Rabu, 05 Maret 2014

PENDEKATAN KONTEKSTUAL ( STUDY ISLAM )



I.                   PENDAHULUAN

Agama merupakan kebutuhan fitri manusia. Fitrah yang adadi dalm diri manusia inilah yang melatarbelakangi bahwa manusia tidak bisa lepas dari agama atau suatu kepercayaan. Oleh karena itu ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru agar manusia untuk beragama, dan memang seruan tersebut amat sejalan dengan fitrah seorang manusia.
Kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif untuk memecahkan berbagai persoalan – persoalan yang di hadapi dalam kehidupan sehari – hari. Agama tidak hanya disampaikan dalam khutbah saja, melainkan secara konsepsional untuk menunjukkan cara – cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian, dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan berbagai macam pendekatan – pendekatan yang dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Dengan adanya pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka agama akan sulit dipahami oleh masyarakat, dan akhirnya masyarakat akan mencari pemecahan masalah kapada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dengan pendekatan konteks?
B.     Apa saja pendekatan konteks study islam?
C.     Metode apa yang digunakan dalam study islam?
III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian pendekatan konteks
Kata kontekstual berasal dari bahasa inggris yaitu contextual yang
kemudian diserap kedalam bahsa indonesia menjadi kontekstual. Kontekstual memiliki arti berhubungan dengan konteks atau dalam konteks. Konteks membawa maksu situasi, keadaan, dan kejadian. Secara umum, kontekstual memiliki arti :
1.      Berkenaan dengan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung
2.      Membawa maksud, makna dan kepentingan
Berdasarkan makna dalam kontekstual tersebut maka terbentuk kaidah kontekstual. Kaidah kontekstual yaitu kaidah yang dibentuk berasaskan pada maksud kontekstual itu sendiri. Dalam pembelajaran yaitu mampu membawa siswa mencapai tujuan pembelajaran ( pemahaman dan penguasaan materi ) yang berkenaan atau relevan bagi mereka dan bermakna dalam kehidupannya. Contoh ayat al – qu’an dalam pemahaman kontekstual yaitu :
Contoh hadis yang harus dipahami secara kontekstual
اَلْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِيْ مَعٍى وَاحِدٍ, وَالكَافِرُيَأْكُلُ فِيْ سَبْعَةِ اَمْعَاءٍ
“Orang yang beriman itu, makan dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan  dengan tujuh usus”,
Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan orang kafir. Padahal pada kenyataannya yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman seseorang. Dengan demikian pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti hadis diatas harus dipahami secara kontekstual. Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir menempatkan makan sebagai bagian dari tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kelezatan makan, yang banyak menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah orang kafir. Disamping itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’yang dikutip sebagai dalil untuk mengabsahkan praktik poligami adalah :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا    فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Yang diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktek beristri banyak. Praktek ini tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Status wanita yang selama ini cenderung dinomor duakan akan menjadi semakin kuat jika praktek poligami tetap diberlakukan. Al-Qur’an menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan hak yang sama. Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif.


























B.     Pendekatan konteks
1.    Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benardibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana yang telah kita ketahui, tidak bisa pasti mengacu agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang praktikularistik, maka dapat dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen – Katolik , teologi Kristen Protestan dan begitu seterusnya. Dan jika diteliti lebih mendalam lagi dalam intern umat beragama tertentupun masih dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut informasi yang diberikan The Encyclopaedia American Religion, bahwa di Amerika serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerka Seriakt. Dalam islam sendiri, secara tradisional dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariiyah dan Maturidiyah. Dan sebelumnya terdapt pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji’ah. Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalm era kontemporer ini ada empat prorotip pemikiran keagamaan islam, yaitu pemikiran keagamaan islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis, misianis, dan tradisionalis. Keempat prototip pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu sudah tidak mudah untuk disatukan dengan begitu saja. Masing – masing mempunyai “keyakinan” teologi yang serng kali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah “ teologi “ di sini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikitran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru.
Dan pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang mnekankan pada bentuk forma atau simbol – simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang paling benar sedangkan yang lainnya salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat , kafir, murtad, dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itupun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir.Dalam keadaan demikian, makaterjadilah proses saling menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu dengan yang lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan ( eksklusifisme ). Sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak – kotak. Dalam kaitan ini Amin Abdullah mengatakan, “ Yang menarik perhatian sekaligus perlu dikaji lebih lanjut adalah mengapa ketika archetype atau form keberagamaan ( regiosity ) manusia telah terpecah dan termanifestasikan dalam “wadah” formal teologi atau agama tertentu. Lalu “ wadah “tersebut menuntut bahwahanya “ kebenaran “ yang dimilikinyalah yang paling unggul dan yang paling benar. Fenomena ini sebenarnya yang disebutkan diatas dengan mengklaim kebenaran ( truth claim ), yang menjadi sifat dasra teologi,  sudah barang tentu mengandung implikasi pembentukan mode of though tyang bersifat partikularistik, eksklusif dan seringkali intoleran oleh pengamat agama, kecenderungan ini dianggap tidak atau kurang kondusif untuk melihat rumah tangga penganut agama lain secara bersahabat, sejuk dan ramah. Mode of thought seperti ini lebih menonjolakan segi – segi “ perbedaan “dengan menutup serapat – rapatnya segi – segi “ persamaan “yang mungkin teranyam diantara berbagai kelompok penganut teologi dan agamatertentu.Adalah tugas mulia bagi para teolog dari berbagai agam untuk memperkecil kecenderungan tersebut dengan cara memformulasikan kembali khasanah pemikiran teologi mereka untuk lebih mengacu pada titik temu antar umat beragama.
Berkenaan denagn pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata – mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih – lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri,terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama. Tapi justru keberadaan institusi dan pranata sosial kemasyrakatan dalam wilayah keberagamaan manusia itulah yang kemudian menjadi bahan subur bagi peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam “ budaya “ tertentu secara lebih objektiflewat pengamatan empirikfaktual,serta pranata – pranata sosial kemasyarakatan yang mendukung kebenarannya.


2.      Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah – masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara – cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan – kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau setidak – tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori - teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dalam bidang sosiologi dan lebih – lebih ekonomi yang mempergunakan model – model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat di temukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kuarang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik pada gerakan – gerakan yang bersifat messianis, yang meanjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Mark ( 1818 – 1883 ) sebagai contoh melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut daengan teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalah-fungsiakan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh – tokoh agam yang mendukung sistem kapitalismedi Eropa yang beragama kristen. Lain halnya dengan Max Weber ( 1964 – 1920 ).Dia melihat adanya korelasi positif anatara ajaran protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawa. Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Togugawa.Yakni semacam percampuran antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang orang Jepang modern..
Melalui pendekatan antropologis ini, kta dapat melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, maka jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya. Selain itu deangan melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat adanya hubungan dengan mekanisme pengorganisasian, hubungan antar agama dengan negara, dan keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Melalui pendekatan antropologis trrlihat jelas bahwa hubungan agama dengan barbagai masalah kehidupan manusia dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan. Pendekatan antropologis ini diperlukan adnya sebab banyak berbagi hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam al- Qur’an al – Karim, sebagai sumber ajaran utama islam misalnya kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung arafat, kisah ashabul kahfi yang dpat bertahan hidup didalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Diman kira – kira gua itu bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu, ataukah hal yang deamikian merupakan kisah fiktif, dn tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan aekeologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama tersebut terdapat uaraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang – cabanganya.  
3.      Pendekatan Yuridis
Yuridis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hukum, jadi yang dimaksud dengan pendekatan yuridis adlah pemahaman terhadap agma secara hukum  dengan mentaati peraturan, sedangkan peraturan merupakan hukum itu sendiri. Dasar pelaksanaan dan memahami agama berasal dari perundang – undangan yang secfara langsung dapat menjadi pegangan dalam memahami agama secraa formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari :
1.      Dasar Ideal, yaitufalsafah negara Republik Indonesi, pada sila yang pertama, yaitu Ketihanan Yang Maha Esa.
2.      Dasar Konstitusional, yaitu Undang  Undang Dasar 1945 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
a.       Negara berdasarkan atas Ketuhanan yanga Maha Esa.
b.      Negara menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk memeluk agama masing – masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
Sementara peran hukum secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni hukum sebagai alat pengatur atau pengontrol dan hukum sebagai alat rekayasa perubahan sosial, bahkan dapat menjadi alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian melalui pendekatan yuridis ini dapat memudahkan seseorang untuk mendalami dan memaknai suatu agama dengan sebaik – baiknya. Didalam umat islammisalnya, hukum yang dipakai umat islam adalah berdasarkan Al – Qur’an sdan AS – Sunnah. Dalam pelaksanaannya manusia kurang menyadari bahwa pendekatan yuridis sudah dialami oleh para nabi.


4.      Pendekatan Filosofis
Secara harfiah kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu, filasafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha mencari tahu sesuatu sebab dan akibat serta berusah menafsirkan pengalaman – pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwodarninta mengartikan filsafat sebgai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab – sebab, asas – asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya “ sesuatu. Menurut Sidi Gazalba filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah, atau hakikat mengenai sesuatu yang ada
Filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, halikat, atau hikmah. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang bersifat lahiriyah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek pulpen dengan kualitas dan harga yang berbeda – beda,namun pada intinya semuja pulpen itu sama, yaitu sebagai alat tulis. Ketika disebut sebgai alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.
Berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama dengan maksud inti, hakikat, atau nhikamah dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan sholat. Tujuannya antar lain agar seseorang yang tidak sejalan dari agama tersebut.
Dengan menggunakan pendekatan filosofis seseorang akan dapat memberikan makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan cara demikian, ketilka seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.
5.      Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakng, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak denagn melihat peristiwa itu kapan terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Pendekatan historis yaitu memepelajari islam melalui kajian periistiwa masa lalu dengan melacak kapan peristiwa tersebut terjadi, dimana, dan bagaimana prosesnya. Dengan menggunakan pendekatan sejarah, maka seseorang akan diajak untuk melihat realita yang terjdai dlam masyarakat, baik itu sejalan dengan ide – ide agama ataupun Pendekatan historis ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendri turun dalam situasi yang konkret bahka berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Koentowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama islam. Ketika ia mempelajari Al – Qur’an, ia sampai kepada suatu kesimpulan bahwa padadasarnya kandungan Al – Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep – konsep dan bagian kedua,  berisikan kisah – kisah sejarah dan perumpamaan.
Melalu pendekatan sejarah ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, manusia tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami al – qur’an misalnya, yang bersangkuatan harus mempelajari sejarah turunnya al – qur’an atau kejadian – kejadian yang mengiringi turunnya al – qur’an yang disebut Ilmu Asbab An – Nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat - ayat al –qur’an.
6.      Pendekatan Psikologis
Psikologis adalah ilmu jiwa yang menyelidiki tentang keadaan jiwa seseorang berdasarkan cara pikir, tindakan serata perilaku orang tersebut. Psikologis secara harfiah berasal dari kata psyce yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilm. Jadi ringkasnya psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan perbuatan individu yang tidak dapat terlepas dengan lingkungannya.
Psikologi merupakan salah satu study ilmiah yang memperhatikan tingkah laku makhluk hidup yang beraneka ragam di dunia. Hal ini telah terjadi sejak zaman primitif dan telah mengalami perkembangan yang begitu cepat. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam,hormat kepada orangtua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya merupakan gejala – gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah – istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertaqa kepada allah, orang yang jujur, orang yang berbuat kebaikan, dan sebagainya. Semua itu adalah gejala – gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama,
Dengan ilmu jiwa ini, seseorang selain akan mengetahui tingkat agama yang dihayati, dipahami, dan diamalkan. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmunini, agama akan menemukan cara yang tepatdan cocok untik menanamkannnya.
Misalnya, kita dapat mengetahui pengaruh dari zakat, shalat, puasa, haji dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini maka dapat disusun langkah – langkah baru yang efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banya digunakan sebgai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
C.    Metode dalam pendekatan islam
1.      Pengertian Metode
Secara etimologi, metode berasal dari kata method yang berarti suatu cara kerja yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan dalam mencapai suatu tujuan. Apabila kata metode disandingkan dengan kata pembelajaran, maka berarti suatu cara atau sistem yang digunakan dalam pembelajaran yang digunakan agar anak didik dapat mengetahui, memahami, dan menguasai bahan pelajaran tertentu.
Metode bisa juga diartikan sebagai prinsip – prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang khususnya dalam proses belajar mengajar. Metode dalam pandangan Arifin suatau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa Arab metode disebut “ thariqat “. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran seharusnya berpengaruh kepada keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Metode yang tidak tepat akan berakibat terhadap pemakaian waktu yang tidak efisien

Tidak ada komentar: