I.
PENDAHULUAN
Di Indonesia banyak sekali
organisasi – organisasi islam yang berkembang, salah satunya adalah
persyarikatan ulama. Persyarikatan ulama merupakan sebuah organisasi yang lahir
di Majalengka yang didirikan oleh Haji Abdul Halim. Organisasi ini lahir dari
tokoh-tokoh yang mempunyai kualitas keilmuan yang tidak diragukan lagi. Dengan
banyaknya organisasi yang berkembang di Indonesia menjadikan masyarakat bingung
dan cenderung melihat dengan sebelah mata antara satu organisasi yang satu
dengan organisasi yang lain. Dengan adanya masalah tersebut kami mencoba untuk
menulis makalah yang akan membahas tentang salah satu organisasi yang ada saat
ini, yaitu persyarikatan ulama.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Siapa tokoh pendiri Peryarikatan Ulama?
B.
Bagaimana perkembangan pendidikan islam pada persyarikatan ulama?
C.
Apa saja lembaga yang didirikan di Indonesia ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Tokoh dalam Persyarikatan Ulama
Persyarikatan
Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan
di daerah Majalengka, Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif
K. H Abdul Halim. Beliau
dilahirkan pada tahun 1887 di Cibelarang Majalengka.[1] Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama ( Ayahnya
seorang penghulu di Jatiwangi ), sedangkan ibunyamempunyai hubungan yang erat
secar kekeluargaan dengan orang – orang dari kalngan pemerintah. K.H Abdul
Halim memperoleh agama pada masa kanak – kanak sampai umur 22 tahun di berbagai
pesantren di daerah Majalengka. Kemudian ia pergi beliau pergi ke Mekah untuk
menunaikan ibadah haji dan melanjutkan palajarannya. Selam tiga tahun berad di
Mekah, beliau mengenal tulisan – tulisan Abduh dan Jamal Al – Din al – Afghani,
yang merpakan pokok pembicaraan bersama kawan – kawannya yang berasal dari
daerah Sumatra. Di Mekah inilah ia mengenal pertama kali Kyai Haji Mas Mansur
yang kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah. Tetapi K. H. Abdul Halim tidak
merasa bahwa beliau banyak dipengaruhi oleh Abduh ataupun Al – Afgani. Dan
memang sampai ia meninggal tahun 1962 tetap berpegang pada mahdzab Syafi’i.[2] Beliau
merupakan salah satu mantan perdana mentri Indonesia. K. H. Abdul Halim
merupakan salah satu pahlawan Indonesia yang dapat mempertahankan Kedaulatan
Negara Republik Indonesia pada masa penjajahan Balanda.
Dalam mempertahankan kemerdakaan negara
kesatuan republik Indonesia, K.H Abdul Halim bermarkas di Gunung Ceremai untuk
bisa bergerilya untuk melawan Belanda pada Agresi Belanda I dan Agresi Belanda
II. Beliau adalah sosok seorang pemimpin dalam
penghadangan militer Belanda di wilayah Karesienan Cirebon. Beliau merupakan salah satu anggota dalam rapat
BPUPKI (Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia ). K.H Abdul Halim meninggal pada
tanggal 17 mei 1962 di usia yang ke 74 tahun. K.H Abdul Halim diberikan gelar
sebagai pahlawan Nasional pada saat
peringatan hari pahlawan pada tanggal 10
November 2008.
Keputusan pemberian gelar pahlawan yang
diberikan kepada K.H Abdul Halim disampaikan oleh salah satu menteri komunikasi
dan informasi era kabinet indonesia bersatu jilid satu, yaitu Muhammad Nuh
tanggal 2 November 2008 di Jakarta Berdasarkan SK Presiden tanggal 6 November
2008. K.H. Abdul
Halim juga pernah belajar di Makkah menurut pengajaran mahzhab Syafi’I dari
Ahmad Khotib. Sewaktu beliau belajar
di Makkah dan Jeddah, beliau tertarik pada sebuah sistem
pendidikan yang bersifat balaqah. Sepulang
dari Makkah, beliau segera memulai kegiatannya dengan pembaharuan sistem
Makkah.
B.
Perkembangan Pendidikan Islam pada Persyarikatan Ulama
Selama K. H. Abdul Halim berada di Mekah yang paling
berkesan adalah dua lembaga pendidikan yaitu Bab – al – salam dekat Mekah dan
yang lainnya di Jedah. Menurut ceritanya kedua lembaga ini telah menghapuskan
sistem halaqah dan sebagai gantinya mengorganisir kelas – kelas serta menyusun
kurikulum dengan mempergunakan bangku dan meja. Lembaga ini merupakan contoh
baginya kelak untuk merubah sistem pendidikan tradisional di daerah asalnya
sekembalinya beliau ke tanah air.Pada tahun – tahun kemudian kegiatannya lebih
dirangsang oleh pandangan rendah yang familinya yang masuk golongan priyayi
terhadap keluarganya, termasuk ayahnya sendiri. Beliau ingin memperlihatkan
kepada mereka bahwa seorang yang bukan priyayi dapat pula melayani masyarakat
dengan baik.
Enam bulan setelah beliau pulang dari Mekah, dalam
merealisasikan cita – citanya untuk pertama kalinya K.H. Abdul Halim mendirikan
majlis Ilmu pada tahun 1911 sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang
sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambo. Pada majlis
ini, beliau memberikan pengetahuan agama kepada para santrinya. Dengan bantuan
mertunya, yaitu K.H. Muhammad Ilyas, serta mendapat dukungan dari masyarakat.
Beliau terus mengembangkan idenya hingga beliau dapat membangun tempat pendidikan
yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri. [3]
Untuk
memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 beliau juga mendirikan suatu perkumpulan atau organisasi yang bernama
“Hayatul Qulub”. Melalui lembaga ini beliau mengembangkan ide pembaruan
pendidikan, Selain itu beliau juga aktif
dalam bidang sosial ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri
atas para tokoh masyarakat , santri, pedagang, dan petani. Perkumpulan ini
mempunyai tujuan ganda yaitu sebagai usaha pendidikan agama dan sebagai
koperasi simpan pinjam. Hayatul
Qulub yang aktivitasnya disamping berupaya meningkatkan kualitas pendidikan
juga mendorong kegiatan ekonomi rakyat terutama dalam menghadapi persaingan
pengusaha asing yang menguasai pasar dan melawan penindasan Belanda terhadap
rakyat yang memeras tenaga mereka. Hayatul Qulub yang memelopori berdirinya
perusahaan percetakan, pembangunan, pabrik tenun serta pengembangan usaha-usaha
pertanian .
Anggota – anggotanya mulanya enam puluh orang, umumnya terdiri dari
pedagang dan petani. Mereka membayar iuran masuk sepuluh sen dan iuran mingguan
lima sen, untuk dana mendirikan sebuah perusahaan tenun, Organisasi ini juga
bermaksud untuk membantu anggota – anggotanya yang bergerak dalam bidang
perdagangan dalam persaingan dengan pedagang – pedagang Cina.
Dalam bidang bidang pendidikan K. H. Abdul Halim mulanya menyelenggarakan
pelajaran agama seminggu sekaliuntuk orang – orang dewasayang diikuti empat
puluh orang. Umumnya pelajaran – pelajaran yang beliau berikan adalah peljaran
fikih dan hadist. Ketika itu beliau tidak semta – mata hanya mengajar saja
namun juga bergerak di bidang perdagangan untuk memenuhi nafkah hidupnya. K. H.
Abdul Halim juga
mengadakan Langkah-langkah perbaikan meliputi delapan bidang
perbaikan yang disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah
al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan
bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah
al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan
bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah
al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah
(perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong).
Namun, Hayatul Qulub tidaklah berlangsung lama. Persaingan dengan pedagang
Cina yang kadang – kadang menyebabkan perkelahian ( perang mulut dan perang
fisik ), dianggap oleh pemerintah sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahun
1915 organisasi tersebut dilarang setelah berjalan selama tiga sampai empat
tahun. Tetapi kegiatan – kegiatannya terus berjalan meskipun tidak diberi nama
secara resmi, termasuk kegiatan dibidag ekonomi. Sedangkan kegiatan pendidikan
dilanjutkan sebuah organisasi baru yang disebut majlisul ilmi.
Pada tahun 1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutam
tokoh – tokoh seperti penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan sebuah
lembaga pendidikan yang bersifat modern. Demikianlah dengan sekolah Jam’iyat
I’nat al - Muata’aalimindidirikan dengan mendapat sambutan yang amat baik dari
guru – guru lain di daerah tersebut. Tetapi sistem kelas dan sistem edukasi
yang diintrodusir oleh K. H. Abdul Halaim dalam lembaga lima tahunnya untuk
tidak disukai. Walaupun demikian K. H. Abdul Halim dengan bantuan yang
diperolehnya dari penghulu dan juga oleh karena mundurnya pesantren didaerahnya
dapat nmengubah ketidaksenangan ini. Usahanya mulai disambut baik. Untuk
memeperbaiki mutu sekolahnya K. H. Abdul Halim berhubungan juga dengan Jami’iyat
khair dan al – Irsyad di Jakarta. Beliau juga mewajibkan para murid – muridnya
pada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa arab yang kemudian menjadi
bahasa pengantar.pada kelas – kelas lanjutan.[4]
Organisasi tersebut yang kemudian diganti dengan Persyerikatan Ulamasecara
resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun
1937 ke seluruh Indonesia. Dalam kenyataanya persyarekatan Ulama merupakan
sebuah organisasi daerah Majalengka. Ia semata – mata tidak membatasi diri pada
bidang pendidikan, ia juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan
oleh Fathimiyah, bagian wanita dari organisasi tersebut ( nama yang diambil
dari nama anak Nabi Muhammad SAW ) yang didirikan pada tahun 1930.
Beberapa perusahaan juga berada dibawah pengawasan organisasi tersebut. Dua
setengah hektar tanah dibeli pada tahun 1927 untuk pertanian, sebuah percetakan
dan sebuah perusahaan tenun didirikan,masing – masing tahun 1930 dan tahun
1939. Untuk segala keperluan di bidang perusahaan ini semua guru – guru
Persyarikatan Ulama di Majalengka diwajibkan membeli saham. Perhatian di bidang
ekonomi juga dicerminkan dalam kurikulum lembaga pendidikan yang didirikan oleh
Persyarikatan Ulama yang bersama Santi Asrama. Lembaga ini didirikan 1932
disamping madrasah-madrasah biasa yang telah didirikan banyak tempat didaerah
tersebut.
Pada tahun 1932, dalam suatu konggres Persyarikatan Ulama di Majalengka, K.
H. Abdul Halim mengusulkan sebuah lembaga agar didirikan, yang akan melengkapi
pelajar – pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama
dan pengetahuan umum, namun juga dengan kelengkapan – kelengkapan berupa
pekerjaan tangan, perdagangan, pertanian. Bergantung dari bakat masing –
masing.
K. H. Abdul Halim rupanya telah sampai kepada pemikiran ini setelah melihat
bahwa kebanyakan lulusan dari lulusan sekolah yang didirikan oleh pemerintah
menggantungkan diri kepada lapangan kerja yang disediakan dalam lingkungan
pemerintah atau dalam bidang usaha, tanpa dapat bekerja sendiri untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Namun juga melihat bahwa lulusan madrasah biasa taupun
pesantren hanya menjadi guru agama atau kembali kepada lingkungan pekerjaan
orang tuanya sendiri ( bertani atau berdagang ). Padahal ia tidak memperoleh
latihan khusus untuk itu, juga tidak di dalam madrasah ataupun lingkungan
keluarganya. Oleh sebab itu,K. H. Abdul Halim berpendapat seorang lulusan yang
baik adalah yang berkemampuan untuk memasuki suatu bidang kehidupan tertentu,
dengan persiapan – persiapan latihan yang diperlukan.[5]
Pendiri
perserikatan ulama ini juga mengusulkan agar latihan tersebut perlu juga menitik- beratkan pada pembentukan
watak. Untuk keperluan ini sebuah tempat tenang di lluar kota mrupakan
tempat yang ideal . kota katanya telah di racuni atau sering di racuni dengan
kebiasaan yang kurang mengindahkan moral. Sedangkan tempat – tempat di luar
kota yang sunyi dan tenang dapat merupakan tempat yang memberikan
inspirasi-inspirasi yang baik.
Kongres tadi menerima usul KHA Halim.suatu keluarga yang kaya dari ciomas
menyediakan setumpuk tanahnya ,di pasir ayu kira-kira sepuluh kilometer dari
majalengka, untuk keperluan pelaksanaan cita-cita tersebut. Lembaga
ini,di namkan santri asrama yang di bagi 3 bagian : itngkat permulaan ,dasar
dan lanjutan. Di samping kurikulum biasa sebagaimana terdapat pada
sekolah-sekolah lain dari esyeri. Kata
yaitu dalam agam dan pelajaran umum,pelajar–pelajar dari santri asrama di latih
pertanian ,pekerjaan tangan (besi dan kayu), menenun dan mengolah berbagai
bahan,seperti membuat sabun. Mereka
harus tinggal di suatu asrama di bawah disiplin yang ketat,terutama tentang
pembagian waktu dan tentang sikap pergaulan hidup mereka. Pada bagian kedua
dari tahun 1930-an kira- ikra 60 sampai 70 anak–anak muda di latih di santri
asrama tersebut sebagai pelajar-pelajar
yang di asramakan ,sedangkan kira-kira 200 anak-anak lain yang berasal dari
kampung-kampung sekitarnya turut pula belajar.
Sebagaimana
organisasi-organisasi lain,persyarikatan ulama sejak mula
berdiri,menyelenggarakan juga tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan
majalah dan brosur sebagai media penyebar cita-citanya .di samping
masalah-masalah organisasi pertemuan-pertemuan dan tabligh serta publikasi
tersebut mengutamakan sekali aspek –aspek islam
Beliau juga mengadakan Langkah-langkah perbaikan meliputi delapan bidang perbaikan yang disebut
dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan
bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah
at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan
bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah
al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan
bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat
dan tolong-menolong).
Pada tanggal 16
Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya
untuk mengembangkan bidang pendidikan.
Untuk itu, ia menjalin hubungan dengan
Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi,
yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun
1917 organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS.
Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia
mendirikan Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui oleh pemerintahan
kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917.
Pada tahun 1924
daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun
1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia. Selain itu, Abdul Halim juga
memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak
hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai
pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren kerja
bersama bernama Santi Asromo pada bulan April 1942, yang bertempat di Desa
Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Di samping mengembangkan bidang
pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin
hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan
Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di
Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam)
dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir
penjajahan.
Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham ahlussunnah
waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942
ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian)
pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII),
menjadi “Persatuan Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung.
Berangkan
komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan adhoc, maka setelah
itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi
dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi
yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31
Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Raiz
Akbar.Dan usaha – usaha yang dirintis oleh Nadlatul Ulama adalah :
Di bidang
agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang
berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
1.
Di bidang
pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam,
untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal
ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan
sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
2.
Di bidang
sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
3.
Di bidang
ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan,
dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan
lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu
masyarakat.
4.
Mengembangkan
usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan
menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Pada tahun 1924
Perikatan Oelama semakin berkembang dan hampir menjangkau ke seluruh wilayah
Jawa dan Madura. Di tahun 1939 organisasi sosial-pendidikan ini telah
menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Salah satu
kegiatan yang paling menonjol adalah program pertolongan kepada para pelajar
dengan membentuk I’anatul Muta’allimin. Antara tahun 1917-1920 telah dibangun
40 Madrasah, sebagian besar di Jawa, dengan metode pengajaran modern, yang pada
saat itu mendapat tentangan dari berbagai pihak. Pada Kongres ke IX, KH.Abdul
Halim melahirkan ide untuk membangun sebuah pondok Pesantren, dimana santri
tidak saja belajar agama tetapi juga dilatih berbagai kerajinan dan
keterampilan. Ide ini mendapat sambutan positif yang pada akhirnya berdiri
pondok pesantren yang dikenal dengan sebutan Santi Asromo. Persyerikatan ulama ini tetap merupakan organisasi dari majelengka.
Organisasi ini juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh
Fatimiyah bagian wanita dari organisasi tersebut, yang diambil dari anak nabi
Muhamad SAW yang didirikan pada tahun 1930. Pada tahun 1932 dalam suatu kongres persyerikatan
ulama di Majalengka,K.H.Abdul Halim
mengusulkan agar mendirikan sebuah
lembaga yang dilengkapi dengan berbagai cabang ilmu keagamaan dan pengetahuan
umum lainnya.
C. Lembaga – lambaga yang
didirikan di Indonesia
Dilihat dari
bentuk dan sifat pendidikanya, lembaga-lembaga pendidikan islam tersebut ada
yang bersifat formal dan non formal.
1.
Masjid dan surau
Sebuah hadis yang diriwayatkanoleh Imam Bukhari dan Jabir bin Abdullah,
bahwa Rasulullah bersabda,
وجعلت لى الارض مسجدا وطهورا
“Telah dijadikan bumi ini masjid dan suci baginya”
Dalam kamus Arab – Indonesia, kata
masjid berasal dari kata “sajada” yang berarti membungkuk dan hikmat. Sedangkan
menurut Sidi Ghazalba masjid adalah tempat untuk bersujud. Sujud adalah
pengakuan ibadah lahir maupun batin.Pada masa awal islam, proses pembelajaran
dilaksanakan secara informal, yaitu berlangsung dirumah al – Arqambin Abi al –
Arqam atau biasa dipanggil dengan sebutan Dar al – Arqam di Mekah, tepatnya
diatas bukit Shafa.Rasulullah menggunakan Dar al Arqam tersebut sebagai tempat
pertemuan dan pengajaran dengan para sahabat. Kaum muslim yang hadir pada
masa awal Islam masih sangat kecil, tetapi makin bertambah hingga menjadi 38 orang
yang terdiri dari golongan bangsawan Quraisy, pedagang dan hamba sahaya. Setelah
Rasulullah hijrah ke kota Madinah, maka proses pendidikan lebih difokuskan di
masjid. Pertama yang dilakukan Rasulullah setiba di Madinah adalah membangun
masjid. Fungsi masjid tersebut selain tempat ibadah, juga sebagai tempat
penyebaran dakwah, ilmu Islam, penyelesaian masalah individu dan masyarakat,
menerima duta-duta asing, pertemuan pemimpin-pemimpin Islam, bersidang, dan
madrasah bagi orang-orang yang ingin menuntut ilmu khususnya tentang ajaran
Islam.Rasulullah benar-benar mengoptimalkan fungsional masjid dalam membangun
masyarakat Madinah menuju peradaban yang tidak didapati semisalnya hingga kini. Fungsi masjid
tersebut selain tempat ibadah, juga sebagai tempat penyebaran dakwah, ilmu
Islam, penyelesaian masalah individu dan masyarakat, menerima duta-duta asing,
pertemuan pemimpin-pemimpin Islam, bersidang, dan madrasah bagi orang-orang
yang ingin menuntut ilmu khususnya tentang ajaran Islam. Rasulullah benar-benar
mengoptimalkan fungsional masjid dalam membangun masyarakat Madinah menuju
peradaban yang tidak didapati semisalnya hingga kini.
Dari pengertian di atas, masjid bukan
saja dijadikan sebagai tempat ibadah berupa shalat semata, lebih dari itu
masjid berfungsi untuk mengabdikan diri kepada Allah. Masjid
sebagai tempat pengabdian kepada Allah termasuk di dalamnya sebagai tempat
pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Karena sangat urgennya fungsi
masjid ketika Rasulullah berhijrah dari kota Mekkah ke Madinah ketika sampai di
Quba’ pada tahun 622 M beliau membangun masjid. Untuk merealisasikan program
tersebut Rasulullah dan para sahabat bekerja bakti membangunnya. Akhirnya
berdirilah sebuah bangunan masjid di Quba’, dan inilah masjid Islam pertama
dalam Islam. Saat dibangun masjid ini berlantaikan tanah, dan beratap pelepah
kurma. Dari masjid yang kecil inilah selanjutnya Rasulullah membangun peradaban
Islam yang besar. Perkembangan pesat kota Madinah sendiri bermula dari
pembangunan Masjid.Selama Rasulullah di Madinah seringkali beliau mengunjungi
masjid Quba’ ini, begitu juga dengan para sahabat. Kunjungan Rasulullah dan
para sahabat ke tempat tersebut bukan semata untuk mendirikan shalat di sana,
tetapi lebih dari itu semua adalah untuk menjalankan proses pendidikan dan
pengajaran kepada penduduk muslim di desa tersebut.Di dalam masjid ini,
Rasulullah mengajar dan memberi khutbah dalam bentuk halaqah, di mana
para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan
tanya-jawab berkaitan urusan agama dan kehidupan sehari-hari. Ketika
Rasulullah telah tiba di kota Madinah setelah beberapa hari tinggal di desa,
maka program pertama dalam pembangunan adalah mendirikan masjid. Rasulullah
sendiri turut bekerja dengan giatnya beserta dengan para sahabat. Ia juga ikut mengankat
batu dan pohon kurma.
Dengan semangat gotong-royong yang luar biasa dalam
waktu singkat berdirilah masjid yang dinamakan dengan masjid Nabawi. Kedua masjid
tersebut dibangun atas dasar taqwa, Allah berfirman:“Janganlah kamu
bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang
didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’), sejak hari pertama adalah lebih
patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang
ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bersih.” Di Madinah ketika itu selain masjid Nabawi juga tercatat sembilan
masjid yang lain, dan dapat dimungkinkan juga kesembilan masjid itu difungsikan
sebagai madrasah, dalam artian tempat belajar. Di antara masjid yang dijadikan
pusat penyebaran ilmu dan pengetahuan ialah Masjid Nabawi, Masjidil Haram,
Masjid Kufah, Masjid Basrah dan masih banyak lagi. Sistem pendidikan yang diterapkan adalah
sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah, yaitu berupa halaqah-halaqah.
Sistem ini selain menyentuh dimensi intelektual peserta didik juga menyentuh
dimensi emosional dan spiritual mereka. Metode diskusi dan dialog kebanyakan
dipakai dalam berbagai halaqah.
Dalam halaqah ini, murid yang lebih tinggi pengetahuannya
duduk di dekat guru. Murid yang level pengetahuannya lebih rendah dengan
sendirinya akan duduk lebih jauh, serta berjuang dengan keras agar dapat
mengubah posisinya dalam halaqah-nya, sebab dengan sendirinya
posisi dalam halaqah menjadi sangat singnifikan. Meskipun tidak ada
batasan resmi, sebuah halaqah biasanya terdiri dari sekitar 20 orang
siswa. Dikte (imla’) biasanya memainkan peranan pentingnya,
tergantung kepada kajian dan topik bahasan. Uraian materi disesuaikan dengan
kemampuan peserta halaqah. Menjelang akhir sesi, diadakan evaluasi
untuk mengetahui sejauh mana penyerapan materi beserta pemahamannya terhadap
peserta didik. Terkadang pengajar menyempatkan diri untuk memeriksa catatan
peserta didik, mengoreksi dan menambah seperlunya. Seorang peserta didik juga
bisa masuk dari satu halaqah ke halaqah lainnya sesuai
orientasi dan materi belajar yang ia ingin capai. Rasulullah
pun melakukan evalusi pengajaran, dengan cara mengevaluasi hafalan para
shahabat, menyuruh para shahabat membacakan al Qur’an dihadapannya dan
membetulkan hafalan dan bacaan yang keliru, dan setiap utusan yang akan dikirim
oleh Rasulullah dicek dulu kemampuannya. Misalnya ketika akan mengutus Mu’adz
bin Jabal ke Yaman sebagai qadli, Rasulullah menanyakan bagaimana ia
memutuskan suatu perkara yang muncul ditengah-tengah umat. Mu’adz
menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengal al Qur’an, as Sunnah, dan jika tidak
didapati di keduanya ia akan berijtihad. Maka Rasulullah pun tersenyum
tanya menyetujui dan percaya akan kompetensi Mu’adz sebagai qadli di
Yaman.
Tidaklah heran jika masjid merupakan asas utama yang terpenting bagi
pembentukan masyarakat Islam karena masyarakat muslim tidak akan terbentuk
secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, akidah,
dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan dapat ditumbuhkan
kecuali melalui semangat masjid. Di antara sistem dan prinsip ialah tersebarnya
ikatan ukhuwwah dan mahabbah sesama kaum muslim, semangat
persamaan dan keadilan sesama muslim, dan terpadunya beragam latar belakang
kaum muslim dalam suatu kesatuan yang kokoh. Di sebelah selatan masjid
terdapat satu ruangan yang disebut al suffah, yakni tempat tinggal
para sahabat miskin yang tidak memiliki rumah. Mereka yang tinggal di al
suffah ini disebut ahl al suffah. Mereka adalah para penuntut
ilmu. Di tempat inilah dilangsungkan proses pendidikan kepada mereka dan para
sahabat lain. Dengan demikian, George Makdisi menyebut masjid juga sebagai
lembaga pendidikan Islam. Masjid memegang peranan penting dalam
penyelenggaraan pendidikan islam. Sebagai lembaga pendidikan, masjid berfungsi
sebagai penyempurna pendidikan dalam keluarga, agar selanjutnya anak mampu
melaksanakan tugas-tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya, Dengan
demikian, masjid merupakan lembaga kedua setelah keluarga, yang jenjang
pendidikannya terdiri dari sekolah menengah dan sekolah tinggi dalam waktu yang
sama.
2.
Pondok
Pesantren
Pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia
yang mengakar kuat dari masa pra islam, yaitu bentuk asrama agama budha yang
ditransfer menjadi lembaga pendidikan islam. Di bidang pendidikan, pemerintah
mengadakan pembinaan agar Pesantren manyadari bahwa kondisi Pesantren yang
tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman. Pesantren menanggapi himbauan
pemerintah dengan mengadakan perubahan terhadap pola pendidikannya agar selaras
dengan pendidikan nasional. Belakangan ini Pesantren telah mengalami perkembangan
yang luar biasa, dengan berdirinya perguruan tinggi di Pesantren.
Sistem yang
ditampilkan dalam pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan
sistem yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pada umumnya, yaitu:
a.
Memakai sistem tradisional, yang memiliki kebebasan penuh dibandingkan
dengan sekolah
modern, sehingga terjadi hubungan 2 arah antara kiai dan santri.
b.
Kehidupan dipesantren menampakkan semangat demokrasi, karena mereka praktis
bekerjasama mengatasi problem non kurikuler mereka sendiri.
c.
Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan
ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan
santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan utama mereka
hanya ingin mencari keridhoan Allah SWT semata.
d.
Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme,
persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
e.
Alumni pondok pesantren tak ingin menduduki jabatan pemeritahan, sehingga
mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.
2.
Madrasah
Kata madrasah berasal dari bahasa arab, yaitu “darasa, yadrusu, darsan, madrasatan” yang mempunyai arti tempat
belajar para pelajar. Kata madrasah merupakan isim makan dari “Darasa” yang berarti tempat belajar.[6]
Istilah madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum, namun
di Indonesia ditujukan untuk sekolah – sekolah islam yang mata pelajaran
dasarnya adalah mata pelajaran agama islam. Yang termasuk lembaga ini adalah
lembaga pendidikan seperti, Ibtidaiyah, Aliyah, Muallimin, Muallimat, serta
Diniyah.[7]
Madrasah bukan lembaga pendidikan islam asli Indonesia, tetapi berasal
dari dunia islam timur tengah. Di Indonesia istilah “madrasah” di adopsi untuk
memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan islam; dengan sistem klasikal,
penjenjangan, penggunaan bangku, bahkan memasukkan pengetahuan umum sebagai
bagian kurikulumnya. Di Indonesia penggunaan istilah madrasah juga berfungsi
untuk membedakan antara lembaga pendidikan islam modern dengan lembaga pendidikan
islam tradisional.
3.
Perguruan Tinggi Agama Islam
Umat
islam yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia mencari berbagai cara
untuk membangun sistem pendidikan islam yang lengkap, mulai dari pesantren yang
sederhana sampai tingkat perguruan tinggi.
Tujuan pendirian lembaga pendidikan
tinggi ini pada mulanya adalah menghasilkan ulama’ yang intelek, yaitu mereka
yang mempelajari ilmu pengetahuan agama islam yang mendalam dan luas, serta
mempunyai pengetahuan umum yang diperlukan dalam masyarakat modern sekarang.
4.
Majlis Ta’lim
Majlis
ta’lim merupakan salah satu lembaga pendidikan yang bersifat non formal, Para
wali menggunakan majlis ta’lim sebagai madia untuk menyampaikan dakwahnya
disaat-saat penyiaran islam.
IV.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa tokoh pendiri Persyarikatan Ulama adalah K. H. Abdul Halim,
beliau merupakan salah satu tokoh pendidikan islam yang patut di contoh, dengan
ide – idenya beliau yang begitu cemerlang yang dapat melahirkan alumni –
alumninya menjadi orang – orang mandiri. Sedangkan perkembangan dari
Persyarikatan Ulama telah mengalami kemajuan yang baik, dengan adanya perubahan
sistem pendidikan dari sistem tradisional ke sistem yang modern. Dan lembaga –
lembaga yang berada di Indonesia ypada Persyarikatan Ulama yaitu terdapat
Masjid dan surau, pondok pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam,serta
Majlis Ta’lim.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang
dapat kami sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penulis. Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam
pembuatan makalah ini, baik dalam
penulisan ataupun dalam teknik
pengetikan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan
untuk kelengkapan makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasir,
Ridlwan, Format Pendidikan Idea, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010
Nizar,
Samsul, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta : Kencana, 2009
Subhan,
Arif, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia,
Jakarta : Kencana, 2012
Syukur, Fatah NC, Sejarah Pendidikan
Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012
Zuhairini,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta :
Bumi Aksara, 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar