Rabu, 05 Maret 2014

RESENSI BUKU



Judul Buku                    : Guru Besar Bicara Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam
Penulis                           :  Prof. Drs. H. Ahmad Ludjito
Penerbit                         : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan RaSAIL Media Group
Cetakan                         : I, 2010
Tebal Buku                    : xx + 356 halaman
Membongkar Perkembangan Ilmu Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam, memang jika dilihat sekilas dua kata tersebut hampir sama, namun antara pendidikan islam dan pendidikan agama islam memanglah berbeda. Pendidikan islam merupakan suatu sistem yang ditujukan kearah tercapainya keserasian dan keseimbangan pertumbuhan pribadi yang utuh lewat berbagai latihan yang menyangkut kejiwaan, intelektual, akal, perasaan dan indra. Sedangkan pendidikan agama islam adalah mata pelajaran atau bidang study agama islam. Sistem dalam pendidikan islam dan sistem pendidikan nasional di Indonesia memang berbeda, yang membedakan terletak pada sumber nilai. Pendidikan islam bersumber dari Al – qur’an dan hadist, sedangkan pendidikan nasional bersumber pada pancasila dan UUD 1945. Namun perbedaan ini bukan merupakan kontradiksi dan bukan pula dikotomi. Karena untuk merealisasikan keimanan dan ketaqwaan yang dituju. Pendidikan nasional diperlukan ajaran agama yang mempunyai konsep dan komperehensif tentang keimanan dan ketaqwaan yang diyakini berasal dari Tuhan YME. Dan karena Indonesia memeluk dari salah satu agama yang ada didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan islam merupakan penjabaran nasional yang terletak pada aspek keimanan dan ketaqwaan.
Pendidikan agama islam merupakan salah satu bidang study di semua jenis dan jenjang pendidikan sekolah ( kecuali perguruan tinggi ) di Indonesia. Namun pendidikan agama islam di Indonesia memiliki masalah dalam implementasi pada sekolah – sekolah, diantaranya :
1.      Kurangnya jam pelajaran
2.      Fungsi pendidikan agama islam yang hanya sebagai bidang study menimbulkan adanya dikotomi anatara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.
3.      Adanya tumpang tindih antara pendidikan agama dengan pendidikan pancasila
Dengan adanya masalah masalah tersebut maka perlu adanya pendekatan integralistik sebagai upaya alternatif pemecahan masalah. Pendekatan integratif merupaka pendekatan secara menyeluruh dengan mencari hubungan fungsional maupun komplementer dari semua komponen yang terlibat dalam suatu proses. Untuk menjaga keserasian antara pendidikan agama dan pancasila diperlukan adanya koordinasi dan konsultasi subtansial antar guru agama dengan guru pendidikan pancasila, dan akan lebih ideal jika guru agama merangkap sebagai guru pancasila.
Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, MA, Ph.D dalam karyanya “ Membuka Lambaran Baru Dialog Islam – Barat Telaah Teologis – Historis “ beliau menyampaikan perlunya menciptakan iklim yang sehat bagi tumbuhnya dialog, renewal, dan gagasan – gagasan yang ideal dilingkunagan masyarakat akademis Indonesia pada umumnyasesuai dengan landasan teologis dan historis. Kejayaan islam pada zaman dulu, membuat bangsa barat tertarik untuk mengeruk dan memperoleh ilmu pengetahuan yang ada di islam. Karena perkembangan pendidikan islam yang begitu luar biasa yang melahirkan tokoh – tokoh pemikir dan ilmuan islam dengan karya – karyanya yang hebat.Mereka mengkaji bukan hanya ilmu agama saja, namun ilmu pengetahuan umum juga dipelajari. Seperti geologi, sosiologi, astronomi, geografi, astronomi, kimia, dan lain – lain. Orang barat barat semakin terobsesi untuk mempelajari ilmu itu dari islam, maka lahirlah kaum orientalis, yang kini dirasakan semakin makin meluas jaringannya.
Sejak kemunduran islam, pendidikan islam mulai merosot, karya – karya yang dihasilkan semakin berkurang. Dan akhirnya kini islam tertinggal oleh barat. Barat lebih unggul dengan islam. Untuk itu, perlu adanya dialog pendidikan yang bersifat simbiosis – mutualistik untuk meraih eksistensi penddikan islam kembali. Selama ini masyarakat mengangggap bahwa pendidikan islam, hanya mencangkup kajian mengenai agama islam saja, mereka juga menganggap bahwa pendidikan islam hanya dibatasi pada lembaga pendidikan yang menggunakan predikat islam atau pendidikan yang dikelola oleh sekelompok umat islam. Hal ini diluruskan oleh Prof. Dr. H Achmadi dalam karyanya “ Dekontruksi Pendidikan Islam sebagai Sub – sistem Pendidikan “ ia menyoroti kembali ambivalensi penyelenggaraan pendidikan islam. Hal ini ditujukan dengan adanya pembagian atau pendefinisian pendidikan islam, bahwa pendidikan islam bukan hanya sebagai sistem, lembaga ataupun sebagai label. Namun pendidikan islam juga sebagai salah satu wahana untuk merealisasikan keimanan dan ketaqwaan yang dituju oleh pendidikan nasional. Maka dari itu, pendidikan agama merupakan sub – sistem dari pendidikan nasioanal. Gagasan besar lainnya adalah perlunya pengelolaan pendidikan islam yang selama ini berada dalam naungan Depag ( Departemen Agama ), sekarang diubah menjadi Kementrian Agama yang diserahkan kepada Pendidikan Nasional ( sekarang Kementrian Pendidikan Nasional ). Untuk itu regulasi yang ada dalam UU Sisdiknas perlu dikawal dengan ketat. Selain regulasi formal, terdapat satu regulasi yang mampu dijadikan rujukan umat islam dalam mengembangkan pendidikan islam. Regulasi tersebut adalah hadis Nabi. Prof. Dr. H. Moh. Erfan Soebahar, M.Ag dalam karyanya “ Respon Muhaddisun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat : Study tentang Hadis Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan Informasi” yang mengungkap masih banyak permasalahan mengenai hadis terkait dengan pendidikan.
Masyarakat ( manusia ) pada setiap zaman hingga era global sekarang, pada dasarnya sudah ditunkan al – Kitab yang bisa dipahami secara jernih dan utuh melalui penjelasan para Rosul, yang pada masa umat Nabi Muhammad SAW dituangkan didalam kitab – kitab hadis. Dua ajaran tersebut disepakati oleh umat islam hingga akhir zaman Nabi SAW.
Namun sesudah Nabi Muhammad SAW wafat, pemahaman mengenai eksistensi dua sumber ajaran islam, dijumpai perbedaan. Yang tampaknya disebabkan karena adanya asumsi, paradigma, realisasi kemampuan umat dalam melaksanakan ajaran agama islam. Penerapan hadis yang sudah dijadikan sebagai sumber nilai di institusi pendidikan bahwa hadis terkadang masih salah dimengerti. Hal itu misalnya : tradisi suka mengutip hadis maudlu masih tampil dalam mendukung pernyataan dosen ; mahasiswa sulit membuat kutipan hadis yang searah dengan maksud paragraf; uraiannya dokmatis tidak empirik; jika hadis terus dikritik dan dijatuhkan lama kelamaan akan habis, dan bisa hadis kependidikan sebagai objek penelitian.
islam mentolerir adanya “pluralitas“ pemahaman, hal itu diperbolehkan selama tidak menyangkut dengan akidah, dan menyangkut kepada penghancuran lima sendi pokok esensial dalam islam, yaitu pemeliharaan ajaran agama, pemeliharaan akal, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan keturunan, dan pemeliharaan harta benda. Jadi toleransinya hanya mengarah ke hal – hal yang mencapai kemashlahatan masyarakat. Dan tidak untuk ke hal – hal yang membawa kemadlaratan. Untuk itu, laksana guru bangsa untuk bisa mengawal dan mengarahkan umat yang berada di jalan yang sesat sesuai dengan budaya nash ( hadlarat al – nash ) untuk kembali ke hal – hal yang pokok sesuai dengan ajaran awal Nabi SAW, namun dalam hal ini juga harus dipahami secara kontekstual.
Kemampuan yang lemah dalam melihat sebuah keilmuan islam, patut untuk dijadikan bahan evaluasi bagi para pendidikan dan peserta didik. Dalam konteks itu “ Evaluasi Hasil Belajar Afektif Pendidikan Agama : Konsep dan Pengukuran “ karya Prof. Dr. H. Ibnu Hadjar, M.Ed mencoba untuk menjawab problem evaluasi dalam pendidikan islam yang dinilai masih lemah dalam hal afektifnya. Dalam dunia pendidikan sering kali diwarnai dengan problemik tentang ujian hasil belajar siswa. Kritik terhadap sekolah dan pemerintah mengenai evaluasi terhadap siswa acap kali muncul, karena tidak komperehensif sasaran dan pelaksanaan evaluasi tersebut. Terutama dalam bidang pendidikan agama islam yang mengedepankan aspek kognitifnya dibanding dengan aspek afektifnya padahal hal ini sangat penting. Pada umunya perubahan aspek tgersebbut lebih dipengarungi oleh proses pembelajaran. Afeksi yang dicapai siswa lebih merupakan effect ( dampak ) dari effort ( upaya) dari proses pembelajaran. Dan upaya praktis untuk menjadika pendidikan islam berkualitas adalah dengan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Karena kurikulum merupakan bagian terpenting yang akan mengantarkan tercapainya tujuan pendidikan. Kurikulum dapat muncul dalam berbagai bentuk, bahkan dalam bentuknya yang tersembunyi “ Hidden Curriculum “ dalam aspek pembentukan sikap keagamaan. Dengan demikian lembaga pendidikan islam perlu mengembangkan idealisme nilai keagamaan ini dengan melakukan proses yang tidak mengesampingkan peran Hidden Curriculumdalam penyelenggaraan pendidikan islam.
Prof. Dr. H. Djamaluddin Darwis, MA dalam karyanya “ Hidden Curriculum dalam Perspektif Pendidikan Islam” memberikan penjelasan arti penting Hidden curriculum. Hidden curriculum merupakan kurikulum yang ridak dirumuskan secara struktural baik formal maupun dalam bentuk kurikuler ataupun ekstra kurikuler. Hidden curriculum ini lebih berdifat situasional atau berkenaan dengan situasional yaitu memberikan pengalaman penting dan peluang pengembanmgan diri si pembelajar, pendidikan untuk menenamkan nilai – nilai keagamaan dalam lingkunagn pendidikan islam tinggi, dalam pengertian proses internalisaasi nilai agama. Ini ada dua pendekatan yang digunakan yaitu, pendekatan struktural kuantitatif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada satuan subjek dalam struktur kurikulum dan jam belajar. Yang tujuannya lebih ditekankan pada penguasaan ilmu agama islam.Yang kedua, dengan pendekatan fungsional kualitatif yang menitikberatkan pada subtansi kegiatan belajar dalam pengertian yang lebih luas, yaitu diintegrasikan dengan penciptaan situasi kelembagaan yang kondusif dan proposional untuk menanamkan nilai – nilai keagamaan dalam berbagai mata pelajaran atau kuliah yang berbeda sebgai wahana proses alih nilai.
Penciptaan suasana yang islami dilakukan secara komperehensif untuk dapat menciptakan suasana yang religius. Aktualisasi sikap dan perilaku keagamaan, seperti membiasakan salam, sapaan yang ramah dan sopan, serta ucapan – ucapan yang bernuansa religius seperti ; alhamdulillah, astagfirullah, insyaalllah, dan sebagainya. Semuanya ini mempunyai peran yang kontributif dan signifikan dalam penanaman nilai – nilai keagamaan di lembaga pendidikan tinggi dengan berbagai kegiatan dan intensitasnya masing – masing.
Hidden kurikulum diharapkan mampu membawa peserta didik ke dalam proses pembelajaran yang lebih efisien dan efektif dengan mengoptimalkan semua sumber belajar baik sumber belajar manuasia seperti dosen, guru, kyai, ustad atau hubungan sesama peserta belajar, optimalisasi semua sarana simbolik baik bersifat fisik maupun penciptaan situasi psikologi dan sosial yang mendukung, pengembangan model pengelolaan kelembagaan pendidikan secara profesioanal dan menciptakan suasana pembelajaran yang sesuai dengan selera sisiwa didik.
              



Tidak ada komentar: