasi hafalan para shahabat, menyuruh para shahabat membacakan al Qur’an dihadapannya dan membetulkan hafalan dan bacaan yang keliru, dan setiap utusan yang akan dikirim oleh Rasulullah dicek dulu kemampuannya. Misalnya ketika akan mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai qadli, Rasulullah menanyakan bagaimana ia memutuskan suatu perkara yang muncul ditengah-tengah umat. Mu’adz menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengal al Qur’an, as Sunnah, dan jika tidak didapati di keduanya ia akan berijtihad. Maka Rasulullah pun tersenyum tanya menyetujui dan percaya akan kompetensi Mu’adz sebagai qadli di Yaman.
Tidaklah heran jika masjid merupakan asas utama yang terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam karena masyarakat muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali melalui semangat masjid. Di antara sistem dan prinsip ialah tersebarnya ikatan ukhuwwah dan mahabbah sesama kaum muslim, semangat persamaan dan keadilan sesama muslim, dan terpadunya beragam latar belakang kaum muslim dalam suatu kesatuan yang kokoh. Di sebelah selatan masjid terdapat satu ruangan yang disebut al suffah, yakni tempat tinggal para sahabat miskin yang tidak memiliki rumah. Mereka yang tinggal di al suffah ini disebut ahl al suffah. Mereka adalah para penuntut ilmu. Di tempat inilah dilangsungkan proses pendidikan kepada mereka dan para sahabat lain. Dengan demikian, George Makdisi menyebut masjid juga sebagai lembaga pendidikan Islam. Masjid memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pendidikan islam. Sebagai lembaga pendidikan, masjid berfungsi sebagai penyempurna pendidikan dalam keluarga, agar selanjutnya anak mampu melaksanakan tugas-tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya, Dengan demikian, masjid merupakan lembaga kedua setelah keluarga, yang jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah menengah dan sekolah tinggi dalam waktu yang sama.
2.      Pondok Pesantren
Pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia yang mengakar kuat dari masa pra islam, yaitu bentuk asrama agama budha yang ditransfer menjadi lembaga pendidikan islam. Di bidang pendidikan, pemerintah mengadakan pembinaan agar Pesantren manyadari bahwa kondisi Pesantren yang tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman. Pesantren menanggapi himbauan pemerintah dengan mengadakan perubahan terhadap pola pendidikannya agar selaras dengan pendidikan nasional. Belakangan ini Pesantren telah mengalami perkembangan yang luar biasa, dengan berdirinya perguruan tinggi di Pesantren.
Sistem yang ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pada umumnya, yaitu:
a.    Memakai sistem tradisional, yang memiliki kebebasan penuh dibandingkan dengan      sekolah modern, sehingga terjadi hubungan 2 arah antara kiai dan santri.
b.    Kehidupan dipesantren menampakkan semangat demokrasi, karena mereka praktis bekerjasama mengatasi problem non kurikuler mereka sendiri.
c.    Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka hanya ingin mencari keridhoan Allah SWT semata.
d.    Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
e.    Alumni pondok pesantren tak ingin menduduki jabatan pemeritahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.
2.      Madrasah
Kata madrasah berasal dari bahasa arab, yaitu “darasa, yadrusu, darsan, madrasatan” yang mempunyai arti tempat belajar para pelajar. Kata madrasah merupakan isim makan dari “Darasa” yang berarti tempat belajar.[6] Istilah madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, namun di Indonesia ditujukan untuk sekolah – sekolah islam yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama islam. Yang termasuk lembaga ini adalah lembaga pendidikan seperti, Ibtidaiyah, Aliyah, Muallimin, Muallimat, serta Diniyah.[7] Madrasah bukan lembaga pendidikan islam asli Indonesia, tetapi berasal dari dunia islam timur tengah. Di Indonesia istilah “madrasah” di adopsi untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan islam; dengan sistem klasikal, penjenjangan, penggunaan bangku, bahkan memasukkan pengetahuan umum sebagai bagian kurikulumnya. Di Indonesia penggunaan istilah madrasah juga berfungsi untuk membedakan antara lembaga pendidikan islam modern dengan lembaga pendidikan islam tradisional.
3.              Perguruan Tinggi Agama Islam
Umat islam yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia mencari berbagai cara untuk membangun sistem pendidikan islam yang lengkap, mulai dari pesantren yang sederhana sampai tingkat perguruan tinggi.
Tujuan pendirian lembaga pendidikan tinggi ini pada mulanya adalah menghasilkan ulama’ yang intelek, yaitu mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan agama islam yang mendalam dan luas, serta mempunyai pengetahuan umum yang diperlukan dalam masyarakat modern sekarang.
4.             Majlis Ta’lim
Majlis ta’lim merupakan salah satu lembaga pendidikan yang bersifat non formal, Para wali menggunakan majlis ta’lim sebagai madia untuk menyampaikan dakwahnya disaat-saat penyiaran islam.

IV.           KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tokoh pendiri Persyarikatan Ulama adalah K. H. Abdul Halim, beliau merupakan salah satu tokoh pendidikan islam yang patut di contoh, dengan ide – idenya beliau yang begitu cemerlang yang dapat melahirkan alumni – alumninya menjadi orang – orang mandiri. Sedangkan perkembangan dari Persyarikatan Ulama telah mengalami kemajuan yang baik, dengan adanya perubahan sistem pendidikan dari sistem tradisional ke sistem yang modern. Dan lembaga – lembaga yang berada di Indonesia ypada Persyarikatan Ulama yaitu terdapat Masjid dan surau, pondok pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam,serta Majlis Ta’lim.

PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penulis. Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini, baik dalam penulisan ataupun dalam teknik pengetikan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk kelengkapan makalah yang selanjutnya.


















DAFTAR PUSTAKA

Nasir, Ridlwan, Format Pendidikan Idea, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2009
Subhan, Arif, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta : Kencana, 2012
Syukur, Fatah NC, Sejarah Pendidikan Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992






















[1]  Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1992 ), hal. 167
[2]  Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1992 ), hal. 167
[3]  Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 168
[4]  Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 170
[5]  Fatah Syukur  NC, Sejarah Pendidikan Islam, ( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012 ), hal. 172
[6] Fatah Syukur  NC, Sejarah Pendidikan Islam, ( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012 ), hal. 118
[7] Ridlwan Nasir, Format Pendidikan Idea, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010 ), hal. 90

Tidak ada komentar: