Judul Buku :
Guru Besar Bicara Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam
Penulis : Prof. Drs. H. Ahmad Ludjito
Penerbit :
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan RaSAIL Media Group
Cetakan :
I, 2010
Tebal Buku :
xx + 356 halaman
Membongkar Perkembangan Ilmu
Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam dan Pendidikan Agama Islam, memang jika dilihat sekilas dua kata tersebut
hampir sama, namun antara pendidikan islam dan pendidikan agama islam memanglah
berbeda. Pendidikan islam merupakan suatu sistem yang ditujukan kearah
tercapainya keserasian dan keseimbangan pertumbuhan pribadi yang utuh lewat
berbagai latihan yang menyangkut kejiwaan, intelektual, akal, perasaan dan
indra. Sedangkan pendidikan agama islam adalah mata pelajaran atau bidang study
agama islam. Sistem dalam pendidikan islam dan sistem pendidikan nasional di
Indonesia memang berbeda, yang membedakan terletak pada sumber nilai.
Pendidikan islam bersumber dari Al – qur’an dan hadist, sedangkan pendidikan
nasional bersumber pada pancasila dan UUD 1945. Namun perbedaan ini bukan
merupakan kontradiksi dan bukan pula dikotomi. Karena untuk merealisasikan
keimanan dan ketaqwaan yang dituju. Pendidikan nasional diperlukan ajaran agama
yang mempunyai konsep dan komperehensif tentang keimanan dan ketaqwaan yang
diyakini berasal dari Tuhan YME. Dan karena Indonesia memeluk dari salah satu
agama yang ada didalamnya, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan islam
merupakan penjabaran nasional yang terletak pada aspek keimanan dan ketaqwaan.
Pendidikan agama
islam merupakan salah satu bidang study di semua jenis dan jenjang pendidikan
sekolah ( kecuali perguruan tinggi ) di Indonesia. Namun pendidikan agama islam
di Indonesia memiliki masalah dalam implementasi pada sekolah – sekolah,
diantaranya :
1.
Kurangnya
jam pelajaran
2.
Fungsi
pendidikan agama islam yang hanya sebagai bidang study menimbulkan adanya
dikotomi anatara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.
3.
Adanya
tumpang tindih antara pendidikan agama dengan pendidikan pancasila
Dengan adanya
masalah masalah tersebut maka perlu adanya pendekatan integralistik sebagai
upaya alternatif pemecahan masalah. Pendekatan integratif merupaka pendekatan
secara menyeluruh dengan mencari hubungan fungsional maupun komplementer dari
semua komponen yang terlibat dalam suatu proses. Untuk menjaga keserasian
antara pendidikan agama dan pancasila diperlukan adanya koordinasi dan
konsultasi subtansial antar guru agama dengan guru pendidikan pancasila, dan
akan lebih ideal jika guru agama merangkap sebagai guru pancasila.
Prof. H.
Abdurrahman Mas’ud, MA, Ph.D dalam karyanya “ Membuka Lambaran Baru Dialog
Islam – Barat Telaah Teologis – Historis “ beliau menyampaikan perlunya
menciptakan iklim yang sehat bagi tumbuhnya dialog, renewal, dan gagasan –
gagasan yang ideal dilingkunagan masyarakat akademis Indonesia pada
umumnyasesuai dengan landasan teologis dan historis. Kejayaan islam pada zaman
dulu, membuat bangsa barat tertarik untuk mengeruk dan memperoleh ilmu
pengetahuan yang ada di islam. Karena perkembangan pendidikan islam yang begitu
luar biasa yang melahirkan tokoh – tokoh pemikir dan ilmuan islam dengan karya
– karyanya yang hebat.Mereka mengkaji bukan hanya ilmu agama saja, namun ilmu
pengetahuan umum juga dipelajari. Seperti geologi, sosiologi, astronomi, geografi,
astronomi, kimia, dan lain – lain. Orang barat barat semakin terobsesi untuk
mempelajari ilmu itu dari islam, maka lahirlah kaum orientalis, yang kini
dirasakan semakin makin meluas jaringannya.
Sejak
kemunduran islam, pendidikan islam mulai merosot, karya – karya yang dihasilkan
semakin berkurang. Dan akhirnya kini islam tertinggal oleh barat. Barat lebih
unggul dengan islam. Untuk itu, perlu adanya dialog pendidikan yang bersifat
simbiosis – mutualistik untuk meraih eksistensi penddikan islam kembali. Selama
ini masyarakat mengangggap bahwa pendidikan islam, hanya mencangkup kajian
mengenai agama islam saja, mereka juga menganggap bahwa pendidikan islam hanya
dibatasi pada lembaga pendidikan yang menggunakan predikat islam atau
pendidikan yang dikelola oleh sekelompok umat islam. Hal ini diluruskan oleh
Prof. Dr. H Achmadi dalam karyanya “ Dekontruksi Pendidikan Islam sebagai Sub –
sistem Pendidikan “ ia menyoroti kembali ambivalensi penyelenggaraan pendidikan
islam. Hal ini ditujukan dengan adanya pembagian atau pendefinisian pendidikan
islam, bahwa pendidikan islam bukan hanya sebagai sistem, lembaga ataupun
sebagai label. Namun pendidikan islam juga sebagai salah satu wahana untuk
merealisasikan keimanan dan ketaqwaan yang dituju oleh pendidikan nasional.
Maka dari itu, pendidikan agama merupakan sub – sistem dari pendidikan
nasioanal. Gagasan besar lainnya adalah perlunya pengelolaan pendidikan islam
yang selama ini berada dalam naungan Depag ( Departemen Agama ), sekarang
diubah menjadi Kementrian Agama yang diserahkan kepada Pendidikan Nasional (
sekarang Kementrian Pendidikan Nasional ). Untuk itu regulasi yang ada dalam UU
Sisdiknas perlu dikawal dengan ketat. Selain regulasi formal, terdapat satu
regulasi yang mampu dijadikan rujukan umat islam dalam mengembangkan pendidikan
islam. Regulasi tersebut adalah hadis Nabi. Prof. Dr. H. Moh. Erfan Soebahar,
M.Ag dalam karyanya “ Respon Muhaddisun Menghadapi Tantangan Kehidupan Umat :
Study tentang Hadis Sebagai Sumber Ajaran Keagamaan Era Nabi, Kodifikasi, dan
Informasi” yang mengungkap masih banyak permasalahan mengenai hadis terkait
dengan pendidikan.
Masyarakat (
manusia ) pada setiap zaman hingga era global sekarang, pada dasarnya sudah
ditunkan al – Kitab yang bisa dipahami secara jernih dan utuh melalui
penjelasan para Rosul, yang pada masa umat Nabi Muhammad SAW dituangkan didalam kitab – kitab hadis. Dua ajaran tersebut disepakati
oleh umat islam hingga akhir zaman Nabi SAW.
Namun sesudah
Nabi Muhammad SAW wafat, pemahaman mengenai eksistensi dua sumber ajaran islam,
dijumpai perbedaan. Yang tampaknya disebabkan karena adanya asumsi, paradigma,
realisasi kemampuan umat dalam melaksanakan ajaran agama islam. Penerapan hadis
yang sudah dijadikan sebagai sumber nilai di institusi pendidikan bahwa hadis
terkadang masih salah dimengerti. Hal itu misalnya : tradisi suka mengutip
hadis maudlu masih tampil dalam mendukung pernyataan dosen ; mahasiswa sulit
membuat kutipan hadis yang searah dengan maksud paragraf; uraiannya dokmatis
tidak empirik; jika hadis terus dikritik dan dijatuhkan lama kelamaan akan
habis, dan bisa hadis kependidikan sebagai objek penelitian.
islam
mentolerir adanya “pluralitas“ pemahaman, hal itu diperbolehkan selama tidak
menyangkut dengan akidah, dan menyangkut kepada penghancuran lima sendi pokok
esensial dalam islam, yaitu pemeliharaan ajaran agama, pemeliharaan akal,
pemeliharaan jiwa, pemeliharaan keturunan, dan pemeliharaan harta benda. Jadi
toleransinya hanya mengarah ke hal – hal yang mencapai kemashlahatan
masyarakat. Dan tidak untuk ke hal – hal yang membawa kemadlaratan. Untuk itu,
laksana guru bangsa untuk bisa mengawal dan mengarahkan umat yang berada di
jalan yang sesat sesuai dengan budaya nash ( hadlarat al – nash ) untuk kembali
ke hal – hal yang pokok sesuai dengan ajaran awal Nabi SAW, namun dalam hal ini
juga harus dipahami secara kontekstual.
Kemampuan yang
lemah dalam melihat sebuah keilmuan islam, patut untuk dijadikan bahan evaluasi
bagi para pendidikan dan peserta didik. Dalam konteks itu “ Evaluasi Hasil
Belajar Afektif Pendidikan Agama : Konsep dan Pengukuran “ karya Prof. Dr. H.
Ibnu Hadjar, M.Ed mencoba untuk menjawab problem evaluasi dalam pendidikan
islam yang dinilai masih lemah dalam hal afektifnya. Dalam dunia pendidikan
sering kali diwarnai dengan problemik tentang ujian hasil belajar siswa. Kritik
terhadap sekolah dan pemerintah mengenai evaluasi terhadap siswa acap kali
muncul, karena tidak komperehensif sasaran dan pelaksanaan evaluasi tersebut. Terutama
dalam bidang pendidikan agama islam yang mengedepankan aspek kognitifnya
dibanding dengan aspek afektifnya padahal hal ini sangat penting. Pada umunya
perubahan aspek tgersebbut lebih dipengarungi oleh proses pembelajaran. Afeksi
yang dicapai siswa lebih merupakan effect ( dampak ) dari effort ( upaya) dari
proses pembelajaran. Dan upaya praktis untuk menjadika pendidikan islam
berkualitas adalah dengan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Karena kurikulum merupakan bagian terpenting yang akan mengantarkan tercapainya
tujuan pendidikan. Kurikulum dapat muncul dalam berbagai bentuk, bahkan dalam
bentuknya yang tersembunyi “ Hidden Curriculum “ dalam aspek pembentukan sikap
keagamaan. Dengan demikian lembaga pendidikan islam perlu mengembangkan
idealisme nilai keagamaan ini dengan melakukan proses yang tidak
mengesampingkan peran Hidden Curriculumdalam penyelenggaraan pendidikan
islam.
Prof. Dr. H.
Djamaluddin Darwis, MA dalam karyanya “ Hidden Curriculum dalam Perspektif
Pendidikan Islam” memberikan penjelasan arti penting Hidden curriculum. Hidden
curriculum merupakan kurikulum yang ridak dirumuskan secara struktural baik
formal maupun dalam bentuk kurikuler ataupun ekstra kurikuler. Hidden
curriculum ini lebih berdifat situasional atau berkenaan dengan situasional
yaitu memberikan pengalaman penting dan peluang pengembanmgan diri si
pembelajar, pendidikan untuk menenamkan nilai – nilai keagamaan dalam
lingkunagn pendidikan islam tinggi, dalam pengertian proses internalisaasi
nilai agama. Ini ada dua pendekatan yang digunakan yaitu, pendekatan struktural
kuantitatif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada satuan subjek dalam
struktur kurikulum dan jam belajar. Yang tujuannya lebih ditekankan pada
penguasaan ilmu agama islam.Yang kedua, dengan pendekatan fungsional kualitatif
yang menitikberatkan pada subtansi kegiatan belajar dalam pengertian yang lebih
luas, yaitu diintegrasikan dengan penciptaan situasi kelembagaan yang kondusif
dan proposional untuk menanamkan nilai – nilai keagamaan dalam berbagai mata
pelajaran atau kuliah yang berbeda sebgai wahana proses alih nilai.
Penciptaan
suasana yang islami dilakukan secara komperehensif untuk dapat menciptakan
suasana yang religius. Aktualisasi sikap dan perilaku keagamaan, seperti
membiasakan salam, sapaan yang ramah dan sopan, serta ucapan – ucapan yang
bernuansa religius seperti ; alhamdulillah, astagfirullah, insyaalllah, dan
sebagainya. Semuanya ini mempunyai peran yang kontributif dan signifikan dalam
penanaman nilai – nilai keagamaan di lembaga pendidikan tinggi dengan berbagai
kegiatan dan intensitasnya masing – masing.
Hidden
kurikulum diharapkan mampu membawa peserta didik ke dalam proses pembelajaran
yang lebih efisien dan efektif dengan mengoptimalkan semua sumber belajar baik
sumber belajar manuasia seperti dosen, guru, kyai, ustad atau hubungan sesama
peserta belajar, optimalisasi semua sarana simbolik baik bersifat fisik maupun
penciptaan situasi psikologi dan sosial yang mendukung, pengembangan model
pengelolaan kelembagaan pendidikan secara profesioanal dan menciptakan suasana
pembelajaran yang sesuai dengan selera sisiwa didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar