Rabu, 05 Maret 2014

QIRAAT

I.                   PENDAHULUAN
Al – qur’an merupakan wahyu allah baik dari segi lafadz maupun makna.Seluruh ayat dalam al – qur’an dinukilkan atau diriwayatkan secara mutawatir, baik hafalan maupun tulisan. Al qur’an tidak terlepas dari aspek qira’at. Qiraat al – qur’an diajarkan adan disampaikan rasulullah kepada para sahabat. Kemudian sahabat menyampaikan kepada para tabi’in. Demikian seterusnya dari generasi ke generasi.
Namun dalam perjalanan sejarahnya, qiraat pernah diragukan kebenarannya dan diduga tidak bersumber dari Nabi SAW. Hal ini, banyak menimbulkan beberapa versi qiraat al – qur’an, maka para ulama ahli qiraat terdorong untuk melakukan penelitian dan menyeleksi berbagai versi qiraat pada masa itu. Perbedaan versi qiraat inilah yang menimbulkan istinbath hukum yang berbeda pula. Oleh karena itu, diperlukan pula pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu qiraat agar kita dapat mengetahui pengertian dan latar belakang perbedaan qiraat serta pengaruh terhadap istinbath hukum al- qura’an.

II.                   RUMUSAN MASALAH
A.  Apa pengertian qiraat?
B.  Bagaimana latar belakang terjadinya perbedaan ilmu qiraat?
C.  Apa saja macam – macam qiraat?
D.  Apa itu qira’ah sab’ah dan qiraat sab’atu ahruf?
E.   Apa pengaruh perbedaan qiraat?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qiraat
Qiraat adalah jamak dari qira’ah yang berarti ‘bacaan’ , dan dia adalah masdar dari qara’a. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mahzab (aliran ) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ (ahli qiraat ) sebagai suatu mahzab yang berbeda dengan mazhab lainnya.[1]
Sedangkan qira’ah sendiri menurut bahasa berupa isim masdar  dari lafal qara’a (fi’il madhi ), yang berarti membaca. Maka qiraah berarti bacaan atau cara membaca.
Menurut istilah, definisi qiraah yaitu :
القراءة  نوع من التّلاوة توفقا اللّغة العربيّة وتواترسندهاووافقت احدالمصاحف العثما نيّة
Artinya : “Qira’ah ialah salah satu cara membaca al – qur’an yang selaras dengan kaidah bahasa arab, dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushhaf Ustman.”
Karena itu, bacaan yang tidak selaras dengan kaidah bahasa arab, atau sanadnya tidak mutawatir atau tidak cocok dengan tulisan dalam salah satu mushhaf Ustman, tidaklah bisa dinamakan Qira’atil Qur’an.[2]
Imam Az – Zarkasyi dalam buku Al – Burhan Fii Ulumil Qura’an mengingatkan, bahwa al – qira’ah ( bacaan ) itu berbeda dengan al – qur’an ( yang dibaca ). Keduanya merupakan dua fakta yang berlainan. Sebab, Al – qur’an  adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW untuk menjadi keterangan mukjizat. Sedangkan qira’ah adalah perbedaan cara membaca lafal – lafal wahyu tersebut di dalam tulisan huruf – hurufnya yang menurut Jumhur, cara itu adalah mutawatir.
Jadi, qira’ah itu adalah cara membaca ayat – ayat al qur’an yang berupa wahyu Allah SWT, dipilih oleh salah seorang ahli qira’ah, berbeda dengan cara ulama lain, berdasarkan riwayat – riwayat mutawatir sanadnya dan selaras dengan kaidah kaidah bahasa arab serta cocok dengan bacaan terhadap tulisan Alquran yang terdapat dalam salah satu mushhaf Ustman.
B.     Latar belakang perbedaan ilmu qiraat                                                        
Pada masa Nabi SAW, perhatian umat terhadap kitab al- qur’an ialah memperoleh ayat – ayat al – qur’an itu dengan mendengarkan, membaca, dan menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut. Dari nabi kepada para sahabat, dari shabat yang satu kepada sahabat yang lain, dari seorang imam ahli bacaan yang satu kepada imam yang lain.
Pada periode pertama ini, al – qur’an belum dibukukan sehingga dasar pembacaan dan pembelajarannya adalah masih saecara lisan. Pedomannya adalah nabi dan para sahabat serta orang – orang yang hafal al – qur’an. Hal ini, terus berlangsung sampai pada masa sahabat. Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar, kitab al – qur’an telah dibukukan dalam satu mushaf. Pembukuan al – quran tersebut merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar atas inisiatif Umar bin Khattab r.a.[3]
Pada masa pemerintahan Ustman mushaf al –quran telah disalin dan dibuat banyak, serta dikirim ke daerah – daerah islam yang pada waktu itu sudah menyebar luas guna menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan al- qur’an. Hal ini diupayakan khalifah Ustman, karena pada waktu itu terdapat perselisihan sesama kaum muslimin di daerah Azerbejein mengenai bacaan al – qur’an. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara sesama umat islam, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat – ayat al – qur’an, karena pada saat itu nabi hanya mengajarkan kepada mereka cara bacaan yang relevan dengan dialek mereka masing – masing. Tiap – tiap suku atau golongan menganggap hanya bacaan merekalah yang paling benar, sedangkan yang lain dianggap salah, sehingga mengakibatkan perselisihan.
Inilah pangkal perbedaan qira’ah dan tonggak sejarah tumbuhnya ilmu qira’ah. Untuk memadamkan perselisihan – perselisihan itu, khalifah Ustman mengadakan penyalinan mushaf Al – qur’an dan mengirimkannya ke berbagai daerah, sehingga bisa mempersatukan kembali perpecahan umat islam. Tentunya, bacaan al – qur’an di daerah – daerah tersebut mengacu pada mushaf – mushaf yang dikirim oleh khalifah Ustman seluruhnya sama, karena semuanya dari beliau. Sesudah itu banyak bermunculan para qurra’ yang ahli dalam berbagai cara dalam pembacaan al – qur’an. Mereka menjadi panutan di daerahnya masing – masing dan menjadi pedoman bacaan dan cara – cara membacanya.
C.  Macam – macam qiraat
1. Ditinjau dari para qurra’
Ditinjau dari segi banyaknya qira’ yang mengajarkannya ada tiga macam, yaitu ;
a.       Qiraat sab’ah yaitu qiraat yang disandarkan kepada tujuh tokoh ahli qiraat yang termasyhur. Qiraat tersebut mulai dikenal sejak abad II H. , pada masa pemerintahan al – Makmun. Tujuh orang pakar qiraat tersebut adalah ;
1)     Nafi’ bin Abd Rahman ( wwafat 169 H ) di Madinah
2)        Ashim bin Abi Najud Al – Asady ( wafat 127 H ) di Kufah
3)        Hamzah bin Habib At- Taymy ( wafat 158 H ) di Kufah.
4)        Ibnu Amir Al – Yashhuby ( wafat 118 H ) di Syam.
5)        Abdullah Ibnu Katsir ( wafat 130  H ) di Makkah.
6)        Abu Amir Ibnu Ala ( wafat 154 H ) di Basrah.
7)        Abu Ali Al – Kisai ( wafat 189 H ) di Kufah.
Imam Al – Makki mengatakan, ada dua alasan mengapa dinamakan qiraat sab’ah, yaitu Pertama, Khalifah Ustman ketika mengirim copy mushhaf ke daerah – daerah itu ada tujuh buah yang masing – masing diserta dengan ahli qiraat yang mengejarkannya. Karena itu, naman qiraat tersebut berasal dari jumlah qurra’ yang mengajarkannya, yakni sab’ah (tujuh ). Kedua, karena tujuh qiraat itu adalah namanya sama dengan tujuh cara (dialek ) bacaan yang diturunkan al – qur’an. Bahkan, Imam Mujahid mengatakan bahwa syarat diterimanya Qira’atil qur’an itu harus dari orang yang hafal Al –qur’an, bisa dipercaya selalu menekuni qiraat sepajang hidupnya serta selalu relevan antara yang diterima dengan yang diajarkan. Dan, yang memenuhi persyaratan tersebut hanya tujuh orang diatas.[4]
b.      Qiraat Asyrah, yang qiraatnya didasarkan kepada selupuluh orang ahli qiraat yang mengajarkannya. Menurut ulama, pembatasan terhadap ahli tujuh qiraat itu kurang tepat, karena masih banyak ulama lain yang yang pandai memahami tentang qira’atil qur’an. Jadi, qiraat asyrah itu adalah qiraat yang disandarkan kepada sepuluh orang ahli qiraat, yaitu tujuh orang tersebut dalam qiraat sab’ah ditambah dengan tiga orang lagi, yaitu :
1)      Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al – Qari ( wafat 130 H ) di Madinah
2)      Abu Muhammad Ya’kub bin Ishaq Al – Harhary ( wafat 205 H ) di Basrah.
3)      Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam Al – A’masyy ( wafat 229 H )
c.       Qira’ah arba’a ‘asyrata, yang qiraatnya disandarkan kepada 14 orang ahli qiraat yang mengajarkannya. 14 orang ahli qiraat tersebut adalah 10 orang ahli qiraat ‘asyrah ditambah empat orang ahli qiraat yang lain. Emapat orang itu ialah sebagai berikut :
1)      Hasan Al – Bashary ( wafat 110 H ) di Basrah
2)      Ibnu Muhaish ( wafat 123 H )
3)      Yahya Ibu Mubarak Al – Yazidy ( wafat 202 H ) di Baghdad
4)      Abul Faraj Ibnu Ahmad Asy – Syambubudzy ( wafat 388 H ) di Baghdad.
 2. Ditinjau dari sanadnya
  Ulama menyimpulkan qiraat dari segi sanadnya menjadi enam macam, yaitu :
a.     Qiraat mutawatir, yaitu qiraat yang diriwatkan orang banyak dari orang banyak, mereka tidak mungkin bersepakat dusta. Contonya, qiraat sab’ah. Menurut jumhur, qiraat sab’ah ini semua riwayatnya adalah mutawatir.
b.         Qiraat Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, seperti diriwayatkan orang – orang adil, dhabit, dan seterusnya, dan selaras dengan kaidah bahsa Arab, serta bacaannya cocok dengan salah satu mushhaf Ustman baik dari qiraatnya sab’ah ataupun qiraat asyrah.[5]
c.       Qiraat ahad, yaitu qiraat yang sanadnya sahih, tetapi tulisannya tidak cocok dengan mushhaf Ustman dan juga tidak selaras dengan kaidah bahsa Arab. Qira’ah macam ini tidak boleh untuk membaca Al – Qur’an, dan juga tidak boleh diyakini dari al – quran
d.  Qiraat syadzdzah, yaitu qiraat yang sanadnya tidak sahih, seperti bacaan
ملك يوم الدين
Dengan bentuk fi’il madhi yang berasal dari bacaan ibnu Sumaifai
e.  Qiraat maudhu’ah, yaitu bacaan yang dibuat – buat, yang tidak ada dasarnya sama sekali, seperti bacaan :
انما يخشي الله من عباده العلماء
f.    Qiraat mudraj, yaitu qiraat yang bacaannya ditambah – tambah sebagai penjelasan, seperti bacaan Sa’id bin Abi Waqqash                                                             وله اخ او اخت من ام

Dengan ditambah من ام

3.  Ditinjau dari segi nama jenis
        Menurut sebagian ulama, jika ditinjau dari segi nama jenis, macam – macam qiraat itu ada empat, sebagai berikut :
a.       Qiraat, yaitu untuk nama bacaan yang telah memenui tiga syarat, sebagaimana penjelasan di atas ; seperti qiraat sab’ah asyrah dan qiraat arba’a asyrata.
b.         Riwayah, yaitu nama bacaan yang hanya berasal dari slaah seorang perowinya sendiri.
c.       Thariq, yaitu nama untuk bacaan yang sanadnya terdiri dari orang- orang yang sesudah para perowinya sendiri.
d.      Wajah, yaitu nama untuk terhadap Alqur’an yang tidak didasarkan sifat – sifat tersebut diatas, melainkan berdasarkan pilihan pembacanya sendiri.[6]
D. Qira’ah Sab’ah dan Sab’atu Ahruf
1. Qira’ah Sab’ah
Qorri’ merupakan seorang imam diantara para imam terkemuka yang kepada mereka qiro’ah - qiro’ah dinisbatkan. Kita mengenal beberapa nama qorri’ yang terkenal terkait dengan pembahasan ilmu qiro’ah. Namun, disini hanya akan diinformasikan tentang mereka beberapa saja, yaitu yang tergabung dalam qiro’ah sab’ah saja. Pembahasan ini dimaksudkan agar kita dapat mengenal kebesaran dan keutamaan mereka, dan agar kita mengenal mereka itu secara ilmiah. Karena mereka merupakan pengembang estafet penjagaan Al-Qur’an al-Karim melalui jalur - jalur yang menyebar keberbagai penjuru dunia islam selama berabad-abad.
Namun, dalam bab ini tidak akan dijelaskan biografi secara detail ataupun tahap -tahap qiro’ah mereka. Hal ini jelas merupakan kajian yang luas, yang harus dibahas dalam satu buku sendiri. Diantara ketujuh qori’ yang dimaksud adalah sebagai berikut:



a.       Ibn Amr
Namanya Abdullah al-Yahshubiy, nisbat kepada Yahshub. Ia merupakan pakar dari Humair, yang diberi nama Kunyah abu Nu’aim dan Abu ‘Imran. Ia merupakan seorang tabi’iy terkemuka, bertemu dengan (belajar kepada) Wa-tsilah Ibn al-Asqa’ dan an-Nu’man ibn Basyir. Dia mengambil qiro’ah dari al-Mughiroh ibn Abi Syihab al-Makzhumi dari Utsman ibn Affan dari Rasulullah. Dikatakan bahwa dia membaca dihadapan Utsman langsung. Dia wafat di Damaskus tahun 118 H. Yang masyhur meriwayatkan qiro’ahnya adalah Hisyam dan Dzakwan, tetapi melalui murid-muridnya.
b.      Ibn Katsir
Dia adalah Abu Muhamad atau Abu Ma’bad, Abdullah ibn Katsir al-Dariy. Dia merupakan imam di Makkah dalam hal qiro’ah, yang berpembawaan tenang dan wibawa. Dari kalangan sahabat ia bertemu dengan Abdullah ibn al-Zubair, Abu Ayyub al-Anshariy dan Anas ibn Malik.
Dia meriwayatkan dari mujahid, dan Ibn Abbas dari Ubay Ibn Ka’ab dari Rasulullah. Dia berguru kepada Abdullah ibn al-Sa’ih al-Makhrumiy. Abdullah ini membaca dihadapan Ubay ibn Ka’ab dan Umar ibn al-Khatab. Keduanya membaca dihadapan Rasulullah[7]. Dia wafat pada tahun 120 H di Makkah al-Mukarromah.
Yang masyhur meriwayatkan darinya tetapi melalui para murid-muridnya adalah al-Bazzy dan Qunbul.
c.       ‘Ashim
Dia adalah Abu Bakar ‘Ashim ibn abu al-Najud al-Asadiy. Dia seorang qori’ yang handal, memiliki kecerdasan, kehandalan, kefasihan dan suara yang merdu dalam membaca al-Qur’an. Dia membaca dihadapan Ziir ibn Hubaisy dihadapan Abdullah ibn Mas’ud dihadapan Rasulullah. Dia juga membaca dihadapan Abu Abdurrahman Abdullah ibn Hubaib al-Sulamiy, guru al-Hasan dan al-Husain.
Abdurrahman ini membaca dihadapan imam Ali. Sedang Imam Ali mengambil qiro’ahnya dari Rasulullah. Dia wafat di Kuffah atau al-Samawah pada tahun 127 H.
Yang meriwayatkan darinya adalah Syu’bah dan Hafsh. Keduanya tanpa perantara.
d.      Abu Amr
Dia adalah Abu Amr Zabban ibn al-‘Ala ‘Ammar al-Bashriy. Dia termasuk paling tau tentang qiro’ah, disamping memiliki kejujuran dan keterpercayaan dalam agamanya. Dia meriwayatkan dari Mujahid ibn Jabar, Said ibn Jubair dari ibn Abbas dari Ubay ibn Ka’ab dari Rasulullah. Dia membaca dihadapan sejumlah orang, antara lain Abu Ja’far, Zaid ibn al-Qa’qa’ dan al-Hasan al-Bashriy. Al-Hasan membaca dihadapan Haththan dan Abu al-Aliyah. Sedang Abu al-Aliyah membaca didepan Umar ibn Khatab. Dia wafat tahun 154 H.
Yang masyhur meriwayatkan darinya antara lain al-Daury dan al-Susi, akan tetapi melalui perantara al-Yazidiy Abu Muhamad Yahya ibn al-Mubarok al-‘Adawiy, yang wafat tahun 202 H.
e.       Hamzah
Dia adalah Abu ‘Ammarah Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat al-Kufiy Maula ‘Ikrimah ibn Rabi’at-Tamimiy. Dia membaca dihadapan Abu Muhamad Sulaiman ibn Mihran al-A’masy, dihadapan Yahya ibn Watsab, dihadapan Zirr ibn Hubaisy, dihadapan Utsman, Ali dan Ibn Mas’ud, dihadapan Rasulullah. Dia seorang yang sangat handal tentang Kitabullah, menguasai dengan baik, mengetahui berbagai kefardhuan dan kebahasaan serta hafidz dibidang hadits. Dia wafat di Hulwan pada tahun 156 H.
Yang masyhur meriwayatkan darinya antara lain Khalaff dan Khallad, tetapi dengan perantara Abu Isa Sulaim Ibn Isa al-Hanafiy al-Kufy yang wafat pada tahun 188 H.

f.       Nafi’
Dia adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibn Abdirrahman ibn Abu Nu’aim al-Madaniy. Dia mengambil qiro’ah dari Abu Ja’faral-Qori’y dan dari sekitar 70 tabi’in. Mereka mengambil dari Abdullah ibn Abbas dan Abu Hurairah, dari Ubay ibn Ka’ab dari Rasulullah. Kepadanya kepemimpinan qiro’ah mencapai puncaknya di Madinah al-Munawwarah. Dia wafat pada tahun 169 H. [8]Yang masyhur meriwayatkan darinya antara lain Qolum dan Warasy.
g.      Al-Kisa’iy
Dia adalah Abu al-Hasan Ali ibn Hamzah al-Kisa’iy al-Nahwiy. Diberi nama laqab dengan al-Kisa’iy karena sewaktu ihram dia mengenakan baju. Abu Bakar ibn al-Anbariy mengatakan: dalam diri al-Kisa’iy terkumpul beberapa hal. Dia paling mahir dalam bidang Nahwu, satu-satu nya orang yang paling tahu tentang al-ghorib dan paling pandai dalam masalah qiro’ah. Oleh karena itu mereka berduyun-duyun mendatanginya.[9] Bahkan ia perlu duduk diatas kursi dan membaca al-Qur’an dari awal sampai akhir. Dia wafat pada tahun 189 H. Yang masyhur meriwayatkan darinya adalah Abu al-Haris dan al-Dury
2. Sab’atu Ahruf
Orang yang terlibat dalam pecakapan sehari-hari mengerti apa itu huruf karena persoalannya sudah jelas. Hal ini menyebabkan lawan berbicara tak perlu meminta penjelasan. Demikian juga yang berbicara, ia tak perlu menjelaskan arti huruf itu. Namun bila “huruf’ ini masuk dalam pembicaraan mengenai al-Qur’an, masalahnya akan menjadi lain karena “huruf” yang dengannya diturunkan al-Qur’an ditafsirkan berbeda-beda. Disekitar “huruf” itu banyak persilangan pendapat. Bukan hanya satu dua ulama yang terlibat ikhtilaf di sekitarnya. Kalaulah tidak ada hadist yang kuat, mungkin ulama lebih senang mendiamkannya, tak mau angkat suara tentang huruf itu. Bukankah “keluar dari perbedaan pendapat” itu lebih disukai?
Mari kita simak riwayat berikut. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhori dan Muslim, Umar ibn al-Khaththab pernah berang. Peristiwanya terjadi ketika Rasulullah masih hidup. Pasalnya, suatu ketika Hisyam bin Hakim shalat ia membaca surat al-Furqon. Rupanya Umar yang memperhatikan bacaan Hisyam bin Hakim itu mendengar “kejanggalan” bacaan Hisyam. Ada beberapa lafadz Hisyam yang belum pernah didengar Umar. Padahal sepengetahuan Umar, Rasulullah tak pernah mengajarkan bacaan yang baru saja dibaca Hisyam.
Sahabat Rasulullah yang terkenal spontan ini nyaris tak sabar, ia langsung menegur Hisyam. Untungnya Umar mampu bertahan menanti sampai Hisyam usai shalat. Begitu selesai shalat Umar langsung menegur Hisyam “siapa yang mengajarkanmu membaca surah ini?”, tegur Umar dengan berang. “Aku diajarkan membacanya oleh Rasulullah” jawab Hisyam. Tapi Umar rupanya tak percaya dengan jawaban Hisyam. Ia langsung mendamprat Hisyam dengan mengatakan “kau bohong!”, dan untuk membenarkan tuduhannya, Umar pun tak segan - segan bersumpah bawha Rasulullah tak pernah mengajarkan bacaan yang baru saja ia dengar. Tidak cukup sampai disitu, Umar kemudian menuntun Hisyam menghadap Rasulullah.
Setelah bertemu dengan Rasulullah, Umar langsung mengadu, “wahai Rasulullah, aku baru saja mendengar orang ini membaca surah al-Furqon dengan huruf yang tidak kau ajarkan padaku. Padahal engkau telah mengajarkanku surah al-Furqon”. Rasulullah lalu mengatakan “ajaklah ia kesini, hai Umar”, Rasulullah lalu menyuruh Hisyam membaca surah al-Furqon yang tadi dianggap berbeda oleh Umar. Setalah mendengar bacaan Hisyam, Rasulullah membenarkan dan bersabda : 
قال رسول الله صلعم : إن هذا القرأن إنزل على سبعة إحرف فقرإوا ما تيسر منه . (روه البخرى و مسلم)
“Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh  macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.” (HR. Bukhari Muslim)
Celah-celah untuk membantah tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan, boleh dibilang tertutup. Dalam waktu yang bersamaan tidak ada informasi yang menunjuk kepastian “wujud” dari tujuh huruf itu. Tak ada satu riwayat pun yang memberi kejelasan tujuh huruf yang dimaksud Rasulullah. Oleh karena itu, sekalipun para ulama sepakat al-Qur’an diturunkan dengan  tujuh huruf, mereka berbeda pendapat mengenai hakikat tujuh huruf itu. [10]
Perselisihan para ulama mengenai “tujuh” huruf ini begitu tajam. Jumlah pendapatnyapun banyak sekali, misalnya sebagai berikut:
a.                        Bahwa tujuh huruf yang dimaksud hadis diatas tidak akan mungkin ditangkap hakikat atau maksudnya oleh manusia. Sebabnya hakikat tujuh huruf itu tidak mungkin diinterpretasikan sebagai huruf hija’iyah, kalimat atau arah. Padahal dari segi bahasa, tidak dikenal pengertian lain, kecuali tga makna yang disebut diatas.
b.                       Bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf itu bukan hakikat bilangan, melainkan al-thasil, al-taysir (kemudahan) dan al-sa’ah (keleluasaan/kelapangan).
c.                        Bahwa yang dimaksud tujuh huruf itu adalah tujuh qiro’ah.
d.                       Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tempat terjadinya perubahan. Ketujuh tempat dijelaskan dibawah ini:
1)      Kata yang berubah harakatnya, sementara bentuk tulisan dan maknanya tetap tidak berubah. Misalnya, firman Allah yang berbunyi: لكُمْ اَطْهَرُ هُنَّ (mereka (wanita) lebih suci bagimu) berubah menjadi هُنَّ اَطْهَرَ لَكُمْharakat dhammah pada huruf رberubah menjadi fathah. Sementara maknanya, baik huruf رitu berharakat dhammah atau fathah ia tetap bermakna sama: “mereka (wanita) lebih suci bagimu”.
2)      Kata yang berubah maknanya karena perubahan kedudukan tata bahasa, sementara bentuk tulisannya tak berubah. Misalnya firman Allah yang berbunyi
رَبُّنَا بَاعَدَ بَيْنَ اَسْفَارِنَاmenjadi رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ اَسْفَارِنَا            , Rabbuna (رَبُّنَا) berubah menjadi Rabbana (رَبَّنَا) dan kata ba’ada (بَاعَدَ) berubah menjadi ba’id (بَاعِدْ). Bila pada kalimat pertama bermakna “Tuhan kami telah menjauhkan antara perjalanan kami”, maka setelah berubah kalimat itu bermakna “Tuhan kami, jauhkanlah antara perjalanan kami”.[11]
3)      Kata yang mengalami perubahan makna karena berubahnya huruf, tetapi bentuk tulisannya tetap. Misalnya, nunsyizuha (نُنِشِزُهَا) berubah menjadi nunsyiruha (نُنْشِرُهَا).
4)      Kata yang bentuknya berubah, tetapi maknanya tidak berubah.
Misalnya: كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ berubah menjadi كَالصُّوْفِ الْمَنْفُوْشِ.
5)    Kata yang bentuk tulisan yang maknanya mengalami perubahan. Misalnya firman Allah: طَلْعٍ مَنْضُوْدberubah menjadi طَلْحٍ مَنْضُوْدٍ.
6)      Perubahan susunan kalimat dengan taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengahirkan). Misalnya: وَجَاءَ تْ سَكَرَةُ الْمَوْتِ بِلْحَقِّ(dan datanglah sakaratul maut dengan benar) menjadi وَجَاءَ تْ سَكَرَةُ الْحَقِّ بالْمَوْت(dan datanbglah sakarat yang benarnya dengan kematian).
7)      Perbedaan yang didalam lahjah (logat) yang terjadi pada fathah, imalah, tarqib, tafkin, idhar, idghom dan lain-lain.
e.       Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam kalam didalam al-Qur’an yang satu sama lainnya berbeda. Misalnya, bentuk amar (perintah), nahi (larangan), wa’d (jaji), wa’id (ancaman), halal, haram, mhkam, dan mutasyabih.
f.       Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh lafad yang berbeda, tetapi mempunyai pngertian yang sama. Misalnya )aqbil( اَقْبل (ta’ala) تَعَالَ, (‘ajjil) عَجِّلْ, dan (asri’) اَسْرِعْ. Lafadz-lafadz seperti ini meringankan kaum muslimin dan membaca al-Qur’an sekaligus menangkap maksud.
Pendapat yang ke-5 merujuk pada sejumlah hadist. Diantaranya hadist ini Abu Hurairoh:
أُنْزِلَ الْقُرْآنُ عَلَي سَبْعَةِ اَحْرُفٍ عَلِيمًا حَكِيمًا غَفُوْرًا
Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf ; Aliman (Maha tahu), Hakiiman (Maha bijaksana), Ghofuunron (Maha pengampun) dan Rahiman (Maha penyayang).
Pendapat keenam juga merujuk pada suatu riwayat yang mengatakan bahwa Abdullah bin Mas’ud membaca:
الَّذِيْنَ آمَنُوا انْظُرُوْنَا أَهْمِلُونَا أخِّرُوْنَا
At-Thahawiy mengomentari keragaman pelafalan dan bacaan dengan pengertian yang sama ini bab rukhsoh karena banyak anggota masyarakat dari kabilah tertentu ang sulit melafalkan satu kata tertentu.
g.      Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh istilah. Misalnya mutlaq, muqoyad, ‘am, khash, nash, mu’awwal, nasikh, mansukh, mujmal dan mufassar.
h.      Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tata cara membaca dan mengucapkan, seperti pada masalah-masalah berikut: idghom, idhar, tafhim, taqiq, imalah, isyba’, mad dan qashr, serta lain-lain.
i.        Bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh logat pada tujuh kobilah arab. Menurut penganut madhab ini, bukan berarti satu huruf bisa tujuh macam, tetapi tujuh logat bahasa arab yang digunakan oleh kobilah-kobilah arab digunakan dalam bahasa al-Qur’an. Sebagian ayat-ayat al-Qur’an, menurut penganut haluan ini , diturunkan dengan logat kobilah-kobilah Quroisyi. Sementara sebagian lainnya dengan logat Hudzail. Adapula yang dengan logat Tamim, Azd, Robi’ah, dan Hawazin.
Di luar sembilan pendapat yang baru saja ditampilkan, sesungguhnya masih ada lagi pendapat lain yang mewakili sudut pandang tertentu. Banyak pendapat yang jumlahnya (menurut Dr. Amir Abd Al-Aziz) 40 pendapat, tentu meyulitkan orang walaupun sekadar menentukan pilihan. Apabila melihat pendapat-pendapat itu lebih banyak bermain logika atau menafsirkan nash. sementara nash sendiri (seperti disinggung diatas) tidak menyebut hakikat “tujuh huruf” itu.[12] Sekedar menurunkan pilihan ulama, berikut ini dikemukakan bahwa Al-Zarqaniy “menjagokan” pendapat nomor empat. Alasan penulis kitab Manahil Al-‘Irfan memilih pendapat itu, karena menurutnya paling tepat untuk menafsirkan bahwa hadis-hadis mengenai Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf.[13]
E.            Pengaruh Perbedaan Qiraat
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa perbedaan antara satu qiro’ah dengan qiro’ah lainnya bisa terjadi pada perbeadaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu akan berpengaruh kepada hukum yang diistinbatkan kepadanya, meskipun tidak secara keseluruhan. Tentang pengaruh perbedaan qiro’ah terhadap istinbath hukum ini, al-Zarkasyi mengatakan sebagai berikut :[14]
“Bahwa dengan perbedaan qiro’at timbullah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para ulama fiqih membangun batalnya wudlu orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qiro’ah pada : “kau sentuh” dan “kamu saling menyentuh”. Demikian juga hukum bolehnya mencampuri perempuan yang sedang haid ketika terputus haidnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mendalam dalam bacaan “hingga mereka suci”.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pengaruh qiro’ah terhadap istinbath hukum ini, dapat kita lihat misalnya dari penafsiran ulama atas firman Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 222, sebagai berikut :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَدًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَاءِذَا تَطَهِّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : “haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
(QS. Al-Baqarah/2: 222).
Ayat tersubut diatas merupakan  larangan bagi seorang suami, dari melakukan hubungan dengan isterinya dalam keadaan haidh.
Sehubungan dengan ini, para ulama telah sepakat tentang haramnya (seorang suami) melakukan hubungan (bersenggama) dengan isterinya yang sedang menjalani haidh. Sama halnya dengan kesepakatan mereka, tentang bolehnya melakukan istimta’ (bercumbu) bagi seorang suami dengan isterinya yang sedang mengalami menstruasi (haidh)
Adapun batas larangan yang disebutkan dalam dalam ayat tersebut yaitu, sampai mereka (para isteri yang sedang menjalani haidh) itu, dalam keadaan suci kembali.
Sementara itu, (dalam qiro’ah sab’ah) Hamzah, al-Kisa’i dan Ashim riwayat Syu’bah membaca kata (يَطْهُرْنَ) dengan (يَطَّهَّرْنَ). Sedangkan Ibn Katsir, Nafi’, Abu Amr dan Ashim riwayat Hafs membaca (يَطْهُرْنَ).
Berdasarkan qiro’ah (يَطْهُرْنَ) sebagian ulama menafsirkan ayat (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) dengan janganlah kamu bersetubuh dngan mereka, sampai mereka suci atau berhenti dari keluarnya darah haidh mereka.
Sedangkan qiro’ah (يَطَّهَّرْنَ) menunjukan bahwa yang dimaksud dengat ayat                (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ) yaitu janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka suci.
Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian (التطهر). Sebagian ulama menyatakan, bahwa yang dimaksud adalah mandi (الإغسال بالماء). Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah wudlu. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mencuci atau membersihkan farj (kemaluan) tempat keluarnya darah haidh tersebut. Sementara ulama lainnya menyatakn bahwa yang dimaksud adalah mencuci atau membersihkan farj tempat keluarna darah haidh dan berwudlu.[15]
IV.             KESIMPULAN
Dari kesimpulan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa qiraat merupakan cara pengucapan lafal – lafal yang terdapat dalam al – qur’an, baik yang menyangkut huruf – hurufnya maupun cara pengucapan huruf – huruf tersebut. Dan hal yang melatarbelakangi adanya imu qiraat dikarenakan adanya perbedaan versi qira’at disebabkan karena para ulama berlainan dalam menerima bacaan ayat, sehingga terjadi perselisihan di antara ulama. Kemudian khalifah Ustman bin Affan menyalin dan menyebar luaskan ayat Al - quran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq ke berbagai daerah untuk mengatasi perselisihan. Qiraat memiliki berbagai macam, diantaranya qiraat sab’ah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah asyrah. Dan Qiroatus sab’ah diantaranya :
1. Qira’at  Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah adalah qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan merupakan bagian dari Sab’atu Ahruf.
2. Qira’at ‘Asyarah adalah shahih dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, maka boleh membaca al-Qur’an dengan qiraat manapun diantara salah satu dari yang sepuluh itu, di luar itu adalah Qiraat Syadz serta tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an.
Umat Islam sangat mementingkan masalah al-Qur’an beserta qiraatnya yang bermacam-macam itu sehingga banyak ulama mengkhususkan diri dalam maslah qiraat dengan mendalaminya, mengajarkannya dan menulis kitab-kitab tentang qiraat. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga kemurnian al-Qur’an.
Perbedaan qira’at yang ada mempunyai banyak manfaat bagi umat Islam, terutama dalam memudahkan membaca al-Qur’an dan mengambil hukum dari al-Qur’an.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis. Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini baik dalam penulisan ataupun teknik pengetikan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan untuk kelengkapan makalah yang akan datang. Terimakasih atas perhatiannya.






DAFTAR PUSTAKA

Al – Qattan, Manna Khalil, Study Ilmu – Ilmu Qur’an, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2007.
Djalal, Abdul Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu, 1998 .
Hasbi Ash, Teungku, Ilmu – Ilmu Al – Qur’an, Semarang : Pustaka Rizky Putra, 2002.
Hermawan, Acep, ‘Ulumul Qur’an, Bandung : PT Remaja RosdakaryaNur Ichwan, Muhammad, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang : Rasail Media Group, 2007









[1]  Manna Khalil al – Qattan, Study Ilmu – Ilmu Qur’an, ( Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa,  2007 ), hal. 247
[2]  Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, ( Surabaya : Dunia Ilmu, 1998 ), hal. 327
[3]  Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, ( Surabaya : Dunia Ilmu, 1998 ), hal. 330
[4]  Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, ( Surabaya : Dunia Ilmu, 1998 ), hal. 334
[5]  Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, ( Surabaya : Dunia Ilmu, 1998 ), hal. 336 - 337
[6]  Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, ( Surabaya : Dunia Ilmu, 1998 ), hal. 337
[7]  Muhamad Nur Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang : Rasail Media Group), hal. 219 - 220
               
[8]  Muhamad Nur Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang : Rasail Media Group) hal. 221
[9]  Muhamad Nur Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,  hal. 224 - 225

[10] Acep Hermawan, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya),  hal. 44 - 47
[11]  Acep Hermawan, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya), hal. 48
[12] Muhamad Nur Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang : Rasail Media Group) hal. 225
 [13]Acep Hermawan, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya), hal. 49 - 50
[14]Muhamad Nur Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hal. 216 - 217
[15] Muhamad Nur Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang : Rasail Media Group) hlm. 217-218

1 komentar:

Goresan Tinta mengatakan...

blog saya sepi