I.
PENDAHULUAN
Agama
merupakan kebutuhan fitri manusia. Fitrah yang adadi dalm diri manusia inilah
yang melatarbelakangi bahwa manusia tidak bisa lepas dari agama atau suatu
kepercayaan. Oleh karena itu ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru agar
manusia untuk beragama, dan memang seruan tersebut amat sejalan dengan fitrah
seorang manusia.
Kehadiran
agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif untuk memecahkan
berbagai persoalan – persoalan yang di hadapi dalam kehidupan sehari – hari.
Agama tidak hanya disampaikan dalam khutbah saja, melainkan secara konsepsional
untuk menunjukkan cara – cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan
terhadap agama yang demikian, dapat dijawab manakala pemahaman agama yang
selama ini banyak menggunakan berbagai macam pendekatan – pendekatan yang dapat
memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Dengan adanya pendekatan
tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.
Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka agama akan sulit
dipahami oleh masyarakat, dan akhirnya masyarakat akan mencari pemecahan
masalah kapada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan konteks?
B. Apa
saja pendekatan konteks study islam?
C. Metode
apa yang digunakan dalam study islam?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
pendekatan konteks
Kata
kontekstual berasal dari bahasa inggris yaitu contextual yang
kemudian diserap
kedalam bahsa indonesia menjadi kontekstual. Kontekstual memiliki arti
berhubungan dengan konteks atau dalam konteks. Konteks membawa maksu situasi,
keadaan, dan kejadian. Secara umum, kontekstual memiliki arti :
1. Berkenaan
dengan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung
2. Membawa
maksud, makna dan kepentingan
Berdasarkan
makna dalam kontekstual tersebut maka terbentuk kaidah kontekstual. Kaidah
kontekstual yaitu kaidah yang dibentuk berasaskan pada maksud kontekstual itu
sendiri. Dalam pembelajaran yaitu mampu membawa siswa mencapai tujuan pembelajaran
( pemahaman dan penguasaan materi ) yang berkenaan atau relevan bagi mereka dan
bermakna dalam kehidupannya. Contoh ayat al – qu’an dalam pemahaman kontekstual
yaitu :
Contoh hadis yang harus dipahami secara kontekstual
اَلْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِيْ مَعٍى وَاحِدٍ,
وَالكَافِرُيَأْكُلُ فِيْ سَبْعَةِ اَمْعَاءٍ
“Orang yang beriman itu, makan dengan satu usus
(perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus”,
Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan bahwa
usus orang beriman berbeda dengan orang kafir. Padahal pada kenyataannya yang
lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman
seseorang. Dengan demikian pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik.
Itu berarti hadis diatas harus dipahami secara kontekstual. Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau
pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang
beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir
menempatkan makan sebagai bagian dari tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang
beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kelezatan makan, yang banyak
menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah orang kafir. Disamping itu dapat
dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikmat
Allah, termasuk tatkala makan. Sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang
dikaruniakan kepadanya.
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’yang dikutip sebagai dalil untuk mengabsahkan
praktik poligami adalah :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”
Yang diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktek beristri banyak.
Praktek ini tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada
wanita. Status wanita yang selama ini cenderung dinomor duakan akan menjadi
semakin kuat jika praktek poligami tetap diberlakukan. Al-Qur’an menyatakan
bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan hak yang sama. Maka
pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang
hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif.
B.
Pendekatan
konteks
1. Pendekatan
Teologis Normatif
Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai
yang paling benardibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan,
bahwa teologi, sebagaimana yang telah kita ketahui, tidak bisa pasti mengacu
agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang
tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai
pelaku bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk
pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang praktikularistik, maka dapat
dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen – Katolik , teologi Kristen
Protestan dan begitu seterusnya. Dan jika diteliti lebih mendalam lagi dalam
intern umat beragama tertentupun masih dijumpai berbagai paham atau sekte
keagamaan. Menurut informasi yang diberikan The
Encyclopaedia American Religion, bahwa di Amerika serikat saja terdapat 1200
sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian bersama 80 orang
pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan
kekuasaan pemerintah Amerka Seriakt. Dalam islam sendiri, secara tradisional
dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariiyah dan Maturidiyah. Dan
sebelumnya terdapt pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji’ah. Menurut
pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalm era kontemporer ini ada empat prorotip
pemikiran keagamaan islam, yaitu pemikiran keagamaan islam, yaitu pemikiran
keagamaan fundamentalis, modernis, misianis, dan tradisionalis. Keempat
prototip pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu sudah tidak mudah
untuk disatukan dengan begitu saja. Masing – masing mempunyai “keyakinan”
teologi yang serng kali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat
menggunakan istilah “ teologi “ di sini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran
keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta
penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikitran teologi
dalam bentuk dan wajah yang baru.
Dan
pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman
keagamaan adalah pendekatan yang mnekankan pada bentuk forma atau simbol –
simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan
yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa
pahamnyalah yang paling benar sedangkan yang lainnya salah, sehingga memandang
bahwa paham orang lain itu keliru, sesat , kafir, murtad, dan seterusnya.
Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itupun menuduh kepada
lawannya sebagai yang sesat dan kafir.Dalam keadaan demikian, makaterjadilah
proses saling menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu dengan
yang lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah
ketertutupan ( eksklusifisme ). Sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan
terkotak – kotak. Dalam kaitan ini Amin Abdullah mengatakan, “ Yang menarik
perhatian sekaligus perlu dikaji lebih lanjut adalah mengapa ketika archetype atau form keberagamaan ( regiosity ) manusia telah terpecah dan
termanifestasikan dalam “wadah” formal teologi atau agama tertentu. Lalu “
wadah “tersebut menuntut bahwahanya “ kebenaran “ yang dimilikinyalah yang
paling unggul dan yang paling benar. Fenomena ini sebenarnya yang disebutkan
diatas dengan mengklaim kebenaran ( truth
claim ), yang menjadi sifat dasra teologi,
sudah barang tentu mengandung implikasi pembentukan mode of though tyang bersifat partikularistik, eksklusif dan
seringkali intoleran oleh pengamat agama, kecenderungan ini dianggap tidak atau
kurang kondusif untuk melihat rumah tangga penganut agama lain secara
bersahabat, sejuk dan ramah. Mode of
thought seperti ini lebih menonjolakan segi – segi “ perbedaan “dengan
menutup serapat – rapatnya segi – segi “ persamaan “yang mungkin teranyam
diantara berbagai kelompok penganut teologi dan agamatertentu.Adalah tugas
mulia bagi para teolog dari berbagai agam untuk memperkecil kecenderungan
tersebut dengan cara memformulasikan kembali khasanah pemikiran teologi mereka
untuk lebih mengacu pada titik temu antar umat beragama.
Berkenaan
denagn pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan
teologi semata – mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama
saat sekarang ini. Terlebih – lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan
bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri
sendiri,terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan
yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan
selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal
dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi
dengan historitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan
mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama. Tapi
justru keberadaan institusi dan pranata sosial kemasyrakatan dalam wilayah
keberagamaan manusia itulah yang kemudian menjadi bahan subur bagi peneliti
agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran
teologi yang termanifestasikan dalam “ budaya “ tertentu secara lebih
objektiflewat pengamatan empirikfaktual,serta pranata – pranata sosial
kemasyarakatan yang mendukung kebenarannya.
2. Pendekatan
Antropologis
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan
dekat dengan masalah – masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan
dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara – cara yang digunakan
dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula
untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam
Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Dari sini timbul kesimpulan – kesimpulan yang sifatnya induktif yang
mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan
sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada atau setidak
– tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori - teori formal
yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dalam bidang
sosiologi dan lebih – lebih ekonomi yang mempergunakan model – model matematis,
banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejalan
dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama
dapat di temukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan
kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kuarang mampu dan
golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik pada gerakan – gerakan yang
bersifat messianis, yang meanjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan.
Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan
masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan
pihaknya. Karl Mark ( 1818 – 1883 ) sebagai contoh melihat agama sebagai opium
atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori
konflik atau yang biasa disebut daengan teori pertentangan kelas. Menurutnya,
agama bisa disalah-fungsiakan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh – tokoh agam yang
mendukung sistem kapitalismedi Eropa yang beragama kristen. Lain halnya dengan
Max Weber ( 1964 – 1920 ).Dia melihat adanya korelasi positif anatara ajaran
protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika protestan
dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang
kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah
dalam karyanya The Religion of Tokugawa.
Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Togugawa.Yakni semacam percampuran
antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat
etos kerja orang orang Jepang modern..
Melalui
pendekatan antropologis ini, kta dapat melihat bahwa agama ternyata berkorelasi
dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan
ini, maka jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang,
maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya. Selain itu
deangan melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat adanya hubungan
dengan mekanisme pengorganisasian, hubungan antar agama dengan negara, dan
keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Melalui
pendekatan antropologis trrlihat jelas bahwa hubungan agama dengan barbagai
masalah kehidupan manusia dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan
fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan. Pendekatan antropologis ini
diperlukan adnya sebab banyak berbagi hal yang dibicarakan agama hanya bisa
dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam al- Qur’an al –
Karim, sebagai sumber ajaran utama islam misalnya kita memperoleh informasi
tentang kapal Nabi Nuh di gunung arafat, kisah ashabul kahfi yang dpat bertahan
hidup didalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Diman kira – kira gua
itu bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu, ataukah hal yang
deamikian merupakan kisah fiktif, dn tentu masih banyak lagi contoh lain yang
hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan aekeologi.
Dengan
demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama
tersebut terdapat uaraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan
ilmu antropologi dengan cabang – cabanganya.
3. Pendekatan
Yuridis
Yuridis
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hukum, jadi yang dimaksud dengan
pendekatan yuridis adlah pemahaman terhadap agma secara hukum dengan mentaati peraturan, sedangkan
peraturan merupakan hukum itu sendiri. Dasar pelaksanaan dan memahami agama
berasal dari perundang – undangan yang secfara langsung dapat menjadi pegangan
dalam memahami agama secraa formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari
:
1. Dasar
Ideal, yaitufalsafah negara Republik Indonesi, pada sila yang pertama, yaitu
Ketihanan Yang Maha Esa.
2. Dasar
Konstitusional, yaitu Undang Undang
Dasar 1945 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
a. Negara
berdasarkan atas Ketuhanan yanga Maha Esa.
b. Negara
menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk memeluk agama masing – masing
dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
Sementara peran
hukum secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni hukum sebagai alat
pengatur atau pengontrol dan hukum sebagai alat rekayasa perubahan sosial,
bahkan dapat menjadi alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian melalui pendekatan yuridis ini dapat memudahkan seseorang untuk
mendalami dan memaknai suatu agama dengan sebaik – baiknya. Didalam umat
islammisalnya, hukum yang dipakai umat islam adalah berdasarkan Al – Qur’an
sdan AS – Sunnah. Dalam pelaksanaannya manusia kurang menyadari bahwa
pendekatan yuridis sudah dialami oleh para nabi.
4. Pendekatan
Filosofis
Secara
harfiah kata filsafat berasal dari kata philo
yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu, filasafat
dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha mencari tahu sesuatu sebab
dan akibat serta berusah menafsirkan pengalaman – pengalaman manusia. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwodarninta mengartikan filsafat sebgai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab – sebab, asas –
asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun
mengenai kebenaran dan arti “adanya “ sesuatu. Menurut Sidi Gazalba filsafat
adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka
mencari kebenaran, inti, hikmah, atau hakikat mengenai sesuatu yang ada
Filsafat pada intinya berupaya menjelaskan
inti, halikat, atau hikmah. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan
inti yang bersifat lahiriyah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek pulpen
dengan kualitas dan harga yang berbeda – beda,namun pada intinya semuja pulpen
itu sama, yaitu sebagai alat tulis. Ketika disebut sebgai alat tulis, maka
tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.
Berfikir secara filosofis tersebut
selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama dengan maksud inti,
hakikat, atau nhikamah dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara
seksama. Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan sholat. Tujuannya
antar lain agar seseorang yang tidak sejalan dari agama tersebut.
Dengan menggunakan pendekatan filosofis
seseorang akan dapat memberikan makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat
pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan cara demikian,
ketilka seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan
spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna
filosofis dari ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap penghayatan, dan
daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.
5.
Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang
didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu,
objek, latar belakng, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini,
segala peristiwa dapat dilacak denagn melihat peristiwa itu kapan terjadi, dimana,
apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Pendekatan historis
yaitu memepelajari islam melalui kajian periistiwa masa lalu dengan melacak
kapan peristiwa tersebut terjadi, dimana, dan bagaimana prosesnya. Dengan
menggunakan pendekatan sejarah, maka seseorang akan diajak untuk melihat
realita yang terjdai dlam masyarakat, baik itu sejalan dengan ide – ide agama
ataupun Pendekatan historis ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena
agama itu sendri turun dalam situasi yang konkret bahka berkaitan dengan
kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Koentowijoyo telah melakukan
studi yang mendalam terhadap agama islam. Ketika ia mempelajari Al – Qur’an, ia
sampai kepada suatu kesimpulan bahwa padadasarnya kandungan Al – Qur’an itu
terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep – konsep dan bagian kedua, berisikan kisah – kisah sejarah dan
perumpamaan.
Melalu pendekatan sejarah ini, seseorang
diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Dari sini, manusia tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya,
karena pemahaman demikian akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang
yang ingin memahami al – qur’an misalnya, yang bersangkuatan harus mempelajari
sejarah turunnya al – qur’an atau kejadian – kejadian yang mengiringi turunnya
al – qur’an yang disebut Ilmu Asbab An –
Nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat - ayat al –qur’an.
6.
Pendekatan Psikologis
Psikologis adalah ilmu jiwa yang menyelidiki
tentang keadaan jiwa seseorang berdasarkan cara pikir, tindakan serata perilaku
orang tersebut. Psikologis secara harfiah berasal dari kata psyce yang berarti jiwa dan logos yang
berarti ilm. Jadi ringkasnya psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkah laku dan perbuatan individu yang tidak dapat terlepas dengan
lingkungannya.
Psikologi merupakan salah satu study ilmiah
yang memperhatikan tingkah laku makhluk hidup yang beraneka ragam di dunia. Hal
ini telah terjadi sejak zaman primitif dan telah mengalami perkembangan yang
begitu cepat. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam,hormat kepada
orangtua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran dan
sebagainya merupakan gejala – gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu
jiwa.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah
– istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan
bertaqa kepada allah, orang yang jujur, orang yang berbuat kebaikan, dan
sebagainya. Semua itu adalah gejala – gejala kejiwaan yang berkaitan dengan
agama,
Dengan ilmu jiwa ini, seseorang selain akan
mengetahui tingkat agama yang dihayati, dipahami, dan diamalkan. Hal ini juga
dapat dijadikan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai
dengan tingkatan usianya. Dengan ilmunini, agama akan menemukan cara yang
tepatdan cocok untik menanamkannnya.
Misalnya, kita dapat mengetahui pengaruh dari
zakat, shalat, puasa, haji dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan
pengetahuan ini maka dapat disusun langkah – langkah baru yang efisien lagi
dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banya digunakan
sebgai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
C. Metode dalam pendekatan islam
1.
Pengertian Metode
Secara etimologi, metode berasal dari kata method yang berarti suatu cara kerja
yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan dalam mencapai suatu
tujuan. Apabila kata metode disandingkan dengan kata pembelajaran, maka berarti
suatu cara atau sistem yang digunakan dalam pembelajaran yang digunakan agar
anak didik dapat mengetahui, memahami, dan menguasai bahan pelajaran tertentu.
Metode bisa juga diartikan sebagai prinsip – prinsip yang
mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang khususnya dalam proses
belajar mengajar. Metode dalam pandangan Arifin
suatau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa Arab metode
disebut “ thariqat “. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran
seharusnya berpengaruh kepada keberhasilan dalam proses belajar mengajar.
Metode yang tidak tepat akan berakibat terhadap pemakaian waktu yang tidak
efisien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar