Rabu, 05 Maret 2014

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK SASTRA



I.                    PENDAHULUAN
Masyarat Nusantara kaya akan tradisi lama yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Sampai sekarang kita masih dapat menikmati berbagai khasanah budaya yang tidak ternilai harganya.Salah satu benuk peninggalan tersebut adalah karya sastra.Sastra merupakan slah satu hasil dari interelasi nilai budaya jawa dan islam. Keberadaan karya sastra dalam perspektif kebudayaan secara langsung maupun tidak  langsung telah melahirkan berbagai kemungkinan yang dapat dikatakansebagai kekayaan semesta. Sastra dalam masyarakat jawa memiliki peranan yang cukup penting.Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya sastra baik lisan maupun tulisan.Sastra merupakan media yang dianggap penting dalam mengerjakan dan menjaga nilai- nilai jawa.Adapun dalam perjalanannya, sastra jawa juga memiliki banyak perkembangan, baik  dalam gaya bahasa maupun gaya penulisannya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dikaji interelasi dan korelasi antara nilai jawa dan ajaran islam dalam membentuk jati diri dari sastra, khususnya sastra jawa.
II. RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian sastra dalam?
B.     Bagaimana perkembagan sastra jawa?
C.     Bagaimana interelasi nilai jawa dan islam dalam bidang sastra?
III. PEMBAHASAN
A.                 Pengertian sastra
Pengertian sastra jika diartikan  secara istilah ialah sesuatu yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasa yang luas. Menurut Teeuw bahwa kata sastra dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa sanksekerta “ Sas “ yang berarti mengarahkan, mengerjalkan, memberi petunjuk atau intruksi. Akhiran “Tra” menunjuk pada alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan “su” ( menjadi susastra ). “su” artinya baik, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi tentang hal – hal yang baik dan indah.[1]Istilah sastra dalam bahsa inggris dikenal dengan istilah “literature” yang menunjukkan karya tulis yang dicetak (sebenarnya juga termasuk karya sastra yang tidak hanya ditulis, tetapi yang tidak ditulis atau lisan). Austin Werren mengemukakan bahwa ‘sastra’ merupakan suatu kegiatan kreatif atau sebuah karya seni yang terkait dengan hal- hal yang tertulis maupun yang tercetak, termasuk karya sastra lisan.Jadi, karya sastra merupakan sebuah karya yang imajinatif yang diterapkan dalam seni sastra.
A.    Periodesasi sastra jawa
Periode awal pertumbuhan sastra jawa, khususnya sastra tulis sangat dipengaruhi oleh sastra hindu dan budaya india. Hali ini terlihat pada karya sastra jawa kakawin dan kitab – kitab parwa.Dari segi bahasapun banyak karya sastra yang menggunakan bahasa sanksekerta. Kitab – kitab hindu banyak yang menjadi rujukan bagi pengarang jawa, terutama dua kitab yang palng masyhur yaitu, kitab Ramayana dan Mahabarata. Bahkan ada yang berpendapat bahwa munculnya sastra jawa adalah bersamaan dengan sejak lahirnyakitab Ramayana Kakawin pada abad ke 9.
Seiring dengan perkembangan sastra jawa tulis, sastra jawa lisan juga mewaanai perkembagan  sastra jawa kuno. Pengaruh – pengaruh Hindu – Budha diolah oleh nilai – nilai asli yang dihayati dari masyarakat budaya jawa pada waktu itu.Sastra jawa kuno identik dengan sastra keratin.Para pujangganyapun hanya berasal dari kalangan keratin.Periode ini sering disebut sebagai zaman Renaisains Jawal, yang berlangsung antara abad 8 – 15 yakni Jawa Budha dan Jawa Hindu. Para pujangga pada zaman ini antara lain : Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Monaguna, Empu Kanwa, Empu Trigana, Empu Tanakung, Empu Prapanca, Empu Tantular. Yang menjadi Maecenas para pujangga keratin adalah Kerajaan Kahuripan, Kediri, Singosari, dan Majapahit.[2]
Karya sastra jawa pada masa ini memang tumbuh di lingkungan istana dan lahir dari para pujangga atas dukungan kerajan.Kitab – kitab parwa yang digubah saat itu dimaksudkan sesuai catatan peristiwa historis para penguasa.Misalnya kisah dalam kitab Arjuna Wiwaha, yang disebut – sebut sebagai gambaran perjalanan hidup Raja Airlangga.[3] Oleh karena itu sangat mungkin ketika itu para pujangga melakukan “ penghalusan “ peristiwa sebagai upaya menunjukkkan sikap loyal kepada kerajaan.
          Karya sastra jawa mengalami kebangkitan pada abad ke XVIII dan XIX.Karya sastra pada masa ini digubah oleh para pujangga kerajaan terutama Surakarta dan Yogyakarta.Berdasarkan perjalanan sejarah, sastra jawa mengalami kebangkitan akibat peran keratin.Kehadiran kompeni yang semakin lama menggeser kekuasaan politik kerajaan, dan campur tangan kompeni yang semakin mencengkram menyebabkan kerajaan lebih banyak berperan sebagai pusat kesenian dan kesustraan.
Pengaruh kompeni terhadap kerajaan semakin besar sejak disetujuinya Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan mataram menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta.Kondisi ini diperburuk dengan adanya penurunan derajat dan martabat raja.Semula derajat sunan dan sultan sejajar dengan raja belanda, namun semenjak perjanjian giyanti kedudukan sunan dan sultan dibawah raja belanda yang harus menghormatinya.Situasi semakin kacau dengan adanya pengurangan wilayah – wilayah kerajaan pemerintah belanda.
 Akibatnya sumber kerajaan semakin  sedikit, kemakmuran berkurang dan rakyat semakin menderita.Para pujangga yang melihat situasi rakyat yang semakin mengalami krisis akhirnya menggugah diri dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai – nilai dan norma – norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang. Jalan yang ditempuh para pujangga adlah dengan cara menulis dan menggubah sastra yang berisi ajaran, piwulang, dan sebagainya. Penulisan ini dimaksudkan sebagai langkah antisipasi terhadap gejala – gejala krisis, sekaligus untuk menyatukan kekuatan masyarakat dibawah naungan raja.[4]
Dalam periodesasi sastra jawa, terdapat beberapa penggolongan hasil karya sastra, yakni berdasarkan  kaitan dengan kurun waktu ,yakni jawa kuno, Jawa baru dan jawa modern. Ada pula yang berdasar pada kerajaan, yakni sastra zaman hindu, zaman majapahit, zaman islam, zaman Mataram dan sesudah mataram. Sedangkan Pigeaud memperinci periodesasi sastra berdasar pengaruh kebudayaan, yaitu :
1.Periode pertama adalah pra – islam (900 – 1500 M), dimana peninggalan – peninggalan jawa kuno sebagian besar ditulis di jawa timur. Periode ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan india. Dari perkembangan perkembangan kebudayaan jawa ditemukan bukti bahwa kebudayaan hindu sangat berperan dalam pembentukan sastra jawa kuno, mulai dari pengenalan huruf sampai pada sastra keagamaan, seperti Mahabarata dan Ramayana yang mengandung ajaran moral.
2.Periode kedua adalah periode Jawa – Bali. Pada periode ini sastra jawa berada dalam lingkup pengaruh raja hindu di bali. Sastra jawa dilestarikan dan dipelihara oleh orang – orang hindu majapahit yang lari ke bali karena tidak mau memeluk islam.
3.Periode ketiga adalah era sastra pesisiran. Di daerah pesisir utara jaw yang menjadi pusat perdagangan seperti Surabaya, Gresik, Jepara, Demak, Cirebon, Banten merupakan pusat munculnya sastra jawa pesisiran.[5]
Perkembangan Sastra Jawa dapat diketahui dan dikenali melaluidua sumber, yaitu sumber tertulis dan sumber lisan.Sastra tulis sendiripada hakikatnya tumbuh dan berkembang dari tradisi lisan, yangmerupakan bagian terpenting dalam awal pertumbuhan Sastra Jawa padamasa pra-Islam (Hindu-Budha).Masuknya Hindu dan Budha ke Jawasangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan SastraJawa Sansekerta, berdampingan dengan tradisi lisan dalam kebudayaanJawa.Pada masa itu sastra tulis tumbuh dan berkembang hanya dilingkungan Keraton dan kaum Brahmana.Sedangkan sastra lisansebagai tradisi kerakyatan otentik tumbuh dan berkembang di kalanganrakyat.
1.      Periode Sastra Jawa Kuna
Periode awal pertumbuhan sastra Jawa, khususnyasastra tulis sangat dipengaruhi oleh sastra Hindu dan budayaIndia.Hal ini terlihat dalam karya Sastra Jawa kakawin dankitab-kitab parwa.Dari segi bahasa pun banyak karya sastrayang menggunakan bahasa sansekerta.Kitab-kitab Hindubanyak yang menjadi sumber rujukan bagi pengarang Jawa, teruma dua kitab yang paling masyhur yaitu, kitab Ramayanadan Mahabarata.Bahkan ada yang berpendapat bahwamunculnya Sastra Jawa adalah bersamaan dengan sejaklahirnya kitab Ramayana Kakawin pada abad ke-9.
2.      Periode Sastra Jawa Madya
Karya Sastra Jawa mengalami kebangkitan pada masaabad XVIII dan XIX.Karya sastra masa pada masa ini digubaholeh para pujangga kerajaan, terutama Surakarta danYogyakarta.Berdasarkan perjalanan sejarah, Sastra Jawamengalami kebangkitan akibat peran keraton. Kehadirankompeni yang semakin lama menggeser kekuasaan politikkerajaan, dan campur tangan kompeni yang semakinmencengkeram menyebabkan kerajaan lebih banyak berperansebagai pusat kesenian dan kesusastraan
3.      Periode Sastra Jawa Modern
Periode perkembangan Sastra Jawa setelah ZamanSastra Jawa Madya adalah era Sastra Jawa Modern, yang jugasering disebut Sastra Jawa Gagrag Anyar.Sastra Jawa Modern tidak lagi bersumber dari sastrakeraton, sebagaimana Sastra Jawa Kuna dan Madya. DalamSastra Jawa Modern, dominasi sastra keraton mulai surut. Halini terjadi karena para pujangga Jawa modern tidak lagididominasi oleh kalangan keraton, tetapi telah meluas dikalangan masyarakat luas.sastra yang hidup didaerah pedesaan tidak didukung olehtradisi tulis menghasilkan sastra lisan. Tradisi lisan yang ada di masyarakat pedesaan lebih luas penyebarannya karena tidak terikat penciptaan kembali oleh penyalin.Tradisi ini juga lebih mudah diterima oleh masyarakat tanpa melibatkan kemampuan tulis menulis, sehingga tradisi ini dapat melampaui batas – batas budaya.Dengan demikian, tradisi lisan ini dapat dijadikan sumber dan rujukan bagi penulis istana. Sebaliknya karya sastra yang  berkembang di kalangan istana dengan media bahasa tulis serta terkait oleh penyalin, sehingga tidak mampu dikonsumsi oleh masyarakat umum.[6]
Dalam kehidupan masyarakat kita, tradisi islam melahirkan jenis sastra yang tersendiri yang dikennal sebagai satra rakyat. Dalam benttuk naratif, satra rakyat dapat berupa cerita pelipur lara, legenda, mitos, anekdot, cerita jenaka maupun cerita – cerita binatang. Sementara dalam bentuk puisi, tradisi sastra rakyat  berupa pantun, teka – teki seloka, dan sebagainya. Karya sastra tersebut lahir dari komunitas masyarakat desa tradisional, dengan media penyampaiannya secara keseluruhan melalui pengucapan lisan.Untuk itu dalam pemeliharaan dan penyebarannya memerlukan ketekunan penghafalan dan pengingatan yang tajam.Dengan demikian sastra lisan itu dapat terus berkembang dan terpelihara sesuai dengan unsur – unsur keindahan yang ada di dalamnya.Karya satra sejarah sering pula dikatakan sebagai genre baru dalam warisan sastra Nusantara traisional. Beberapa ahli menyebutkan bahwa sastra ini muncul bersamaan dengan berkembangnya agama islam di nusantara sekitar abad XIV dan XV Masehi. Meskpun pernyataan itu sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena di jawa pada masa hindu sudah ditulis Kitab Pararaton, yang mempunyai ciri – ciri mirip dengan karya sastra sejarah dimaksud.Berkembangnya tulisan jawi di Nusantara ini memberikan kontribusi besar bagi penulisan karya – kaya sastra. Di samping itu juga menjadi semangat bagi orang – orang nusnatara untuk membaca khasanah keilmuan islam yang terekam dalam tulisan jawi.
C.Interelasi Nilai Jawa dan Islam Terhadap Sastra
Penyebaran agama Islam di Jawa harus berhadapan dengan dua jenis budaya kejawen, yaitu budaya istana yang telah canggih dalam mengolahunsur-unsur Hindu dan budaya pedesaan yang hidup dalam tradisi animismedinamisme.Dalam perjalanan sejarah, ternyata budaya istana sulit menerima agama baru ini dan hal tersebut membuat para penyebar agama Islammenekankan kegiatannya pada lingkungan pedesaan.[7]Di sini Islam sebagai agama telah menempatkan fungsi social yang berorientasi ke lapisan bawah.Dari struktur ini, orang Jawa yang telah beragama Islam menjadi kelompok sendiri yang dikenal dengan istilah santri.Kelompok santri ini kemudian membangun komunitas religious yang berpusat di masjid.Dengan munculnya komunitas santri ini kemudian berimplikasi pada tersebarnya kitab-kitab yang berbahasa Arab.Dari sini muncullah kebudayaan intelektual pesantren yang menjadi saingan tradisi istana.
Dan ini menjadi awal penyadapan para priyayi Jawaterhadap nilai-nilai budaya Islam pesantren.Konsekwensi yang muncul dariproses penyadapan ini adalah lahirnya naskah-naskah Jawa yang mengungkapajaran Islam. Interkasi dua budaya ini mulai jelas terlihat setelah berdirinya kerajaan Demak yang berhasil melahirkan dua jenis sastra, yaitu Sastra Jawa Pesantrendan Sastra Islam Kejawen. Dalam Sastra Jawa Pesantren, bahasa dan sastraJawa dijadikan media untuk memperkenalkan ajaran Islam sehingga unsuragama menjadi inti ajaran. Sedangkan dalam Sastra Islam Kejawen, unsur Islamdisadap oleh sastrawan jawa untuk mengembangkan, memperkaya dan meng-Islamkan warisan Sastra Jawa Hindu.[8]
Antara budaya Islam dan Jawa ini saling berhubungan diantara keduanya, sastra keraton bersumber pada sastra pesantren dan sastra pesantren dapat berkembang karena adanya dukungan dari pihak keraton.Oleh karenanya, sebagian pujangga keraton Surakarta adalah santri yang menjadi pujangga.Pada jaman Islam ini, disamping kitab-kitab suluk muncul pula kitab-kitab yang berciri mitologi Islam seperti kitab Kejajahan, kitab Menak, kitab Rengganis dan kitab Ambiya.Karya-karya sastra jaman Hindu-Budha terdesak ke belakang. Lahir pula karya sastra piwulang, seperti serat Nitisruti, serat Nitipraja, dan serat Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara memerintah.
     Selain itu kebiasaan menuliskan waktu merupakan salah satu unsur yang baru dalam penulisan karya satra sejarah pada masaislam, meskipun sebenarnya masyarakat tradisional penentuan waktu sudah ada berdasarkan hitungan tahun saka atau hindu. Penentuan waktu dengan kalender islam di Nusantara, berawal dari kebiasaan umat islam dalam menentukan  waktu shalat sehari – hari.Dalam karya sastra sejarah Jawa yaitu Babad Tanah Jawi, raja – raja Jawa diyakini sebagai keturunan dewa wisnu.Kehadiran agama islam dalam kehidupan masyarakat Nusantara, tidak menghapuskan sama sekali yang berkaitan dengan konsep dewa – raja. Dalam beberapa segi, terlihat bahwa islam menguatkan lagi pengesahan kedudukan raja itu dengan sedikit perubahan. Raja- raja tidak lagi berasal dari para dewa, tetapi merupakankhalifah atau wakilallah di dunia. Mereka mempuyai gelar sebagai bayangan Allah dan berperan memberi perlindungan kepada masyarakat.
IV. KESIMPULAN
     Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
Sastra secara istilah ialah sesuatu yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasa yang luas,.Sedangkan pengertian karya sastra merupakan sebuah karya yang imajinatif yang diterapkan dalam seni sastra.
Periodesasi nilai – nilai jawa dan islam pada aspek sastra meliputi : Periode sastra jawa kuno, periode sastra jawa madya, periode sastra jawa modern, sedangkan interelasi merupakan hubungan atau keterkaitan, jadi interelasi nilai jawa dan islam pada aspek sastra dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu islamisasi kultur jawa dan Jawanisasi islam yang merupakan penginternalisasikan nilai – nilai islam melalui cara penyusupan kedalam budaya jawa.
V. PENUTUP
      Demikian tugas ini kami buat.Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam memberikan informasi maupun kesalahan dalam penulisannya, untuk itu, kami membutuhkan saran dan kritik anda yang sifatnya membangun, demi kebaikan makalah ini. Semog apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun  pembaca.







DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. Darori, 2000, Islam dan kebudayaan jawa, Yogyakarta : Gama Media
Anasom, Merumuskan Interelasi Islam – Jawa, Yogyakarta : Gamapress


Khalim, Samidi, 2003, Islam spiritualitas Jawa,Yogyakarta : Rasail Media Group
http://Library.walisongo.ac.id

http://Seltercloud.blogspot.com








[1] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, hal. 139
[2]Library.walisongo.ac.id/ digilib/ files/ disk/ 15
[3]M. Darori amin. Islam dan Kebudayaan Jawa ( Yogyakarta ; Gama Media 2000 ) hal.103
[4]http://Seltercloud.blogspot.com, dani saputra, januari, 9, 2012
[5] Anasom,dkk, Merumuskan Interelasi Islam – Jawa ( Yogyakarta : Gama media, 2004), hal 118
[6] Anasom, Merumuskan Interrelasi Islam – Jawa, (Yogyakarta : Gama media 2004 ) hal. 103
[7]  Samidi Khalim, Islam spiritualitas Jawa, ( Yogyakarta : Rasail Media Group 2003 ) hal. 35
[8] Anasom, Merumuskan Interelasi Islam – Jawa, ( Yogyakarta : Gamapress ) hal. 120

Tidak ada komentar: