I.
PENDAHULUAN
Al – qur’an merupakan wahyu allah baik dari segi lafadz
maupun makna.Seluruh ayat dalam al – qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara
mutawatir, baik hafalan maupun tulisan. Al qur’an tidak terlepas dari aspek
qira’at. Qiraat al – qur’an diajarkan adan disampaikan rasulullah kepada para
sahabat. Kemudian sahabat menyampaikan kepada para tabi’in. Demikian seterusnya
dari generasi ke generasi.
Namun dalam perjalanan sejarahnya, qiraat pernah
diragukan kebenarannya dan diduga tidak bersumber dari Nabi SAW. Hal ini, banyak
menimbulkan beberapa versi qiraat al – qur’an, maka para ulama ahli qiraat
terdorong untuk melakukan penelitian dan menyeleksi berbagai versi qiraat pada
masa itu. Perbedaan versi qiraat inilah yang menimbulkan istinbath hukum yang
berbeda pula. Oleh karena itu, diperlukan pula pemahaman dan pengetahuan
mengenai ilmu qiraat agar kita dapat mengetahui pengertian dan latar belakang
perbedaan qiraat serta pengaruh terhadap istinbath hukum al- qura’an.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian qiraat?
B. Bagaimana latar belakang terjadinya perbedaan ilmu
qiraat?
C. Apa saja macam – macam qiraat?
D. Apa itu qira’ah sab’ah dan qiraat sab’atu ahruf?
E.
Apa pengaruh perbedaan qiraat?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiraat
Qiraat
adalah jamak dari qira’ah yang berarti ‘bacaan’ , dan dia adalah masdar dari
qara’a. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mahzab (aliran )
pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ (ahli qiraat ) sebagai suatu
mahzab yang berbeda dengan mazhab lainnya.[1]
Sedangkan
qira’ah sendiri menurut bahasa berupa isim masdar dari lafal qara’a (fi’il madhi ), yang
berarti membaca. Maka qiraah berarti bacaan atau cara membaca.
Menurut istilah,
definisi qiraah yaitu :
القراءة نوع
من التّلاوة توفقا اللّغة العربيّة وتواترسندهاووافقت احدالمصاحف العثما نيّة
Artinya : “Qira’ah
ialah salah satu cara membaca al – qur’an yang selaras dengan kaidah bahasa
arab, dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushhaf
Ustman.”
Karena
itu, bacaan yang tidak selaras dengan kaidah bahasa arab, atau sanadnya tidak mutawatir
atau tidak cocok dengan tulisan dalam
salah satu mushhaf Ustman, tidaklah bisa
dinamakan Qira’atil Qur’an.[2]
Imam Az –
Zarkasyi dalam buku Al – Burhan Fii Ulumil Qura’an mengingatkan, bahwa al –
qira’ah ( bacaan ) itu berbeda dengan al – qur’an ( yang dibaca ).
Keduanya merupakan dua fakta yang berlainan. Sebab, Al – qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW untuk menjadi keterangan mukjizat. Sedangkan qira’ah adalah perbedaan
cara membaca lafal – lafal wahyu tersebut di dalam tulisan huruf – hurufnya
yang menurut Jumhur, cara itu adalah mutawatir.
Jadi,
qira’ah itu adalah cara membaca ayat – ayat al qur’an yang berupa wahyu Allah
SWT, dipilih oleh salah seorang ahli qira’ah, berbeda dengan cara ulama lain,
berdasarkan riwayat – riwayat mutawatir sanadnya dan selaras dengan kaidah
kaidah bahasa arab serta cocok dengan bacaan terhadap tulisan Alquran yang
terdapat dalam salah satu mushhaf Ustman.
B.
Latar belakang perbedaan ilmu qiraat
Pada masa Nabi SAW, perhatian umat terhadap kitab al-
qur’an ialah memperoleh ayat – ayat al – qur’an itu dengan mendengarkan,
membaca, dan menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut. Dari nabi kepada
para sahabat, dari shabat yang satu kepada sahabat yang lain, dari seorang imam
ahli bacaan yang satu kepada imam yang lain.
Pada periode pertama ini, al – qur’an belum dibukukan
sehingga dasar pembacaan dan pembelajarannya adalah masih saecara lisan.
Pedomannya adalah nabi dan para sahabat serta orang – orang yang hafal al –
qur’an. Hal ini, terus berlangsung sampai pada masa sahabat. Pada masa
pemerintahan khalifah Abu Bakar, kitab al – qur’an telah dibukukan dalam satu
mushaf. Pembukuan al – quran tersebut merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar atas
inisiatif Umar bin Khattab r.a.[3]
Pada masa pemerintahan Ustman mushaf al –quran telah
disalin dan dibuat banyak, serta dikirim ke daerah – daerah islam yang pada
waktu itu sudah menyebar luas guna menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan
al- qur’an. Hal ini diupayakan khalifah Ustman, karena pada waktu itu terdapat
perselisihan sesama kaum muslimin di daerah Azerbejein mengenai bacaan al –
qur’an. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara sesama
umat islam, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat – ayat al – qur’an,
karena pada saat itu nabi hanya mengajarkan kepada mereka cara bacaan yang
relevan dengan dialek mereka masing – masing. Tiap – tiap suku atau golongan
menganggap hanya bacaan merekalah yang paling benar, sedangkan yang lain dianggap
salah, sehingga mengakibatkan perselisihan.
Inilah pangkal perbedaan qira’ah dan tonggak sejarah
tumbuhnya ilmu qira’ah. Untuk memadamkan perselisihan – perselisihan itu,
khalifah Ustman mengadakan penyalinan mushaf Al – qur’an dan mengirimkannya ke
berbagai daerah, sehingga bisa mempersatukan kembali perpecahan umat islam.
Tentunya, bacaan al – qur’an di daerah – daerah tersebut mengacu pada mushaf –
mushaf yang dikirim oleh khalifah Ustman seluruhnya sama, karena semuanya dari
beliau. Sesudah itu banyak bermunculan para qurra’ yang ahli dalam berbagai
cara dalam pembacaan al – qur’an. Mereka menjadi panutan di daerahnya masing –
masing dan menjadi pedoman bacaan dan cara – cara membacanya.
C. Macam – macam qiraat
1. Ditinjau dari para
qurra’
Ditinjau dari
segi banyaknya qira’ yang mengajarkannya ada tiga macam, yaitu ;
a. Qiraat sab’ah yaitu qiraat yang
disandarkan kepada tujuh tokoh ahli qiraat yang termasyhur. Qiraat tersebut
mulai dikenal sejak abad II H. , pada masa pemerintahan al – Makmun. Tujuh
orang pakar qiraat tersebut adalah ;
1) Nafi’
bin Abd Rahman ( wwafat 169 H ) di Madinah
2)
Ashim
bin Abi Najud Al – Asady ( wafat 127 H ) di Kufah
3)
Hamzah
bin Habib At- Taymy ( wafat 158 H ) di Kufah.
4)
Ibnu
Amir Al – Yashhuby ( wafat 118 H ) di Syam.
5)
Abdullah
Ibnu Katsir ( wafat 130 H ) di Makkah.
6)
Abu
Amir Ibnu Ala ( wafat 154 H ) di Basrah.
7)
Abu
Ali Al – Kisai ( wafat 189 H ) di Kufah.
Imam Al – Makki
mengatakan, ada dua alasan mengapa dinamakan qiraat sab’ah, yaitu Pertama,
Khalifah Ustman ketika mengirim copy mushhaf ke daerah – daerah itu ada tujuh buah yang masing –
masing diserta dengan ahli qiraat yang mengejarkannya. Karena itu, naman qiraat
tersebut berasal dari jumlah qurra’ yang mengajarkannya, yakni sab’ah (tujuh ).
Kedua, karena tujuh qiraat itu adalah namanya
sama dengan
tujuh cara (dialek ) bacaan yang diturunkan
al – qur’an. Bahkan, Imam Mujahid mengatakan bahwa syarat diterimanya
Qira’atil qur’an itu harus dari orang yang hafal Al –qur’an, bisa dipercaya
selalu menekuni qiraat sepajang hidupnya serta selalu relevan antara yang
diterima dengan yang diajarkan. Dan, yang memenuhi persyaratan tersebut hanya
tujuh orang diatas.[4]
b. Qiraat Asyrah, yang qiraatnya didasarkan kepada selupuluh
orang ahli qiraat yang mengajarkannya. Menurut ulama, pembatasan terhadap ahli
tujuh qiraat itu kurang tepat, karena masih banyak ulama lain yang yang pandai
memahami tentang qira’atil qur’an. Jadi, qiraat asyrah itu adalah qiraat yang
disandarkan kepada sepuluh orang ahli qiraat, yaitu tujuh orang tersebut dalam
qiraat sab’ah ditambah dengan tiga orang lagi, yaitu :
1) Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al – Qari ( wafat 130 H ) di
Madinah
2)
Abu
Muhammad Ya’kub bin Ishaq Al – Harhary ( wafat 205 H ) di Basrah.
3)
Abu
Muhammad Khalaf bin Hisyam Al – A’masyy ( wafat 229 H )
c.
Qira’ah
arba’a ‘asyrata, yang qiraatnya disandarkan kepada 14 orang ahli qiraat yang
mengajarkannya. 14 orang ahli qiraat tersebut adalah 10 orang ahli qiraat
‘asyrah ditambah empat orang ahli qiraat yang lain. Emapat orang itu ialah
sebagai berikut :
1)
Hasan
Al – Bashary ( wafat 110 H ) di Basrah
2)
Ibnu
Muhaish ( wafat 123 H )
3) Yahya Ibu Mubarak Al – Yazidy ( wafat
202 H ) di Baghdad
4)
Abul
Faraj Ibnu Ahmad Asy – Syambubudzy ( wafat 388 H ) di Baghdad.
2.
Ditinjau dari sanadnya
Ulama menyimpulkan
qiraat dari segi sanadnya menjadi enam macam, yaitu :
a. Qiraat mutawatir, yaitu qiraat yang
diriwatkan orang banyak dari orang banyak,
mereka tidak mungkin
bersepakat dusta. Contonya, qiraat sab’ah. Menurut jumhur, qiraat sab’ah ini
semua riwayatnya adalah mutawatir.
b.
Qiraat
Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, seperti diriwayatkan orang – orang
adil, dhabit, dan seterusnya, dan selaras dengan kaidah bahsa Arab, serta
bacaannya cocok dengan salah satu mushhaf Ustman baik dari qiraatnya sab’ah
ataupun qiraat asyrah.[5]
c. Qiraat ahad, yaitu qiraat yang sanadnya
sahih, tetapi tulisannya tidak cocok dengan mushhaf Ustman dan juga tidak
selaras dengan kaidah bahsa Arab. Qira’ah macam ini tidak boleh untuk membaca
Al – Qur’an, dan juga tidak boleh diyakini dari al – quran
d.
Qiraat
syadzdzah, yaitu qiraat yang sanadnya tidak sahih, seperti bacaan
ملك يوم الدين
Dengan bentuk fi’il
madhi yang berasal dari bacaan ibnu Sumaifai
e.
Qiraat maudhu’ah, yaitu bacaan yang dibuat
– buat, yang tidak ada dasarnya sama sekali, seperti bacaan :
انما يخشي الله من عباده العلماء
f. Qiraat mudraj, yaitu qiraat yang bacaannya
ditambah – tambah sebagai penjelasan, seperti bacaan Sa’id bin Abi Waqqash وله اخ او اخت من ام
Dengan ditambah من ام
3. Ditinjau dari
segi nama jenis
Menurut
sebagian ulama, jika ditinjau dari segi nama jenis, macam – macam qiraat itu
ada empat, sebagai berikut :
a. Qiraat, yaitu untuk nama bacaan yang telah memenui tiga
syarat, sebagaimana penjelasan di atas ; seperti qiraat sab’ah asyrah dan
qiraat arba’a asyrata.
b.
Riwayah,
yaitu nama bacaan yang hanya berasal dari
slaah seorang perowinya sendiri.
c.
Thariq,
yaitu nama untuk bacaan yang sanadnya terdiri dari orang- orang yang sesudah
para perowinya sendiri.
d.
Wajah,
yaitu nama untuk terhadap Alqur’an yang tidak didasarkan sifat – sifat tersebut
diatas, melainkan berdasarkan pilihan pembacanya sendiri.[6]
D. Qira’ah Sab’ah dan
Sab’atu Ahruf
1. Qira’ah Sab’ah
Qorri’ merupakan
seorang imam diantara para imam terkemuka yang kepada mereka qiro’ah - qiro’ah
dinisbatkan. Kita mengenal beberapa nama qorri’ yang
terkenal terkait dengan
pembahasan ilmu qiro’ah. Namun, disini hanya akan diinformasikan tentang mereka
beberapa saja, yaitu yang tergabung dalam qiro’ah sab’ah saja. Pembahasan ini
dimaksudkan agar kita dapat mengenal kebesaran dan keutamaan mereka, dan agar kita
mengenal mereka itu secara ilmiah. Karena mereka merupakan pengembang estafet
penjagaan Al-Qur’an al-Karim melalui jalur -
jalur yang menyebar keberbagai penjuru dunia islam
selama berabad-abad.
Namun, dalam bab ini tidak akan
dijelaskan biografi secara detail ataupun tahap -tahap qiro’ah mereka.
Hal ini jelas merupakan kajian yang luas, yang harus dibahas dalam satu buku
sendiri. Diantara ketujuh qori’ yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Ibn Amr
Namanya
Abdullah al-Yahshubiy, nisbat kepada Yahshub. Ia merupakan pakar dari Humair,
yang diberi nama Kunyah abu Nu’aim dan Abu ‘Imran. Ia merupakan seorang tabi’iy
terkemuka, bertemu dengan (belajar kepada) Wa-tsilah Ibn al-Asqa’ dan an-Nu’man
ibn Basyir. Dia mengambil qiro’ah dari al-Mughiroh ibn Abi Syihab al-Makzhumi
dari Utsman ibn Affan dari Rasulullah. Dikatakan bahwa dia membaca dihadapan
Utsman langsung. Dia wafat di Damaskus tahun
118 H. Yang masyhur meriwayatkan qiro’ahnya adalah Hisyam dan Dzakwan, tetapi
melalui murid-muridnya.
b. Ibn Katsir
Dia
adalah Abu Muhamad atau Abu Ma’bad, Abdullah ibn Katsir al-Dariy. Dia merupakan
imam di Makkah dalam hal qiro’ah, yang berpembawaan tenang dan wibawa. Dari
kalangan sahabat ia bertemu dengan Abdullah ibn al-Zubair, Abu Ayyub
al-Anshariy dan Anas ibn Malik.
Dia meriwayatkan
dari mujahid, dan Ibn Abbas dari Ubay Ibn Ka’ab dari Rasulullah. Dia berguru
kepada Abdullah ibn al-Sa’ih al-Makhrumiy. Abdullah ini membaca dihadapan Ubay
ibn Ka’ab dan Umar ibn al-Khatab. Keduanya membaca dihadapan Rasulullah[7].
Dia wafat pada tahun 120 H di Makkah al-Mukarromah.
Yang masyhur
meriwayatkan darinya tetapi melalui para murid-muridnya adalah al-Bazzy dan
Qunbul.
c. ‘Ashim
Dia
adalah Abu Bakar ‘Ashim ibn abu al-Najud al-Asadiy. Dia seorang qori’ yang
handal, memiliki kecerdasan, kehandalan, kefasihan dan suara yang merdu dalam
membaca al-Qur’an. Dia membaca dihadapan Ziir ibn Hubaisy dihadapan Abdullah
ibn Mas’ud dihadapan Rasulullah. Dia juga membaca dihadapan Abu Abdurrahman
Abdullah ibn Hubaib al-Sulamiy, guru al-Hasan dan al-Husain.
Abdurrahman
ini membaca dihadapan imam Ali. Sedang Imam Ali mengambil qiro’ahnya dari
Rasulullah. Dia wafat di Kuffah atau al-Samawah pada tahun 127 H.
Yang
meriwayatkan darinya adalah Syu’bah dan Hafsh. Keduanya tanpa perantara.
d. Abu Amr
Dia
adalah Abu Amr Zabban ibn al-‘Ala ‘Ammar al-Bashriy. Dia termasuk paling tau
tentang qiro’ah, disamping memiliki kejujuran dan keterpercayaan dalam agamanya.
Dia meriwayatkan dari Mujahid ibn Jabar, Said ibn Jubair dari ibn Abbas dari
Ubay ibn Ka’ab dari Rasulullah. Dia membaca dihadapan sejumlah orang, antara
lain Abu Ja’far, Zaid ibn al-Qa’qa’ dan al-Hasan al-Bashriy. Al-Hasan membaca
dihadapan Haththan dan Abu al-Aliyah. Sedang Abu al-Aliyah membaca didepan Umar
ibn Khatab. Dia wafat tahun 154 H.
Yang
masyhur meriwayatkan darinya antara lain al-Daury dan al-Susi, akan tetapi
melalui perantara al-Yazidiy Abu Muhamad Yahya ibn al-Mubarok al-‘Adawiy, yang
wafat tahun 202 H.
e. Hamzah
Dia
adalah Abu ‘Ammarah Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat al-Kufiy Maula ‘Ikrimah ibn
Rabi’at-Tamimiy. Dia membaca dihadapan Abu Muhamad Sulaiman ibn Mihran
al-A’masy, dihadapan Yahya ibn Watsab, dihadapan Zirr ibn Hubaisy, dihadapan
Utsman, Ali dan Ibn Mas’ud, dihadapan Rasulullah. Dia seorang yang sangat
handal tentang Kitabullah, menguasai dengan baik, mengetahui berbagai
kefardhuan dan kebahasaan serta hafidz dibidang hadits. Dia wafat di Hulwan
pada tahun 156 H.
Yang
masyhur meriwayatkan darinya antara lain Khalaff dan Khallad, tetapi dengan
perantara Abu Isa Sulaim Ibn Isa al-Hanafiy al-Kufy yang wafat pada tahun 188
H.
f. Nafi’
Dia
adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibn Abdirrahman ibn Abu Nu’aim al-Madaniy. Dia
mengambil qiro’ah dari Abu Ja’faral-Qori’y dan dari sekitar 70 tabi’in. Mereka
mengambil dari Abdullah ibn Abbas dan Abu Hurairah, dari Ubay ibn Ka’ab dari
Rasulullah. Kepadanya kepemimpinan qiro’ah mencapai puncaknya di Madinah
al-Munawwarah. Dia wafat pada tahun 169 H. [8]Yang
masyhur meriwayatkan darinya antara lain Qolum dan Warasy.
g.
Al-Kisa’iy
Dia
adalah Abu al-Hasan Ali ibn Hamzah al-Kisa’iy al-Nahwiy. Diberi nama laqab
dengan al-Kisa’iy karena sewaktu ihram dia mengenakan baju. Abu Bakar ibn
al-Anbariy mengatakan: dalam diri al-Kisa’iy terkumpul beberapa hal. Dia paling
mahir dalam bidang Nahwu, satu-satu nya orang yang paling tahu tentang
al-ghorib dan paling pandai dalam masalah qiro’ah. Oleh karena itu mereka
berduyun-duyun mendatanginya.[9]
Bahkan ia perlu duduk diatas kursi dan membaca al-Qur’an dari awal sampai
akhir. Dia wafat pada tahun 189 H. Yang masyhur meriwayatkan darinya adalah
Abu al-Haris dan al-Dury
2. Sab’atu Ahruf
Orang
yang terlibat dalam pecakapan sehari-hari mengerti apa itu huruf karena
persoalannya sudah jelas. Hal ini menyebabkan lawan berbicara tak perlu meminta
penjelasan. Demikian juga yang berbicara, ia tak perlu menjelaskan arti huruf
itu. Namun bila “huruf’ ini masuk dalam pembicaraan mengenai al-Qur’an,
masalahnya akan menjadi lain
karena “huruf” yang dengannya diturunkan al-Qur’an ditafsirkan berbeda-beda.
Disekitar “huruf” itu banyak persilangan pendapat. Bukan hanya satu dua ulama
yang terlibat ikhtilaf di sekitarnya.
Kalaulah tidak ada hadist yang kuat, mungkin ulama lebih senang mendiamkannya, tak
mau angkat suara tentang huruf itu. Bukankah “keluar dari perbedaan pendapat”
itu lebih disukai?
Mari kita simak riwayat berikut.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhori dan Muslim, Umar ibn
al-Khaththab pernah berang.
Peristiwanya terjadi ketika Rasulullah masih hidup. Pasalnya, suatu ketika
Hisyam bin Hakim shalat ia membaca surat al-Furqon. Rupanya Umar yang
memperhatikan bacaan Hisyam bin Hakim itu mendengar “kejanggalan” bacaan
Hisyam. Ada beberapa lafadz Hisyam yang belum pernah didengar Umar. Padahal
sepengetahuan Umar, Rasulullah tak pernah mengajarkan bacaan yang baru saja
dibaca Hisyam.
Sahabat Rasulullah yang terkenal
spontan ini nyaris tak sabar, ia langsung menegur Hisyam. Untungnya Umar mampu
bertahan menanti sampai Hisyam usai shalat. Begitu selesai shalat Umar langsung
menegur Hisyam “siapa yang mengajarkanmu membaca surah ini?”, tegur Umar dengan
berang. “Aku diajarkan membacanya oleh Rasulullah” jawab Hisyam. Tapi Umar
rupanya tak percaya dengan jawaban Hisyam. Ia langsung mendamprat Hisyam dengan
mengatakan “kau bohong!”, dan untuk membenarkan tuduhannya, Umar pun tak segan - segan bersumpah bawha
Rasulullah tak pernah mengajarkan bacaan yang baru saja ia dengar. Tidak cukup
sampai disitu, Umar kemudian menuntun Hisyam menghadap Rasulullah.
Setelah bertemu
dengan Rasulullah, Umar langsung mengadu, “wahai Rasulullah, aku baru saja
mendengar orang ini membaca surah al-Furqon dengan huruf yang tidak kau ajarkan
padaku. Padahal engkau telah mengajarkanku surah al-Furqon”. Rasulullah lalu mengatakan
“ajaklah ia kesini, hai Umar”, Rasulullah lalu menyuruh Hisyam membaca surah
al-Furqon yang tadi dianggap berbeda oleh Umar. Setalah
mendengar bacaan Hisyam, Rasulullah
membenarkan dan bersabda :
قال رسول الله صلعم : إن هذا القرأن إنزل على سبعة إحرف
فقرإوا ما تيسر منه . (روه البخرى و مسلم)
“Sesungguhnya
al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan
yang mudah bagimu dari al-Qur’an.” (HR. Bukhari Muslim)
Celah-celah untuk membantah tujuh
huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan, boleh dibilang tertutup. Dalam waktu
yang bersamaan tidak ada informasi yang menunjuk kepastian “wujud” dari tujuh
huruf itu. Tak ada satu riwayat pun yang memberi kejelasan tujuh huruf yang
dimaksud Rasulullah. Oleh karena itu, sekalipun para ulama sepakat al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf, mereka
berbeda pendapat mengenai hakikat tujuh huruf itu. [10]
Perselisihan para ulama mengenai
“tujuh” huruf ini begitu tajam. Jumlah pendapatnyapun banyak sekali, misalnya
sebagai berikut:
a.
Bahwa
tujuh huruf yang dimaksud hadis diatas tidak akan mungkin ditangkap hakikat
atau maksudnya oleh manusia. Sebabnya hakikat tujuh huruf itu tidak mungkin
diinterpretasikan sebagai huruf hija’iyah,
kalimat atau arah. Padahal dari segi bahasa, tidak dikenal pengertian lain,
kecuali tga makna yang disebut diatas.
b.
Bahwa
yang dimaksud dengan tujuh huruf itu bukan hakikat bilangan, melainkan al-thasil, al-taysir (kemudahan) dan al-sa’ah (keleluasaan/kelapangan).
c.
Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf itu adalah tujuh qiro’ah.
d.
Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tempat terjadinya perubahan. Ketujuh tempat
dijelaskan dibawah ini:
1) Kata yang berubah harakatnya, sementara
bentuk tulisan dan maknanya tetap tidak berubah. Misalnya, firman Allah yang
berbunyi: لكُمْ اَطْهَرُ هُنَّ (mereka (wanita)
lebih suci bagimu) berubah menjadi هُنَّ
اَطْهَرَ لَكُمْharakat dhammah pada huruf رberubah
menjadi fathah. Sementara maknanya,
baik huruf رitu
berharakat dhammah atau fathah ia tetap bermakna sama: “mereka
(wanita) lebih suci bagimu”.
2) Kata yang berubah maknanya karena
perubahan kedudukan tata bahasa, sementara bentuk tulisannya tak berubah.
Misalnya firman Allah yang berbunyi
رَبُّنَا
بَاعَدَ بَيْنَ اَسْفَارِنَاmenjadi رَبَّنَا
بَاعِدْ بَيْنَ اَسْفَارِنَا , Rabbuna (رَبُّنَا)
berubah menjadi Rabbana (رَبَّنَا)
dan kata ba’ada (بَاعَدَ)
berubah menjadi ba’id (بَاعِدْ).
Bila pada kalimat pertama bermakna “Tuhan kami telah menjauhkan antara
perjalanan kami”, maka setelah berubah kalimat itu bermakna “Tuhan kami,
jauhkanlah antara perjalanan kami”.[11]
3)
Kata
yang mengalami perubahan makna karena berubahnya huruf, tetapi bentuk
tulisannya tetap. Misalnya, nunsyizuha
(نُنِشِزُهَا)
berubah menjadi nunsyiruha (نُنْشِرُهَا).
4)
Kata yang bentuknya berubah, tetapi maknanya tidak
berubah.
Misalnya: كَالْعِهْنِ
الْمَنْفُوْشِ berubah
menjadi كَالصُّوْفِ الْمَنْفُوْشِ.
5)
Kata
yang bentuk tulisan yang maknanya mengalami perubahan. Misalnya firman Allah: طَلْعٍ
مَنْضُوْدberubah menjadi طَلْحٍ
مَنْضُوْدٍ.
6)
Perubahan
susunan kalimat dengan taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengahirkan).
Misalnya: وَجَاءَ تْ سَكَرَةُ
الْمَوْتِ بِلْحَقِّ(dan datanglah sakaratul maut dengan benar) menjadi وَجَاءَ
تْ سَكَرَةُ الْحَقِّ بالْمَوْت(dan datanbglah sakarat yang benarnya dengan kematian).
7)
Perbedaan
yang didalam lahjah (logat) yang terjadi pada fathah, imalah, tarqib,
tafkin, idhar, idghom dan lain-lain.
e.
Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam kalam didalam al-Qur’an yang satu
sama lainnya berbeda. Misalnya, bentuk amar (perintah), nahi (larangan), wa’d
(jaji), wa’id (ancaman), halal, haram, mhkam, dan mutasyabih.
f.
Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh lafad yang berbeda, tetapi mempunyai
pngertian yang sama. Misalnya )aqbil( اَقْبل (ta’ala)
تَعَالَ, (‘ajjil) عَجِّلْ, dan
(asri’) اَسْرِعْ.
Lafadz-lafadz seperti ini meringankan kaum muslimin dan membaca al-Qur’an
sekaligus menangkap maksud.
Pendapat
yang ke-5 merujuk pada sejumlah hadist. Diantaranya hadist ini Abu Hurairoh:
أُنْزِلَ
الْقُرْآنُ عَلَي سَبْعَةِ اَحْرُفٍ عَلِيمًا حَكِيمًا غَفُوْرًا
Al-Qur’an
diturunkan atas tujuh huruf ; Aliman (Maha
tahu), Hakiiman (Maha bijaksana), Ghofuunron (Maha pengampun) dan Rahiman (Maha
penyayang).
Pendapat
keenam juga merujuk pada suatu riwayat yang mengatakan bahwa Abdullah bin
Mas’ud membaca:
الَّذِيْنَ
آمَنُوا انْظُرُوْنَا أَهْمِلُونَا أخِّرُوْنَا
At-Thahawiy
mengomentari keragaman
pelafalan dan bacaan dengan pengertian yang sama ini bab rukhsoh karena banyak
anggota masyarakat dari kabilah tertentu ang sulit melafalkan satu kata
tertentu.
g. Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah
tujuh istilah. Misalnya mutlaq, muqoyad, ‘am, khash, nash, mu’awwal, nasikh,
mansukh, mujmal dan mufassar.
h. Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah
tata cara membaca dan mengucapkan, seperti pada masalah-masalah berikut: idghom,
idhar, tafhim, taqiq, imalah, isyba’, mad dan qashr, serta
lain-lain.
i.
Bahwa
yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh logat pada tujuh kobilah arab. Menurut
penganut madhab ini, bukan berarti satu huruf bisa tujuh macam, tetapi tujuh
logat bahasa arab yang digunakan oleh kobilah-kobilah arab digunakan dalam
bahasa al-Qur’an. Sebagian ayat-ayat al-Qur’an, menurut penganut haluan ini ,
diturunkan dengan logat kobilah-kobilah
Quroisyi. Sementara sebagian lainnya dengan logat Hudzail. Adapula yang dengan
logat Tamim, Azd, Robi’ah, dan Hawazin.
Di
luar sembilan pendapat yang baru saja ditampilkan, sesungguhnya masih ada lagi
pendapat lain yang mewakili sudut pandang tertentu. Banyak pendapat yang
jumlahnya (menurut Dr. Amir Abd Al-Aziz) 40 pendapat, tentu meyulitkan orang
walaupun sekadar menentukan pilihan. Apabila melihat pendapat-pendapat itu
lebih banyak bermain logika atau menafsirkan nash. sementara nash
sendiri (seperti disinggung diatas) tidak menyebut hakikat “tujuh huruf” itu.[12]
Sekedar menurunkan pilihan ulama, berikut ini dikemukakan bahwa Al-Zarqaniy
“menjagokan” pendapat nomor empat. Alasan penulis kitab Manahil Al-‘Irfan
memilih pendapat itu,
karena menurutnya paling tepat untuk menafsirkan bahwa hadis-hadis mengenai
Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf.[13]
E.
Pengaruh Perbedaan Qiraat
Sebagaimana yang
telah kita ketahui bahwa perbedaan antara satu qiro’ah dengan qiro’ah lainnya
bisa terjadi pada perbeadaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab,
penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu
akan berpengaruh kepada hukum yang diistinbatkan kepadanya, meskipun tidak
secara keseluruhan. Tentang pengaruh perbedaan qiro’ah
terhadap istinbath
hukum ini, al-Zarkasyi mengatakan sebagai berikut :[14]
“Bahwa
dengan perbedaan qiro’at timbullah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para
ulama fiqih membangun batalnya wudlu orang yang disentuh (lawan jenis) dan
tidak batalnya atas dasar perbedaan qiro’ah pada : “kau sentuh” dan “kamu
saling menyentuh”. Demikian juga hukum bolehnya mencampuri perempuan yang
sedang haid ketika
terputus haidnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mendalam dalam
bacaan “hingga mereka suci”.
Untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang pengaruh qiro’ah terhadap istinbath hukum ini, dapat
kita lihat misalnya dari penafsiran ulama atas firman Allah dalam QS.
Al-Baqarah/2: 222, sebagai berikut :
وَيَسْأَلُوْنَكَ
عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَدًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَاءِذَا تَطَهِّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“mereka bertanya
kepadamu tentang haidh. Katakanlah : “haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu
hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
(QS. Al-Baqarah/2: 222).
Ayat tersubut diatas merupakan larangan bagi seorang suami, dari melakukan
hubungan dengan isterinya dalam keadaan haidh.
Sehubungan
dengan ini, para ulama telah sepakat tentang haramnya (seorang suami) melakukan
hubungan (bersenggama) dengan isterinya yang sedang menjalani haidh. Sama
halnya dengan kesepakatan
mereka, tentang bolehnya melakukan istimta’ (bercumbu) bagi seorang suami
dengan isterinya yang sedang mengalami menstruasi (haidh)
Adapun
batas larangan yang disebutkan
dalam dalam ayat tersebut yaitu, sampai mereka (para isteri yang sedang
menjalani haidh) itu, dalam keadaan suci kembali.
Sementara
itu, (dalam qiro’ah sab’ah) Hamzah, al-Kisa’i dan Ashim riwayat Syu’bah
membaca kata (يَطْهُرْنَ)
dengan (يَطَّهَّرْنَ).
Sedangkan Ibn Katsir, Nafi’, Abu Amr dan Ashim riwayat Hafs membaca (يَطْهُرْنَ).
Berdasarkan qiro’ah (يَطْهُرْنَ)
sebagian ulama menafsirkan ayat (وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ)
dengan janganlah kamu bersetubuh dngan mereka, sampai mereka suci atau berhenti dari
keluarnya darah haidh mereka.
Sedangkan qiro’ah (يَطَّهَّرْنَ)
menunjukan bahwa yang dimaksud dengat ayat (وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) yaitu janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka
suci.
Namun demikian, para
ulama berbeda pendapat tentang pengertian (التطهر).
Sebagian ulama menyatakan, bahwa yang dimaksud adalah mandi (الإغسال
بالماء).
Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah wudlu. Sebagian
lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mencuci atau membersihkan farj
(kemaluan) tempat keluarnya darah haidh tersebut. Sementara ulama lainnya
menyatakn bahwa yang dimaksud adalah mencuci atau membersihkan farj
tempat keluarna darah haidh dan berwudlu.[15]
IV.
KESIMPULAN
Dari kesimpulan penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa qiraat merupakan cara pengucapan lafal – lafal
yang terdapat dalam al – qur’an, baik yang menyangkut huruf – hurufnya maupun
cara pengucapan huruf – huruf tersebut. Dan hal yang melatarbelakangi adanya
imu qiraat dikarenakan adanya perbedaan versi qira’at
disebabkan karena para ulama berlainan dalam menerima bacaan ayat, sehingga
terjadi perselisihan di antara ulama. Kemudian khalifah Ustman bin Affan
menyalin dan menyebar luaskan ayat Al - quran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq ke
berbagai daerah untuk mengatasi perselisihan. Qiraat memiliki berbagai macam,
diantaranya qiraat sab’ah, qiraat
asyrah dan qiraat arbaah asyrah. Dan Qiroatus sab’ah diantaranya :
1. Qira’at Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah
adalah qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan
merupakan bagian dari Sab’atu Ahruf.
2. Qira’at ‘Asyarah adalah shahih dan sanadnya bersambung sampai kepada
Rasulullah SAW, maka boleh membaca al-Qur’an dengan qiraat manapun diantara
salah satu dari yang sepuluh itu, di luar itu adalah Qiraat Syadz serta tidak
boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an.
Umat Islam sangat mementingkan masalah al-Qur’an
beserta qiraatnya yang bermacam-macam itu sehingga banyak ulama mengkhususkan
diri dalam maslah qiraat dengan mendalaminya, mengajarkannya dan menulis
kitab-kitab tentang qiraat. Hal ini merupakan salah satu upaya
untuk menjaga kemurnian al-Qur’an.
Perbedaan
qira’at yang ada mempunyai banyak manfaat bagi umat Islam, terutama dalam
memudahkan membaca al-Qur’an dan mengambil hukum dari al-Qur’an.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan penulis. Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam
pembuatan makalah ini baik dalam penulisan ataupun teknik pengetikan. Maka dari
itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk kelengkapan
makalah yang akan datang. Terimakasih atas perhatiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al – Qattan, Manna
Khalil, Study Ilmu – Ilmu Qur’an, Bogor
: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007.
Djalal, Abdul Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu, 1998 .
Hasbi
Ash, Teungku, Ilmu – Ilmu Al – Qur’an, Semarang : Pustaka Rizky Putra,
2002.
Hermawan,
Acep, ‘Ulumul Qur’an, Bandung : PT Remaja RosdakaryaNur Ichwan, Muhammad, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang : Rasail Media Group, 2007
[1] Manna
Khalil al – Qattan, Study Ilmu – Ilmu
Qur’an, ( Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2007 ), hal. 247
[2]
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, ( Surabaya : Dunia Ilmu, 1998 ), hal. 327
[7]
Muhamad Nur Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, (Semarang : Rasail Media Group), hal. 219 - 220
[10] Acep Hermawan, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya), hal. 44 - 47
[12]
Muhamad Nur Ichwan, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang : Rasail Media Group) hal. 225
[14]Muhamad Nur Ichwan, Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hal. 216 - 217
1 komentar:
blog saya sepi
Posting Komentar